Tak Sekedar Kebaya

338

Oleh: Dhilla Nuraeni Az-zuhri (Wakil Sekretaris I PW IPPNU Provinsi Jawa Barat)

“Berkartinilah seperti Kartini yang gundah pada kebodohan, dan yang risau pada keterbelakangan”

Bagi kaum perempuan di Indonesia, tanggal 21 April memiliki makna tersendiri. Karena pada tanggal itu kaum perempuan Indonesia memperingatinya sebagai “Hari Kartini” yang memiliki dasar sejarah yang kuat dan arti yang sangat luas.

Berdasarkan sejarah yang ada, terciptanya hari Kartini ini adalah untuk mengenang jasa dan perjuangan perempuan Indonesia menuju kemerdekaan, pembangunan dan perkembangan peradaban bangsa. Hal tersebut dianggap sebagai salah satu tonggak penting dalam sejarah dan wacana dari perempuan Indonesia.

Sebenarnya tidaklah sulit untuk mengingat kapan hari Kartini. Karena biasanya setiap tanggal 21 April, sebagian kaum perempuan mengenakan pakaian daerahnya masing-masing atau biasanya kebaya.

Simbol hari Kartini akan jelas terlihat pada tanggal 21 April saat para pelajar SD diwajibkan memakai pakaian daerah, para penyiar TV atau instansi lainnya juga mengenakan kebaya yang pada 364 hari sebelumnya tidak pernah mereka pakai juga latah mewajibkan karyawan atau pegawai perempuannya mengenakan pakaian kebaya.

Untuk saat ini hanya sebatas itulah penghormatan terhadap Hari Kartini yang dilakukan masyarakat Indonesia.

Padahal jika digali lebih dalam akan banyak makna dan filosofi positif yang dapat diambil dari perayaan Hari Kartini.

Dari tahun ke tahun perayaan Hari Kartini hanya dengan kegiatan yang berkaitan dengan kewanitaan saja, padahal dalam sejarahnya Kartini malah berusaha mendobrak dominasi kaum lelaki dimana beliau tidak ingin dimadu. Beliau ingin sekolah setinggi tingginya, beliau tidak ingin dijodohkan.

Kegiatan yang Kartini lakukan sungguh tidak lazim di jamannya, dan segala cara dilakukan agar bisa mendapatkan hak yang sama dengan kaum pria.

Namun sebaliknya justru setelah sekian lama, kondisi kaum wanita saat ini masih banyak yang jauh dari harapan. Ada yang mandiri tapi kebablasan seolah-olah dapat hidup tanpa kaum lelaki padahal yang seharusnya adalah kesetaraan, saling menghormati, saling mendukung, saling melengkapi, dan saling memberi peluang untuk bisa menghirup nafas kebebasan secara manusiawi.

Ada juga yang masih mengidap penyakit Cinderella Complex yang masih berangan-angan suatu saat kelak ada seorang pangeran tampan dan berkuda putih dan melamarnya, memberikan cinta yang meluap luap dan kehidupan yang indah hingga kebahagiaan yang tiada akhirnya.

Yang lainnya, pun ada yang tidak berani memperjuangkan impiannya, pasrah menunggu keajaiban yang bisa merubah nasib mereka ke arah yang lebih baik dan inipun tidak kurang yang akhirnya menerima apapun kehidupan yang disodorkan untuknya.

Dan kini sudah saatnya Hari Kartini dikembalikan kepada makna sebenarnya.

Jadikan Hari Kartini sebagai penghormatan atas wujud perjuangan kaum perempuan, simbol persamaan gender, dan emansipasi wanita. Kartini ada sebagai pahlawan, bukan dengan tindakan radikal demi memperjuangkan kebenaran yang dipercayainya. Tapi semuanya itu tetap ada dalam koridor kodrat wanita.

Makna yang lebih mendalam dari Hari Kartini adalah  memperingati kebhinnekaan kita, mengingatkan kesatuan kita dalam berjuang bersama-sama, bahu-membahu lelaki dan perempuan dalam memajukan bangsa Indonesia.

Hari Kartini sungguh menarik dan unik karena berbeda makna dengan makna Hari Ibu. Walaupun terkait dengan Kongres Wanita Indonesia, Hari Ibu pemaknaannya lebih banyak berawal dari budaya Mother’s day di luar negeri.

Juga berbeda dengan makna hari Sumpah Pemuda, karena hari Sumpah Pemuda adalah titik mula pergerakan ke arah persatuan perjuangan bangsa sebagai satu kesatuan nasional, dimana bangsa kita bersepakat untuk menyatukan keragamannya ke dalam satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa.

Sedangkan Hari Kartini adalah hari dimana kita sebagai generasi muda memaknai perjuangan para pahlawan wanita Indonesia yang sesungguhnya. Bukan hanya sekedar mengenakan kebaya, setelah itu kita bangga telah memperingati Hari Kartini.

Semoga Kartini bisa mengajarkan wanita indonesia untuk berbenah, menuju apapun yang lebih baik, lebih bermakna dan lebih bernilai.

*Tulisan ini ditulis pada Latihan Kader Dasar Fatayat Kota Bandung 2016 silam