Kenapa Harus Full Day School?

126

Oleh : Ruchman Basori *
Masih terjadi disparitas dan ketidakadilan yang menonjol antara sekolah negeri dengan swasta, guru PNS dengan guru non-PNS, sekolah di kota dan di desa, apalagi di wilayah 3T (terpencil, terluar dan tertinggal). Belum lagi yang dialami oleh madrasah formal (raudlatul athfal, madrasah ibtidaiyah, madrasah tsanawiyah dan madrasah aliyah), pondok pesantren, madrasah diniyah takmiliyah (MDT) dan taman pendidikan al-quran (TPA). Negara nyaris tak berdaya menindak sekolah-sekolah yang membisniskan pendidikan dengan biaya yang sangat mahal. Kondisi ini harus segera mendapatkan perhatian dengan cara negara wajib menyelenggarakan pendidikan secara equal (setara) dan adil.

Peserta didik kita baru sedikit yang bisa bersaing dengan anak bangsa lain di dunia. Walaupun telah sering kita dengar anak-anak bangsa ini menjuarai pelbagai olimpiade di luar negeri. Para guru masih belum berhasil menjadikan anak-anak Indonesia pinter sekaligus “bener”. Cerdas akal (intelektual) belum diimbangi dengan cerdas emosional dan cerdas spiritual. Makanya, tidak heran jika indeks angka korupsi kita masih tinggi, kekerasan ada dimana-mana, dan berbagai tindak amoral datang dan pergi. Ini tidak kalah menarik dari pekerjaan mengubah orientasi pendidikan nasional.

Guru-guru kita dirasa belum sejahtera. Masih dijumpai guru SD/MI mendapatkan gaji (bisyaroh) 100.000,- per bulan, sebuah nominal jauh dari sekadar layak untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Di sisi lain, masih banyak angka putus sekolah, sekolah dan madrasah bocor, reyot dan nyaris roboh. Daya dukung masyarakat untuk terlibat membangun sekolah mulai berkurang, karena beban hidup yang mendera. Membutuhkan kehadiran negara untuk mengatasi ini semua yang berujung pada perbaikan sarana dan prasarana pendidikan nasional. Kebutuhan dasar ruang kelas yang kuat, sehat dan nyaman, laboratorium yang memadai, perpustakaan, sarana olahraga dan sarana pembelajaran yang lengkap dan kondusif lainnya masih menjadi pekerjaan rumah dari grand design pendidikan nasional.

Sementara ketika pemerintah belum berdaya menjadikan anak bangsa ini bermoral, berkarakter dan berakhlak, rakyat telah ikut mengambil bagian. Sejak sebelum Indonesia merdeka, masyarakat secara mandiri tanpa menggantungkan negara, mendirikan lembaga pendidikan keagamaan Islam dengan mendidik anak bangsa melek huruf Arab, baca tulis Al-Quran, memahami ibadah praktis dan membekali mereka akhlakul karimah. Itulah jasa pondok pesantren dan Madrasah Diniyah Takmiliyah (MDT) yang kemudian belakangan muncul Taman Pendidikan Al-Quran (TPA). Lembaga-lembaga Pendidikan Keagamaan Islam ini secara nyata berkontribusi bagi peningkatan pendidikan dan keagamaan, meski di tengah berbagai kesulitan yang dialami pemerintah.

Semangat Berbagi

Menurut data EMIS Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama RI (2015) jumlah lembaga Pendidikan Keagamaan Islam cukup spektakuler. Ada sekitar 29 ribu pondok pesantren yang tersebar dari Sabang sampai Merauke dengan jumlah santri 4 juta orang. Sementara MDT berjumlah 76.566 dengan jumlah santri 6.000.062 orang. Adapun TPQ tempat anak-anak pra sekolah dan sekolah dasar berjumlah 123.271 lembaga memiliki santri berjumlah 7.121.304 orang. Di layanan Pendidikan Keagamaan Islam itu, para peserta didik di asah akalnya, ditajamkan hatinya dan dikuatkan mental spiritualnya. Lulusan peserta didik pada layanan Pendidikan Keagamaan Islam itu secara mayoritas memiliki karakter dan kepribadian yang mumpuni serta memiliki integritas keislaman dan kebangsaan sekaligus.

Tiba-tiba Bapak Mendikbud yang baru, Prof. Muhajir Effendi, malah bertekad menerapkan kebijakan full day school (FDS), yang justru secara halus dan pelan-pelan ditengarai akan mematikan lembaga pendidikan keagamaan Islam tersebut. Dampak dari kebijakan itu akan menjadikan hak lembaga pendidikan keagamaan Islam tersebut menjadi terancam hilang. Padahal, selama ini mereka telah “rela berbagi” waktu dengan sekolah di sore hari, agar lembaga Pendidikan Keagamaan Islam tetap eksis.

