Untuk Tindak Kelompok Radikal, Revisi UU Terorisme Mulai Dibahas DPR

338

INDRAMAYU – Desakan yang dikemukakan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Prof DR KH Said Aqiel Siradj di Indramayu, agar UU Terorisme segera direvisi langsung disambut positif pemerintah dan DPR RI.

Informasi yang dihimpun Media Ansor Jabar Online, DPR RI kini mulai melakukan pembahasan revisi Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tersebut. Salah satu tujuannya untuk memudahkan aparat penegak hukum melakukan upaya preventif pencegahan terorisme agar ada langkah antisipasi salah satunya bisa menindak tegas kelompok atau organisasi yang diduga anti pancasila dan menebarkan paham radikal.

Mengunci mati sel terorisme memang sudah semestinya dilakukan, jika Indonesia tidak menginginkan terjadi perang seperti yang terjadi di Negara-negara timur tengah. Pasalnya kelompok anti pancasila dan ingin mengusung khilafah sehingga gerakannya ingin melakukan kudeta dengan demontrasi besar-besaran, menebar teror menggunakan bom bunuh diri dan yang lainnya kini telah merebak masuk di desa-desa seluruh Indonesia. Untuk itu tepat jika DPR RI bersama pemerintah eksekutif segera mengesahkannya sesuai saran PBNU.

Hal itu dibenarkan oleh pemerhati hukum dan gerakan radikal Casmudi SH, menurutnya poin draft pembahasan RUU Terorisme sudah diajukan sejak Bulan Februari Tahun 2012, dimana isinya tentang bagaimana ada perluasan defisi terorisme dan kekerasan. “Kemudian di RUU yang diajukan Kementrian Politik Hukum dan Ham tersebut juga berisi bagaimana polisi dapat melakukan penangkapan orang yang diduga terlibat jaringan terorisme,” ungkapnya.

Pria lulusan Sarjana Hukum Universitas Wiralodra Indramayu itu juga mengemukakan, terduga terorisme juga dapat ditahan 30 hingga 120 hari hingga perkara diputuskan. “Nah pasal yang masih pro kontra adalah pasal 43 A dimana berisi dalam rangka penanggulangan tindak pidana terorisme penyidik atau penuntut umum dapat melakukan pencegahan setiap orang tertentu, yang diduga akan melakukan tindak pidana terorisme, untuk dibawa atau ditempatkan pada tempat tertentu yang menjadi wilayah hokum penyidik atau penuntut umum dalam waktu paling lama 6 bulan,” jelasnya.

Ditambahkan, pencegahan tetap harus dilakukan oleh intelegent sesuai UU 17 Tahun 2011 tentang intelegen Negara kemduian kementrian agama dan Badan Nasional Pemberantasan Terorisme (BNPT). “Untuk saat ini data yang falid dari tim pencegahan tersebut bisa jadi bukti permulaan yang cukup untuk ditindaklanjuti oleh penegak hokum dalam hal ini polri, tentang TNI sebenarnya telah diatur dalam UU nomor 34 tahun 2004 yang bisa melibatkan diri dalam pertahanan Negara atas serangan teroris,” bebernya.

Senada juga dikemukakan oleh Ketua Pimpinan Cabang (PC) Gerakan Pemuda Ansor Kabupaten Indramayu Miftahul Fattah, menurutnya imbauan dan desakkan PBNU sudah sangat tepat, sebagai banon NU Ansor siap mengamankan setiap kebijakan PBNU. “Radikalisme dan terorisme yang mengancam kedaulatan dan keutuhan NKRI adalah musuh yang nyata yang harus dilawan, jika terdapat kelompok yang sudah terdeteksi penyumbang dan penebar ajaran yang mengarahkan kepada tindakan terror maka harus ditindak tegas,” tandasnya.

Sebelumnya, Ketua Umum PBNU Prof DR KH Said Aqiel Siradj pada mauidzoh khasanahnya di Konfercab PCNu Indramayu beberapa pecan lalu, melihat keberadaan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan kelompok organisasi radikal anti pancasila terus mengancam keutuhan Negara Kesatuan Indonesia (NKRI) dengan misi khilafahnya, untuk itu pihaknya meminta pemerintah dan DPR RI sesegera mungkin melakukan revisi Undang-undang anti terorisme.

Lanjut Kyai Said, UU tersebut terlalu lentur pada kelompok ormas yang sudah menuduh kafir warga yang mempercayai dasar Negara Pancasila, UU dasar 1945 dan segala aturan konstitusi yang ada di Negara ini.

Diakui, selama ini, kalau berbuat kriminal mengebom dan yang lainnya baru bisa ditangkap, jadi selama HTI dan sejenisnya belum melakukan pembunuhan, hanya mengucapkan pancasila syirik dan thogut, polisi dan penegak hukum belum bisa menangkap mereka. Hal itu karena UU subversi dicabut dengan alasan hak asasi manusia, makanya ia mendesak UU terorisme harus direvisi.

Kyai Said menyatakan, Negara terlalu lentur dengan kelompok yang membahayakan NKRI, celakanya RUU anti terorisme yang sudah diajukan ke DPR RI masih besar jumlah wakil rakyat yang tidak menyepakati dan enggan mengesahkannya karena alasan yang tidak rasional. Padahal, seharusnya segera disahkan, untuk menjaga Negara ini dari kelompok yang merongrong NKRI, agar kelompok teroris sebelum melaksanakan aksinya bisa diantisipasi sejak dini.

Dijelaskan Kyai Said, bahaya HTI sudah bisa dilihat dari awal didirikannya, dimana Hizbuttahrir Palestina awalnya didirikan oleh Taqiyyudin Annabhani untuk membebaskan Palestina, setelah pendirinya wafat digantikan Abdulqo’im dan menghilangkan kata Palestina menjadi Hizbut tahrir saja yang tujuannya diubah menjadi partai untuk membebaskan manusia dari thogut dengan mendirikan khilafah Islamiah. Organisasi tersebut memegang teguh kalau suatu Negara bukan khalifah maka dia pantas dianggap thogut, kafir dan sejenisnya, sehingga bisa dilawan dan disingkirkan.

Ditambahkan Kyai Said, Perjuangan warga NU saat ini sangat berat dan luar biasa menyita stamina, akan tetapi ia bersama seluruh jajaran di PBNU telah membawa NU kearah yang tepat dan benar. (pay)