Tentang Pengeras Suara di Masjid, Apa Pendapat Gus Dur?

1129

Ansorjabar online – KH Abdurrahman Wahid beberpa tahun silam pernah menulis tentang ‘Islam Kaset dan Kebisingannya’ yang dimuat dalam majalah Tempo edisi 20 Februari 1982. Tulisan Gus Dur ini begitu relevan dengan kasus pengeras suara masjid yang menimpa Meiliana.

Dalam tulisannya Gus Dur menjelaskan bahwa perlu adanya tinjauan kembali kebijakan pengeras suara yang digunakan untuk seruan beribadah di masjid-masjid.

“Apalagi malam hari, lepas tengah malam di saat orang sedang tidur lelap. Dari tarhim (anjuran bangun malam untuk menyongsong saat shalat subuh) hingga bacaan Qur’an dalam volume yang diatur setinggi mungkin. Barangkali saja agar lebih ‘terasa’ akibatnya,” tulis Gus Dur.

Gus Dur menilai berbagai kegiatan seruan keagamaan melalui pengeras suara tersebut secara sepintas dapat diterima sebagai kebenaran.

“Kewajiban bersembahyang, kewajiban menegur kesalahan dan menyerukan kebaikan. Kalau ada yang berkeberatan, tentu orang itu tidak mengerti kebenaran agama. Atau justru mungkin meragukan kebenaran Islam? Undang-undang negara tidak melarang,” jelasnya.

Namun hal ini dapat diterima jika semua yang mendegar seruan melalui pengeras suara memiliki kewajiban sembahyang dan upacara keagamaan yang sama. Bagaimana dengan yang tidak berkewajiban?

Gus Dur menjelaskan bahwa Nabi Muhammad mengatakan kewajiban (agama) terhapus dari tiga macam manusia: mereka yang gila (hingga sembuh), mereka yang mabuk (hingga sadar), dan mereka yang tidur (hingga bangun).

“Selama ia masih tidur, seseorang tidak terbebani kewajiban apa pun. Allah sendiri telah menyediakan ‘mekanisme’ pengaturan bangun dan tidurnya manusia. dalam bentuk metabolisme badan kita sendiri,” jelasnya.

Jadi, Gus Dur menilai tidak ada alasan untuk membangunkan orang yang sedang tidur agar bersembahyang, kecuali ada sebab yang sah menurut agama, dikenal dengan nama ‘illat.

“Ada kiai yang mengetok pintu tiap kamar di pesantrennya untuk membangunkan para santri. ‘Illat-nya: menumbuhkan kebiasaan baik bangun pagi. Istri membangunkan suaminya untuk hal yang sama, karena memang ada ‘illat suami harus menjadi teladan anak-anak dan istrinya,” terangnya.

Namun, ‘illat tidak dapat dipukul rata. Harus ada penjagaan untuk mereka yang tidak terkena kewajiban sembahyang.

“Akal sehat cukup sebagai landasan peninjauan kembali ‘kebijaksanaan’ suara lantang di tengah malam apalagi kalau didahului tarhim dan bacaan Al-Qur’an yang berkepanjangan,” jelasnya.

Terlebih, Gus Dur menambahkan, kalau teknologi seruan bersuara lantang di alam buta itu hanya menggunakan kaset! Sedang pengurus masjidnya sendiri tenteram tidur di rumah. (RA)