Sementara itu, Mendikbud Muhadjir Effendi belum bisa memenuhi sarana dan prasarana pendidikan di sekolah yang memadai, agar anak-anak senang dan kondusif belajar. Rancang bangun kurikulum yang pas untuk FDS juga belum dirancang. Belum lagi dampak pembiayaan yang ditimbulkan bagi orang tua, sekolah dan pemerintah. Menambah jam belajar dengan full day school berakibat pada hitungan bertambahnya jam belajar, guru yang mengajar, sarana dan prasarana pendukung dan itu berimplikasi pada pembiayaan. Sudahkah pemerintah menghitung dengan cermat pembiayaan dengan baik, di tengah kerepotan membayar tunjangan sertifikasi guru, pembiayaan BOS, Program Indonesia Pintar, pembangunan ruang kelas baru, rehabilitasi ruang kelas, dan lain-lain.

Wajar jika komunitas lembaga Pendidikan Keagamaan Islam, utamanya MDT dan pondok pesantren, paling nyaring untuk meminta Mendikbud meninjau ulang rencana diberlakukannya kebijakan FDS. Mereka berteriak untuk menuntut haknya yang selama ini mereka berikan ke negara, di saat negara alpa dan kurang berdaya. Bagi mereka, Pak Menteri telah mengganggu eksistensi Pondok Pesantren dan MDT yang jelas-jelas selama ini menjadi bagian penting bagi pengembangan pendidikan Islam di Indonesia.

Boro-boro Pak Menteri ikut mengembangkan pendidikan yang geniun Indonesia ini, malah pelan-pelan ingin mematikannya. Saya jadi ragu, Bapak mungkin tidak memahami historisitas, kondisi idiologi dan psikologi pendidikan nasional yang di dalamnya terdapat Pendidikan Keagamaan Islam tersebut. Mestinya Bapak konsen menangani saja hal-hal yang substantif, yang sangat dinanti jutaan murid dan guru di negeri ini, sebagaimana yang saya sebut di awal tulisan ini. Bukan malah meresahkan masyarakat dan membikin kegaduhan yang tidak perlu. Keadilan pendidikan adalah pekerjaan rumah (PR) yang tak kalah penting untuk Bapak selesaikan!

Bagi komunitas pesantren dan MDT ini persoalan serius. Dengan diberlakukannya FDS malah dinilai oleh sejumlah kalangan langkah mundur yang berdampak pada mandulnya peran serta masyarakat dalam menyelenggarakan pendidikan nasional. Buanah selama ini negara dianggap belu optimal memberikan pengakuan dan memfasilitasi pesantren dan MDT walau sudah sangat jelas mereka ada dan berkontribusi pada pembentukan karakter dan moral bangsa.

Mengancam MDT (Madrasah Diniyah Takmiliyah)

Di tengah perdebatan dan pro-kontra tentang rencana pemberlakukan full day school oleh Mendikbud, Muhadjir Effendi, kerap menyeruak nama Madrasah Diniyah Takmiliyah sebagai salah satu lembaga pendidikan keagamaan sebagai penanaman nilai-nilai agama di masyarakat. Masyarakat Islam, khususnya komunitas MDT, merasakan ancaman serius atas kebiajakn FDS. Dianggapnya hal itu adalah bagian dari skenario upaya mematikan pelan-pelan MDT. Penilaian ini dirasakan juga oleh pondok pesantren, TPQ dan sejenisnya yang akan merasakan dampak langsung kebijakan tersebut.

Madrasah Diniyah adalah lembaga Pendidikan Keagamaan Islam yang telah tumbuh sejak Indonesia sebelum merdeka. Di masyarakat biasa di kenal dengan diniyah, sekolah arab atau sekolah sore. Sejak terbitnya Peraturan Pemerintah No. 55/2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan nama Madrasah Diniyah (MD) diubah namanya menjadi Madrasah Diniyah Takmiliyah (MDT). MDT membekali para santrinya dengan pengetahuan dasar-dasar agama, keterampilan ibadah praktis dan tentu baca tulis Al-Quran. Biasanya dikemas dalam sejumlah materi pembelajaran seperti Bahasa Arab, Al-Quran, Hadits, Fiqih, Akidah, Akhlak, Sejarah Kebudayaan Islam dan materi-materi dasar keagamaan lainnya. Pengembangan dari kurikulumnya memang sangat variatif, tergantung dari mana para ustadz menimba ilmu di pesantrennya masing-masing.

