Geger Bahtsul Masail Soal Kepemimpinan Non Muslim, Ini Riwayat Lahirnya KIAI MUDA ANSOR

1090

Pada beberapa waktu yang lalu, publik Indonesia terutama ummat Islam sempat heboh dengan beredarnya hasil rumusan hasil bahstul masail Kyai Muda Ansor yang mengangkat tema tentang kepemimpinan Non-Muslim. Bahtsul Masail ini diselenggarakan oleh Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor pada Minggu (12/3/2017)  di Aula Iqbal Assegaf PP GP Ansor, Jakarta Pusat, Jakarta. Berikut ini akan diuraikan riwayat lahirnya Istilah Kiai Muda Ansor yang dikutip dari penjelasan Ketua PP Ansor M. Luthfi Thomafi :

KIAI MUDA ANSOR
ISTILAH Kiai Muda Ansor muncul seiring ide melibatkan putra-putra kiai pemimpin pesantren untuk turut serta mengelola organisasi GP. Ansor. Kemunculan istilah ini terjadi tahun 2010 pada Ansor era Nusron Wahid. Itu hanya istilah sederhana, yang tidak perlu diperpanjang definisinya. Waktu itu, kegiatannya dilakukan dalam berbagai bentuk; seperti Halaqah, Bahtsul Masail, Workshop; dan dilaksanakan di berbagai kota seperti Medan, Lampung, Jakarta, Cirebon, Semarang, Yogjakarta, Surakarta, Jombang, Paloppo (Sulsel) dan kota lainnya lagi.

Juga dilakukan dengan berbagai tema ; Seperti Aswaja, Wawasan Kebangsaan, Ekonomi Syariah, IKNB (Institusi Keuangan Non Bank), Money Politics, Status Anak Biologis (kasus keputusan MK), termasuk aliran Islam seperti Ahmadiyah serta aliran “non-mainstream” lainnya. Selain kegiatan-kegiatan itu, juga mendampingi kaderisasi-kaderisasi terutama di bidang Aswaja di berbagai daerah dari Aceh hingga Papua.

Waktu itu, hampir di setiap pertemuan selalu ada sesi “Masâil Anshôriyyah”, yang dimaksudkan sesi yang membahas permasalahan keansoran perspektif Kiai Muda. Saya masih ingat, ketika membaca TOR kegiatan, Pak Agus Maftuh Abegerbriel tersenyum dan komentar, “Masâil Anshôriyyah itu tidak ada, yang ada Masyâkil Anshôriyyah…”. Walhasil, itulah perkembangan Kiai Muda yang di Ansor juga dikenal dengan istilah Rijâlul-Ansôr.

Bahstul Masail, sebagai salah satu bentuk kegiatan Kiai Muda, Alhamdulillâh, telah menjadi tradisi yang baik di Ansor tanpa meninggalkan detail-detail tradisi yang berasal dari pesantren. Pada kongres di Ponpes Sunan Pandanaran, November 2015 yang lalu, kita mengadakan Komisi Bahtsul Masail (BM)—untuk kali pertama di Kongres Ansor. Pada setiap kegiatan, termasuk BM, selalu ada moment atau latar belakang. Termasuk BM di Jakarta kemarin, ada latar belakang yang memang mengharuskan pelaksanaan BM.

***

Ada pertanyaan dari masyarakat; benarkah jika seseorang mencoblos calon pemimpin (Bupati/Walikota/Gubernur) beragama non muslim maka seseorang itu menjadi kafir dan jenasahnya haram disholati? Pertanyaan ini dapat ditarik dari pertanyaan lain; dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia, bolehkan seseorang mencoblos atau memilih pemimpin non Muslim? Pertanyaan pertama akan terjawab jika jawaban pertanyaan kedua dapat dituntaskan.

Tidak mau gegabah, kita menghadirkan Kiai-Kiai Muda atau Rijâlul-Ansôr untuk membahasnya. Kita buat tema umum : Kepemimpinan Non Muslim di Indonesia. Selaku Steering Committee, kita tetapkan tugas beliau-beliau. Sebagai Pimpinan Musyawarah adalah KH. M. Najib Bukhori (Tuban), KH. Abu Bakar Yahya (Cirebon), KH. Ahmad Nadhif (Pati), dengan Katib Musyawarah adalah KH. Latif Malik (Jombang) dan KH. Faridu Ashrihi (Jakarta).

Tim Perumus adalah :KH. Moh. Nadjib Buchori, KH. Abub Yahya, KH. Ahmad Nadhif Abdul Mudjib, KH. Latif Malik, dan KH. M. Faridu Ashrih, KH. Zakariya (Pekalongan), dan KH. Mohammad Ridwan Hambali (Bojonegoro). Sedangkan Mushohhih adalah KH. Abdul Ghofur Maimoen (Rembang), dan KH. Shfiyulloh Mukhlas (Brebes). Ada 30 Kiai Muda yang menjadi peserta aktif, dan 70 peninjau termasuk manajer Aswaja di beberapa Cabang dan Wilayah.

Dengan kalimat yang sederhana, ringkasan hasil musyawarah adalah : “Hukum mencoblos/memilih pemimpin non Muslim ada 2 pendapat, yaitu (1) Haram dan (2) Boleh”.

Bagi masyarakat muslim yang merasa bahwa memilih calon non muslim adalah haram, maka itu sudah ada argumen atau ibarôt yang melandasinya, dan demikian pula bagi yang merasa bahwa memilih calon non muslim adalah boleh juga ada argumennya. Yang jelas, memilih pendapat ke-1 atau ke-2 sama-sama benarnya, dan sama-sama muslimnya, serta tidak ada yang terhukumi sebagai kafir yang jenazahnya haram disholati. Semua masih tetap muslim dan semua tetap wajib dishalati.

Disinilah tugas Kiai Muda Ansor mendudukkan masalahnya, agar kita tidak main-main dengan hukum agama hanya karena ambisi politik dan kekuasaan. Kita menjamin keabsahan varian-varian pendapat dan pemahaman dalam umat Islam. Coba kita berpikir, berapa juta orang muslim (dari berbagai daerah Kabupaten/Kota/Provinsi) yang terpersepsikan sebagai kafir sehingga jenazahnya haram disholati, akibat main-main hukum agama. Kita bisa melihat Walikota Solo yang non Muslim dan dipilih oleh muslim (menang 60% dengan 169 ribu suara), atau gubernur Cornelis yang memimpin Kalbar (57 % penduduknya adalah muslim).

Saya sangat bangga dengan acara kemarin, dan saya sampaikan kepada seluruh Kiai Muda bahwa bulan-bulan depan harus hadir lagi di Bahtsul Masail selanjutnya dengan tema-tema yang berbeda tentunya. Secara khusus, saya selaku yang dipasrahi menghadirkan Kiai-Kiai Muda, mengucapkan terima kasih kepada Ketua Umum PP. GP. Ansor Gus Yaqut Cholil Qoumas, yang telah memfasilitasi terselenggaranya acara ini. Juga buat Caswiyono Rusydie Cakrawangsa, Muhammad aun, Ruchman Basori, Gus Aam Notobuwono (Tambakberas) serta banyak lagi yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu. Saya sangat percaya, ghodan asyaddu Isyrôqon, tomorrow will be better…

Luthfi Thomafi
Ketua PP. GP. Ansor