Ulil Abshar-Abdalla dan Metamorfosa Pemikirannya
Ulil Abshar-Abdalla (Gus Ulil) namanya. Fenomenal kiprah dan pemikirannya. Pelopor Jaringan Islam Liberal (JIL). Sebuah kelompok intelektualisme Islam perkotaan yang bermarkas di Utan Kayu, Jakarta Timur. Yang menarik Ulil Abshar-Abdalla dan banyak aktivis JIL lainnya, adalah berlatar belakang pesantren dan Nahdlatul Ulama. Keberadaannya membuat geger tetapi sekaligus diperhitungkan.
Kalau mau ditarik ke belakang, tradisi pemikiran Gus Ulil sangat lekat dengan pendahulunya KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Prof. Dr. Nurcholish Madjid (Cak Nur), Prof. Dr. Harun Nasution, Ahmad Wahib dan lainnya. Pemikiran Islam yang dihidangkan Gus Ulil melalui JIL adalah seputar kontekstualisasi pemikiran dan pemahaman Islam yang jumud dan rigid sebatas doktrin. Dan sebagai puncaknya adalah ketika Gus Ulil menulis opini di harian Kompas dengan judul ‘Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam.’
Bagi Gus Ulil, tidak ada itu yang disebut hukum Tuhan, yang ada adalah hukum kemanusian universal. Dan beberapa hal lain lagi yang dibahas, yang kemudian orang menganggap bahwa apapun yang keluar dari pikiran Gus Ulil otomatis akan dianggap liberal, sebagai sebuah pemikiran yang merusak pakem pemikiran mainstream. Selain Gus Ulil, ada dua sahabat pemikiran lainnya yang mumpuni, adalah Abdul Moqsith Ghazali dan Luthfi Asyaukanie. Beberapa intelektual Islam lain yang kerap mengisi kajian JIL di antaranya M. Dawam Rahardjo, M. Guntur Romli, Jalaluddin Rakhmat, Syafiq Hasyim, Kautsar Azhari Noer, KH. Husein Muhammad, Zuhairi Misrawi dan masih banyak lagi.
Khusus berkenaan dengan Gus Ulil, terutama dengan metamorfosa pemikirannya, ini menarik kita bahas. Dikenal publik sebagai intelektual Islam liberal, Gus Ulil kemudian terjun ke dunia politik, masuk dalam jajaran DPP Demokrat. Partai asuhan Susilo Bambang Yudhoyono yang pernah mencapai puncak kejayaannya dengan menjadi pemimpin tertinggi dua periode. Tidak jarang orang yang menyayangkan sikapnya ini, dengan anggapan bahwa terjun ke politik membuat citra intelektualismenya tercoreng, ia dianggap tidak konsisten. Maklum sampai saat ini anggapan publik terhadap partai politik selalu identik dengan korupsi dan kong kali kong.
Sebuah gebrakan luar biasa. Ketika pamor JIL semakin redup. Isu-isu Islam liberal seperti sudah tidak ‘laku’, Gus Ulil ‘berhijrah’ dan ada upaya mencitrakan diri untuk agar tidak dicap lagi sebagai aktivis Islam liberal. Gus Ulil kemudian membuat panggung sendiri, menginisiasi sebuah pengajian klasik ala pesantren yakni dengan membuka pengajian kitab Ihya ‘Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali. Kitab yang sangat masyhur di pesantren yang berhaulan tasawuf.
Metamorfosa pemikiran Gus Ulil dianggap oleh sebagian orang sebagai bentuk ‘pertobatan’ intelektual dan diri. Sebagian orang menganggap bahwa Gus Ulil sudah kapok dengan cap liberal. Meskipun Gus Ulil sendiri membantah disebut usaha perubahannya itu sebagai pertobatan. Usaha perubahannya itu–dan diakui Gus Ulil sendiri–sebagai usaha perubahan yang juga dilakukan Imam Al-Ghazali sendiri, termasuk Cak Nur dan Prof. Dr. Harun Nasution yang di akhir hayat intelektualnya cenderung merapat ke dalam dunia tasawuf.
Bagi saya, metamorfosa Gus Ulil sesuatu yang manusiawi. Tidak ada yang aneh dan apalagi dicurigai. Kita lihat saja kecenderungan Gus Ulil. Sejak dahulu di JIL, Gus Ulil itu dicaci sekaligus dipuji dan diminati. Apalagi Gus Ulil punya modal sosial yang bagus, yakni ayahnya seorang kiai alim di lingkungan pesantren dan NU, ditambah ia menjadi menantu KH. Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus). Seperti Gus Dur, senyeleneh apapun Gus Dur, orang–terutama warga Nahdliyin–akan selalu menaruh hormat kepadanya. Ada secamam peraturan (akhlak) bahwa santri dan nahdliyin itu harus selalu menghormati putra-putrinya kiai, bagaimanapun kepribadian dan sikapnya.
Gus Ulil memahami betul bahwa zaman terus berubah. Masa keemasan di JIL saat itu tidak akan abadi. Ia harus beradaptasi dengan konteks zaman yang dinamis. Dan usahanya mencitra ulang kepribadiannya bisa dikatakan sukses: selain karena Gus Ulil memang alim (menguasai kitab kuning dan kitab putih), pengajian ihya online-nya diminati warganet. Ia diundang ngaji ihya di mana-mana. Para kiai dan umumnya warganet yang dahulu ‘membenci’ Gus Ulil, kini mulai banyak yang berbalik mengaguminya. Di sini Gus Ulil berhasil memenuhi dahaga dakwah Islam di zaman media sosial.
Kalau Gus Ulil terus konsisten dalam usahanya pada kajian tasawuf dan menghindari isu-isu kontroversial lainnya, bukan tidak mungkin, seiring usianya yang terus berlanjut, Gus Ulil akan berpeluang dan direstui untuk menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Inilah saya pikir puncak karir keulamaan Gus Ulil. Sebab di kalangan nahdliyin pun sedang terjadi kekhawatiran tentang siapa sosok kiai yang akan menggantikan Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj. Katakter ulama yang moderat dan memahami pluralisme. Sebab para kiai yang ada dalam barisan Alm. KH. Hasyim Muzadi dan Ust Muhammad Idrus Romli juga begitu berambisi merebut posisi Ketum PBNU, sementara komitmen moderatisme dan pluralismenya tak sekuat kiai-kiai seperti Kiai Said, Kiai Masdar, Kiai Ishomuddin.
Wallaahu a’lam
Mamang M Haerudin (Aa)
GP Ansor Kabupaten Cirebon
Pesantren Bersama Al-Insaaniyyah, 11 Februari 2018, 11.44 WIB