Oleh: Moh. Rifqi Salim Agil (Pengurus DPD KNPI Kabupaten Bandung)
Lagi-lagi di bulan penerimaan mahasiswa baru pembicaraan terkait dengan pelaksanaan ospek selalu dapat atensi. Karena hal ini sepertinya akan menjadi pembicaraan tahunan mengingat tidak sedikit berita dari tahun ke tahun tentang jatuhnya korban kekerasan bahkan nyawa karena mengikuti kegiatan ospek mahasiswa di kampus.
Bahwa ospek ini akan selalu dibicarakan, karena bisa jadi bagi mereka yang telah mengalaminya timbul trauma sehingga dapat muncul kembali ketika momentumnya hadir lagi.
Mau dibilang lebay ataupun lemah juga tak apa, bolehlah kita merenungi semua dinamika yang hadir dalam pelaksanaan ospek mahasiswa terutama kekerasan yang hadir di dalamnya.
Setidaknya kekerasan terbagi menjadi tiga, mengutip dari Galtung Johan, yaitu:
Pertama, kekerasan struktural: yaitu kekerasan yang dibangun dalam suatu sistem yang menyebabkan individu kehilangan kebutuhan dasarnya, kehilangan hak atas dirinya.
Kedua, kekerasan langsung: kekerasan dengan menyakiti individu secara fisik, ataupun psikis, seperti memukul, mencaci maki atau menteror dan sebagainya.
Ketiga, kekerasan kultural : kekerasan yang muncul dari konflik yang membuat lahirya kebencian ketakutan dan dendam. Coba lihat deh dalam pelaksanaan ospek? kekerasan paket komplit kan?
Kaitanya dengan kekerasan struktural, biasanya dalam pelaksanaan ospek yang menjadi panitia, kakak senior bahkan alumni menjadi sosok pemegang kuasa atas sistem.
Mereka dapat mengotak-atik aturan dengan pola komunikasi strategis yang menekan peserta agar selalu patuh dan mengikuti setiap intruksi dan tentunya di sini peserta mau tidak mau harus selalu menerima meskipun membuat ia menderita dan kehilangan kebutuhan pribadinya.
Berbicara kekerasasan secara langsung, sangat jelas sekali, ketika peserta tak patuh dan tak mengikuti sitem yang dibuat panitia. Setidaknya mereka akan mendapat cacian, bentakan dan marah, bahkan tak sedikit yang menindaknya dengan serangan fisik.
Jelas kita tidak bisa menutup mata akan hal ini dengan adanya pemberitaan di berbagai kampus yang jatuh korban dan mungkin salah satu pembaca adalah korbanya baik itu secara fisik maupun psikis.
Terakhir yang paling bahaya, kekerasan dalam ospek mahasiswa akan menjadi sebuah kultur yang membuat lahirnya para pendendam yang akan terus melanggengkan pola pendidikan yang sama dan terus berlanjut dari generasi ke generasi, entah sampai kapan itu serta membentuk pribadi-pribadi yang bermental sok kuasa.
Kata Bordieu, kekerasan itu merupakan buah dari kekuasaan sebab terjadi suatu kelas yang mendominasi kelas lain yang lebih rendah. Tujuanya tidak lain hanya untuk melanggengkan praktik kekuasaan dengan hadirnya penekanan-penekanan. Sehingga dengan pola pendidikan yang sarat dengan kekerasan tersebut, hanya omong kosong.
Bahkan biasanya panitia dengan mengandalkan kekuasaanya dia dapat memaksa, mejadi gila akan hormat dan kepatuhan sehingga selalu menekan. Meski bahasanya manis semisal kami berlaku seperti ini karena untuk membentuk kalian yang lebih baik lagi, namun bisa jadi itu hanya pola penyamaran untuk bertindak keras.
Karena pola semacam itu ciri-cirinya masuk juga dalam gagasan kekerasan simboliknya Bordieu, kekerasan yang diupayakan seorang aktor dominan dengan menerapkan makna sosial yang diinternalisasikan kepada individu kemudian dianggap sebagai hal yang natural sehingga kita bisa menganggap benar kekerasan tersebut hadir karena terpatok kepada makna sosialnya.
Kelihatan pada dasarnya pendidikan itu harus benar-benar humanis. Ketika pendidikan justru malah menyelenggarakan praktik-praktik kekerasan disana ada ego dan motif untuk melanggengkan kekuasaan atau segala hal yang mapan.
And for last, Sebagai disclaimer tulisan ini hanya sebuah cuitan penulis atas dasar pengalaman yang dialami, tidak untuk mengeneralisir juga tidak untuk menuduh salahsatu pihak atau lembaga, melainkan untuk berbagi pandangan dan menyuarakan keresahan atas hinanya sebuah pendidikan bila masih sarat dengan kekerasan.