Pemerintah belum banyak memfasitasi keberadaan MDT. Kalaupun ada masih sangat minim. Biasanya berupa bantuan karikatif seperti bantuan gedung, ruang kelas, sarana dan prasarana pembelajaran, pertemuan, workshop dan short course untuk peningkatan kapasitas ustadz MDT dan peningkatan capasitas ustadz lainnya. Di samping itu, tentu saja ada sejmlah regulasi dan rancang bangun kurikulum MDT. MDT selama ini dengan segenap keterbatasannya, hidup secara mandiri bahkan dapat dikatakan agak ekstrim ada tidaknya kepedulian pemerintah, MDT tetap eksis.

Namun demikian, dalam dasawarsa terakhir ini secara kelembagaan posisi MDT mulai diperkuat dengan lahirnya Forum Komunikai Diniyah Takmiliyah (FKDT) dan di beberapa Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota menginisiasi lahirnya Perda-Perda Diniyah untuk menunjukan kepedulian kepada lembaga ini. Pada saat yang sama muncul gawe besar di kalangan MDT yaitu PORSADIN (Pekan Olahraga dan Seni Madrasah Dinyah Tamiliyah) yang dimulai dari tingkat daerah hingga nasional. Namun, lagi-lagi secara pendanaan masih jauh panggang dari api.

FDS = MDT

Gagasan full day school (FDS) menjadi tepat bagi masyarakat perkotaan yang komplek. Orang tuanya bekerja di luar rumah, kondisi jalan yang macet dan kerap membahayakan. Secara substantif membekali karakter, moral dan akhlak anak di tengah kemiskinan penyelenggaraan pondok pesantren, MDT dan TPA. Namun menjadi kontra produktif jika di semua wilayah Indonesia utamanya pedesaan diselenggarakan FDS. Perlu dipikirkan FDS bukan berlaku menyeluruh di semua wilayah NKRI namun bersifat fakultatif.

Di beberapa daerah yang bukan kota santri dimana belum tumbuh subur pondok pesantren dan MDT, kebijakan FDS perlu disinergikan dengan pendirian MDT di sekolah, baik SD maupun SMP. Untuk itu, menurut hemat saya sudah saatnya dilakukan Memorandum of Understanding (MoU) antara Kementerian Agama, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang kemudian didistribusi kepada Pemerintah Daerah khususnya Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota untuk membuka MDT di lingkungan sekolah. Bisa diwujudkan dalam bentuk extra kurikuler.

Misalkan SDN Bungkanel dididirikan MDT Annahdiyyah agar anak-anak di SD tersebut mempunyai pengetahuan keagamaan yang cukup. Lebih dari itu adalah mengembangkan karakter, mental dan moral peserta didik. Output sinergi MDT di Sekolah adalah para siswa tidak akan naik kelas jika belum lulus sejumlah mata pelajaran di MDT. Katakanlah semacam pra syarat toefel untuk lulus di sebuah perguruan tinggi. Saeandainya FDS dipahami dengan menghadirkan MDT di sekolah tentu masyarakat santri tidak akan gelisah dan berang dibuatnya. Namun bagi daerah yang sudah tumbuh subur lembaga pendidikan keagamaan Islam tidak pas untuk dikembangkan FDS.

Pada saat yang sama, ikhtiar mencerdaskan anak bangsa yang berkarakter dan bermoral harus juga didukung oleh DPRD, salah satunya dengan mengesahkan sejumlah Perda-Perda sebagai payung hukum agar MDT di sekolah dapat terwujud dengan baik. DPR harus berjuang secara serius agar berkolaborasi dengan Pemda untuk memperhatikan MDT dengan pendekatan Perda agar negara mempunyai alasan kuat untuk memberikan pembiayaan terhadap MDT. Pada saat yang sama masyarakat harus memilih wakil rakyat yang memperjuangkan MDT. Masyarakat mempunyai posisi tawar agar mereka setelah jadi legislatif berkomitmen memperjuangkan Madin sebagai entitas penting Pendidikan Keagamaan Islam yang mengakar di masyarakat.

Kebijakan yang baik harus didasarkan pada sejauhmana dapat mendorong partisipasi masyarakat mengembangkan pendidikan nasional, bukan malah sebaliknya. Negara berhutang budi pada lembaga pendidikan keagamaan Islam yang telah didirikan oleh the founding fathers pendidikan nasional Indonesia.

*Penulis bekerja selama 9 tahun pada Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Ditjen Pendidikan Islam Kemenag RI dan Ketua Bidang Kaderisasi Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor 2015-2020.

Sumber : Nu Online Rabu, 17 Agustus 2016 15:00