Menatap Pendidikan di Jawa Barat

234

Ketimpangan yang terjadi dalam praksis pendidikan masih sangat ketara. Realisasi pemerataan akses dan mutu pendidikan pun sering berakhir hanya jadi wacana. Pemerintah yang seyogyanya punya andil besar dalam mewujudkan pendidikan berkeadilan dan tidak diskriminatif, malah sering melakukan praktik dikotomi antara sekolah negeri dan sekolah swasta.

Kebijakan yang digulirkan pun kadang cenderung lebih banyak berpihak hanya pada institusi yang dikelola oleh pemerintah sehingga melukai masyarakat yang telah berswadaya untuk berpartisipasi dalam mencerdaskan anak bangsa, terutama untuk memberikan kesempatan kepada anak-anak yang berasal dari keluarga ekonomi menengah bawah yang tidak diterima di sekolah negeri bahkan yang bermasalah hingga drop out dari sekolah favoritnya.

Seperti kebijakan yang baru-baru ini dikeluarkan oleh Gubernur Jawa Barat yang akan menggratiskan SPP hanya untuk siswa-siswi tingkat Menengah Atas yang bersekolah di sekolah negeri saja. Bukankah sebuah kebijakan itu harus bisa mengayomi semua pihak? Lalu, inikah pengejawantahan dari amanat konstitusi terkait pendidikan yang berkeadilan dan tidak diskriminatif di Jawa Barat? Padahal, anak-anak yang bersekolah di MA, SMA ataupun SMK swasta pun butuh perhatian pemerintah karena mereka juga merupakan warga Jawa Barat, yang memiliki hak yang sama untuk memperoleh biaya pendidikan gratis seperti teman-temannya yang bersekolah di sekolah negeri.

Mungkin, Pak Gubernur lupa bahwa tidak semua sekolah swasta di Jawa Barat memiliki sumber pendanaan yang melimpah. Banyak diantaranya malah tidak memiliki kekuatan ekonomi yang memadai karena siswa-siswinya berasal dari kalangan bawah. Maka, tidak heran jika daya saing sekolah swasta pun tidak stabil dan hanya beberapa saja yang mampu menunjukkan bonafiditabonafiditasnya dibandingkan sekolah negeri bahkan sekolah swasta kelas menengah ke atas.

Hal itu terjadi karena untuk memenuhi biaya operasional saja kadang tidak bisa sehingga berdampak pada minimnya fasilitas yang dimiliki sekolah dan rendahnya tingkat kesejahteraan guru-guru yang mengajar di sekolah swasta kelas menengah ke bawah. Oleh karena itu, muncullah istilah sekolah favorit dan tidak favorit serta istilah ‘Guru Sukwan (Sukarelawan)’ yang dipakai untuk merujuk tenaga pendidik non-PNS yang banyak berkerja di sekolah swasta kelas menengah bawah yang sering terabaikan secara finansial oleh banyak pihak, termasuk pemerintah.

Kebijakan tersebut jelas tidak elok apabila dibiarkan karena sesuai Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Bab III tentang Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan Pasal 4 Ayat 1 bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan, serta tidak diskriminatif. Lalu pada Pasal 11 disebutkan juga bahwa Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara. Merujuk pada kedua pasal tersebut, maka Pemerintah Provinsi Jawa Barat harusnya mampu bersikap adil, jika anak-anak yang bersekolah di sekolah negeri SPPnya digratiskan maka anak-anak di sekolah swasta pun jangan sampai dianaktirikan bahkan dilupakan bahwa mereka ada agar tidak menciderai amanat konstitusi terkait pendidikan untuk semua anak bangsa tanpa dikotomi negeri ataupun swasta.
Leny Sri Wahyuni, M.Hum
(Sekretaris PC PERGUNU Kab Majalengka dan Dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon)