GERAKAN PEMUDA ANSOR “BACK TO PESANTREN”

366

GERAKAN PEMUDA ANSOR “BACK TO PESANTREN”

Oleh: Ruchman Basori
Ketua Bidang Kaderisasi Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor

“Back to Pesantren”, itulah kalimat yang keluar dari Ketua Umum Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor, Nusron Wahid (2010-2015) saat Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Pimpinan Pusat GP Ansor di Pondok Pesantren Al-Masturiyah Cisaat Sukabumi Jawa Barat Tahun 2011. Kembali ke pesantren atau back to pesantren adalah keinginan meletakan Gerakan Pemuda Ansor pada posisi semula yang lekat dan tidak bisa dipisahkan dari garba pondok pesantren.

Sejak awal, The Founding Father Ansor adalah orang-orang pesantren. KH. Saifuddin Zuhri mantan Menteri Agama RI, menyebut secara khusus dalam tulisannya Guruku Orang-Orang Dari Pesantren. Lahir, ditempa, digodok, dan dikader di pesantren, dengan model dan cara-cara pesantren. Paradigma berfikir dan cara pandang terhadap kehidupan, nilai dan tradisi, dan bagaimana melihat dan bersikap dengan orang selain Ansor (the outhers). Itulah pembumian nilai-nilai dan tradisi pesantren yang terorganisir secara kuat dalam tubuh GP Ansor.

Kenapa GP Ansor dalam dasawarsa terakhir ini menyerukan kembali ke pesantren “Back to Pesantren” ? Pesantren yang merupakan pendidikan tertua di Indonesia adalah tidak bisa dilepaskan dari NU dan sebaliknya NU tidak boleh dilepaskan dari pesantren. Menurut data EMIS Kementerian Agama (2017) jumlah pesantren kini berjibun jumlahnya se-Indonesia, mencapai 28.961 buah tersebar dari Sabang-Merauke. Pesantren di Pulau Sumatera mencapai 3.200 buah, Jawa 23.702, Bali, NTB dan NTT ada 665, Kalimantan 684, Sulawesi 626 dan Maluku dan Papua ada 84 pesantren. Lembaga ini telah berjasa menjadi tempat menimba ilmu pengetahuan bagi 4.048.720 santri baik di pesantren salafiyah, modern dan kombinasi.

Kembali ke pesantren dimaknai sebagai komitmen Gerakan Pemuda Ansor untuk merawat “ngramut”, berjuang dan berkorban untuk memberdayakan pesantren. Back to Pesantren juga bermakna substanstif, memilih pondok pesantren sebagai tempat pengkaderan, implementasi program dan kegiatan bagi organisasi kepemudaan yang kini menginjak usianya yang ke 84. Dapat dikatakan pesantren adalah pusat pengkaderan Ansor. Karena sejatinya fungsi pondok pesantren adalah sebagai tempat pengembangan keagamaan (tafaqquh fiddin), pendidikan dan dakwah, dan pusat pengembangan social kemasyarakatan (the social movement).

Dalam perspektif pendidikan dan pengkaderan, GP Ansor juga serius menarik kembali putra-putra Kyai (Gus) untuk terlibat aktif dalam wadah GP Ansor, baik mereka yang berlatar belakang pendidikan di Timur Tengah, Perguruan Tinggi Tinggu Umum ternama dalam dan luar negeri, Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) maupun pondok pesantren. Yaqut Cholil Qaumas (Gus Yaqut) sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat Gerakan Ansor memberikan otoritas penuh kepada sahabat-sahabat yang notabene putra-putra kyai tersebut untuk mengemban Majlis Dzikir dan Sholawat Rijalul Ansor dalam rangka membumikan misi Ansor “Merevitalisasi nilai dan tradisi Islam Ahlussunnah Waljamaah melalui internalisasi nilai dan sifatur-rasul dalam Gerakan Pemuda Ansor” sebagai turunan dari visi GP Ansor yaitu: “Terwujudnya GP Ansor yang teguh dan mandiri sebagai pengawal eksistensi Islam ahlussunnah waljamaah dan NKRI”.

Para kyai muda Ansor inilah yang mempunyai otoritas keilmuan keagamaan, sehingga mereka sangat layak untuk melakukan kerja-kerja intelektual seperti memberikan fatwa, menyelesaikan masalah-masalah yang berkembang di masyarakat melalui bahsul masail dan halaqah dalam tubuh GP Ansor maupun majlis-majlis ilmu dengan penuh kajian dan penelitian-penelitian ala pesantren. Langkah Gus Yaqut beserta Pimpinan Pusat Ansor yang lain, dinilai berhasil dengan bertambahnya putra-putra kyai mau aktif dan menjadi motor penggerak Ansor. Ini bukti bahwa gerakan back to pesantren ala Gerakan Pemuda Ansor berhasil.

Adalah KH. Dr. Abdul Ghofur Maemoen (Gus Ghofur) putra KH. Maemoen Zubair Sarang Rembang Jawa Tengah didaulat menjadi Ketua Pimpinan Pusat Ansor Bidang Kajian Islam, Dakwah, dan Pengembangan Pesantren. Di samping itu duduk di dalam bidang tersebut diantaranya adalah Gus Najib Bukhori Tuban, Gus Luthfi Thomafi Lasem Rembang, Habib Syarif Abu Bakar dari Cirebon, Gus Mahfudz Hamid dari Maron Purworejo, Gus Ahmad Nadzif dari Pati Jawa Tengah dan sejumlah Gus yang aktif dalam Ansor termasuk beberapa diantaranya menjadi Ketua Pimpinan Wilayah dan Pimpinan Cabang Ansor. Nama-nama kyai muda tersebut sampai kini juga terlibat aktif dalam Pimpinan Pusat GP Ansor. Singkat cerita, ikhtiar menarik kembali komunitas pondok pesantren yang selama ini hilang, tertutup kabut kehidupan, adalah bagian dari upaya Back To Pesantren yang tengah digalakan oleh Ansor.

