Pribumi Dan Non-Pribumi Di Zaman Now

330

Oleh: Wawan Gunawan (Koordinator Jakatarub/ Sekretaris Lakpesdam PWNU Jawa Barat)

Di jaman now, setidaknya ada dua istilah yang tak harus lagi digunakan, yes. Pertama, minoritas-mayoritas, dan kedua, istilah pribumi – nonpribumi. Kata minoritas-mayoritas, selain untuk sekadar menunjuk jumlah, sonde guna lainnya lagi. Kecuali mengarah kepada benda. Tidak berlaku untuk manusia, karena manusia, menurut eksistensialisme, berbeda dari benda atau material. Buktinya, manusia tidak dijual di matrial.

Dalam suatu perdebatan, seorang dosen pernah mengatakan kepada saya, wajar jika kaum mayoritas di negeri ini mendapat keistimewaan-keistimewaan. Karena darah yang tertumpah saat merebut kemerdekaan jauh lebih banyak dibanding kelompok minoritas yang sedikit. Si minor hanya mengorbankan segelintir nyawa saja, katanya sambil manyun. Kepada orang tersebut saya hanya menjawab pendek, bayangkan, jika diantara sedikit nyawa yang meregang itu, adalah ayah atau ibu anda. Apakah anda akan tetap bicara seperti itu? Tentu tidak, karena setiap nyawa berharga. Satu, dua, tiga, atau seribu nilainya sama, apalagi di mata para keluarganya. Dengan demikian, nyawa manusia itu kualitatif, dan bukan kuantitatif. Membunuh satu orang, kata Nabi, setara dengan membunuh seluruh kehidupan di muka bumi ini. Karena, tak ada satu manusiapun yang dapat menggantikan nyawa seseorang. Sebab nyawa bukan onderdil. Oleh karenanya, penyebutan minoritas-mayoritas hanya akan menumbuhkan luka diskriminatif. Perlakuan berbeda dan dibeda-bedakan. Beruntung kita semua memiliki Pancasila, yang salah satu bunyinya adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sekali lagi, seluruh rakyat Indonesia, bukan mayoritas atau minoritas rakyat Indonesia. Sehingga menurut sila ini, terminologi mana mayoritas dan minoritas sudah tidak relevan. Karena semuanya adalah warga negara, yang memiliki hak hukum, politik, ekonomi, pendidikan, … yang sama.

Yang kedua, istilah pribumi dan nonpribumi. Di Bandung, beberapa kali saya mendengar komentar, rasanya itu dari pejabat. Saya lupa namanya karena tidak ada dalam pelajaran IPS, yang harus dihafal sejak SD. Dia mengatakan, PKL alias pedagang kaki lima itu bukan warga asli kota bandung. Yang bunuh diri di jembatan penyebrangan alun-alun kota itu bukan warga asli kota Bandung. Yang loncat dari apartemen itu bukan asli kota Bandung. Asli tidak asli ini sepadan dengan istilah pribumi dan nonpribumi.

Menurut saya di kota Bandung itu sulit menentukan warga asli dan tidak asli. Semua orang bertemu di kota ini. Setiap orang berhak atas kota ini, sebab kota ini sah sebagai bagian dari NKRI. Pernyataan tersebut tidak relevan dan sia-sia. Dalam berbagai ceramah sering saya katakan, jika ingin know siapakah yang betul-betul asli warga Bandung, tak lain dan tak bukan adalah kodok, bancet, dan sejenisnya. Karena dahulu Bandung itu merupakan danau. Cekungan mirip mangkuk baso yang pinggirannya adalah gunung-gunung, dan digenangi air. Sehingga semua manusia Bandung adalah pendatang, pasca eranya bangkong dan kawan-kawan.

Dan lagi pula, ratusan etnis yang tinggal di Indonesia ini memiliki historisitas yang teramat panjang. Maka dari itu, Presiden BJ  Habibie pada tahun 1998 pernah mengeluarkan instruksi, larangan  penyebutan istilah pribumi dan non pribumi, terlebih pada program-program pemerintah. Sebab memang sudah tak relevan. Apalagi istilah tersebut menyimpan kenangan buruk ihwal pertikaian di negeri ini. Tentu semuanya harus disudahi. Sayang, Pak Habibie yang negarawan itu, lebih dikenal film percintaannya, ketimbang pandangan nasionalismenya. Instruksinya seolah lekas dilupakan.

Sebagai warga negara yang baik, gaul, dan up date, semestinya tak lagi menyebut pribumi dan non-pribumi. Apalagi bagi saya, semua orang Indonesia sudah dianggap teman atau saudara, yang salah satu dari mereka bernama, Priatno. Bukan pri atau nonpri.