Basis Gerakan

Setidaknya sejak tahun 2010 Pimpinan Pusat GP Ansor menjadikan pondok pesantren sebagai basis gerakan. Basis pendidikan dan latihan kader dan basis berkhidmah bagi kurang lebih lima juta anggota dan kader. Di pesantrenlah tempat berjuang dan menaruh harapan dan impian menjadi wadah organisasi pemuda yang inklusif, menebarkan kedamaian dan menghormati keragamaan.

Perkembangan GP Ansor sangat pesat dan ini tidak bisa dilepaskan dari pesantren dengan ikon utamanya kyai. Data Pimpinan Pusat GP Ansor menyebutkan saat ini memiliki 33 Pimpinan Wilayah dari 34 provinsi di Indonesia, terdiri dari 95 Pimpinan Cabang di Kota, 391 Pimpinan Cabang di Kabupaten, 1 Pimpinan Cabang di Luar Negeri, 3 Pimpinan Cabang Gabungan Kabupaten/Kota dan 2 Pimpinan Cabang Daerah Khusus. Dari sisi keanggotaan memiliki kurang lebih 5 juta anggota dan kader sebagaimana data dalam Digital Tracking Pay Accsess (2015).

Basis gerakan pendidikan kaum muda Ansor dapat dilihat misalkan langkah serius mengorganisir SMK Berbasis Pesantren, yang kebanyakan dikelola oleh Sahabat-sahabat Ansor di daerah. Pengelolaan SMK berbasis pesantren ini menjadi momentum historis-strategis betapa Ansor serius menjadikan pesantren sebagai basis pendidikan. Ribuan anak bangsa telah banyak terbantu menempa diri di bidang vokasi di SMK. Belum lagi sekian ratus bahkan ribu para santri terbaik pesantren yang disiapkan untuk masuk perguruan tinggi terbaik di negeri ini melalui program “Pesantren Kilat (Sanlat) Masuk PTN) yang diprakarsai oleh GP Ansor.

Namun demikian tantangan GP Ansor kedepan adalah adanya trend pergeseran masyarakat ke depan menuju struktur masyarakat perkotaan, maraknya perkembangan organisasi yang bertentangan dengan aqidah, asas dan tujuan GP Ansor. Selain itu munculnya resonansi gerakan di perkotaan yang sangat kuat. Kota merupakan pusat pertarungan isu dan alokasi sumber daya yang sangat komplek. Itulah tantangan yang setidaknya dicandra oleh Pimpinan Pusat Ansor.

Langkah riil gerakan “Back to Pesantren”, adalah ketika PP Ansor menggelar Kongres Gerakan Pemuda Ansor ke XV, tanggal 25-28 November 2015 di Pondok Pesantren Sunan Pandanaran Sleman Jogjakarta Pimpinan KH. Mu’tasim Billah sebagai tempat perhelatan organisasi pemuda terbesar di Indonesia bahkan dunia ini. Hal ini menjadi momentum bersejarah lima tahunan untuk merumuskan kebijakan strategis pengembangan Ansor, respon Ansor pada persoalan keagamaan, kemasyarakatan dan kebangsaan dan tentu saja regenerasi kepemimpinan GP Ansor. Pesantren ini juga menjadi saksi sejarah terpilihnya Yaqut Cholil Qaumas putra Almarhum KH. Cholil Bisri Leteh Rembang, sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor Masa Khidmah 2015-2020.

Bagi saya, Back to Pesantren juga dimaknai sebagai ketundukan dan kepatuhan anggota, kader dan pimpinan GP Ansor kepada para ulama dan kyai pondok pesantren dalam setiap langkah dalam melakukan gerakan (harakah). Tanpa restu atau dalam bahasa modern rekomendasi dari ulama sang pewaris para nabi (al-ulamaau waratsatul anbiyaa), Ansor tidak mungkin melakukan gerakan (harakah) yang berarti dan menyejarah seperti sekarang ini.

Ketundukan anak-anak muda Ansor kepada para Kyai adalah mengikat karena Kyai adalah representasi pimpinan keagamaan (teologis) dan pimpinan jam’iyah Nahdlatul Ulama (organisatoris). Ansor harus tunduk dan patuh kepada para ulama, khususnya melalui fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh Syuriyah Nahdlatul Ulama dan nasihat-nasihat yang lain dalam menajamkan perannya sebagai the agen of change. Di samping itu sejatinya GP Ansor dan Banser adalah pengawal para ulama.

Sebagai akhir dari tulisan ini, Gerakan Pemuda Ansor telah tumbuh dan berkembang karena ada pondok pesantren sebagai basis gerakan dan perjuangan. Pesantren telah membekali para anggota dan kader, bagaimana ber-Islam dengan baik, berkarakter, moral dan akhlak yang luhur dan mengejawantahkan pisau bedah analisis sosialnya untuk berpihak kepada yang lemah (mustadh’afin).

Pesantren juga telah mengajarkan bagaimana Ansor berkomitmen pada nilai-nilai nasionalisme. Bagi NU dan Ansor Pancasila adalah final dan NKRI harga mati. Komitmen kebangsaan yang selama ini diperlihatkan pada publik adalah cerminan dari ajaran, nilai-nilai pesantren yang telah dihunjamkan di dada mereka oleh para ulama. Wallahu a’lam bi al-shawab.