Syafa’at (Apakah) Hanya Dari Dzurriyyah?

398
Oleh : Farid Farhan
Mengulas tentang tema ‘syafa’at’ boleh jadi akan berakhir pada ‘debat kusir’ karena masing-masing dari kita belum sampai kepada hakikat syafa’at itu sendiri. Sebagai sebuah istilah bagi satu fase perjalanan menuju Surga atau Neraka, ia hanya bisa kita pelajari melalui dalil sam’iyyaat (informasi wahyu) berikut tafsir terhadap wahyu itu yang juga beraneka ragam.
Prof Dr Quraish Shihab dalam satu kesempatan di salah satu pembahasan ayat mengenai ini dalam Tafsir al Mishbah mengatakan bahwa Syafa’at memiliki akar kata Syafa’a yang secara semantik berarti ‘menggenapkan’, Syafa’at sendiri berarti ‘Penggenapan’. Jika ada sesuatu yang genap, tentu pasangannya adalah perkara yang ganjil atau kurang, atau boleh jadi tidak sempurna.
Ini berarti, kita tidak mungkin menjalani kehidupan beragama dengan cara berharap mengandalkan syafa’at yang menurut keterangan akan terjadi di Alam Mahsyar, sebuah bumi atau lebih tepatnya pelataran yang terbuat dari perak murni, tempat berkumpul kaum terdahulu hingga kaum yang datang kemudian.
Konon, didekatkan kepada penghuni alam itu, matahari hingga jarak satu mil saja lengkap dengan suhu 70 kali lipat dari suhu matahari saat ini. Boleh dibayangkan sendiri, keadaan manusia saat itu, tentu kulit mereka terbakar, bahkan menurut keterangan ini, manusia saat itu akan tenggelam oleh keringatnya sendiri hingga sampai batas mulut, bahkan sampai batas telinga.
“Sesungguhnya keringat pada hari kiamat, melebihi bumi sebanyak 70 siku, dan sesungguhnya keringat itu sampai kepada mulut dan telinga manusia,” (Hadist Riwayat Imam Muslim).
Akan tetapi, masih menurut keterangan yang sejak awal tulisan ini merupakan mafhum dari Kitab Tanwiirul Quluub Karya Syaikh Amin al Kurdi asy Syafi’i an Naqsyabandiy. Kondisi tersebut bukanlah kondisi umum manusia saat itu, melainkan kondisi mereka berbeda-beda, tergantung kepada kadar dosa yang telah mereka perbuat,
Maka sebagian dari mereka ada yang keringatnya sampai batas mata kaki, ada yang sampai batas lutut, ada yang sampai batas perut, ada yang sampai batas leher, ada yang keringatnya sampai menenggelamkan badan mereka. Tetapi ada pula yang tidak berkeringat sama sekali, dan tidak sedikit dari manusia di sana saat itu, malah berada dalam keteduhan ‘arasy, yakni manusia yang Allah kehendaki untuk dimuliakan. Seperti keterangan yang termaktub dalam aneka Hadist Shahih.
Karena durasi waktu yang sangat lama, sebagian keterangan menyebut 40 Tahun dalam kondisi terik panas sekaligus kesulitan dalam keadaan tersebut. Manusia saat itu, mulai melakukan safari kepada para nabi dan rasul yang pernah diutus oleh Allah SWT. Nabi Adam, Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa ditemui oleh mereka. Namun sayang, para kekasih Allah itu tidak bisa berbuat banyak, mereka pun repot mengurus diri mereka sendiri.
Hingga sampailah mereka, berdasarkan referensi dari Nabi Isa untuk menemui Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Kata Nabi waktu saat itu, “Aku, untuk itu (syafa’at), Insya Allah,”. Perkataan Nabi ini sesuai dengan keterangan Hadist Mutawatir bil ma’na dari Imam at Tirmidzi dan yang lainnya yang berbunyi “Aku yang pertama menggenapkan dan yang pertama digenapkan pada hari kiamat tapi aku tidak sombong (dengan anugerah ini),”.
Pemilik anugerah ‘syafa’at’ saja tidak sombong hingga berjualan ‘syafa’at’ untuk mendapatkan pembelaan umat. Hari ini, salah satu cabang rukun iman kepada hari kiamat ini seolah ‘dijual’ untuk kepentingan aksi massa, membela ‘dzurriyyah’ (keturunan) nabi berarti membela nabi, membela nabi berarti akan mendapat ‘syafa’at’, tidak membela ‘dzurriyyah’ nabi berarti melawan nabi, dan melawan nabi berarti tidak akan mendapat ‘syafa’at’.
Melalui gambaran kondisi Alam Mahsyar seperti saya kemukakan diatas, tentu siapapun akan merasa ketakutan dan tergerak dengan propaganda ini untuk cari selamat, akhirnya melakukan ‘taqlid buta’, sumuhun dawuh kepada logika membela dan tidak membela.
Pikiran umat teralihkan dari rumus beragama ‘tidak boleh taat kepada makhluk dalam rangka melawan Khaliq’. Ketaatan kepada makhluk, siapapun dia, baik pemimpin negara, pemimpin sosial, pemimpin komunitas tidak boleh sedikit pun ada dalam kerangka berbuat maksiat dan dosa.
Hanya Nabi yang bersifat Ma’shum atau terpelihara dari dosa. Adapun ‘dzurriyyah’ (keturunan) nabi, tidaklah demikian. Perintah maupun seruan yang keluar dari ‘dzuriyyah’ pastilah sama dengan kita, yakni ‘ihtimaal’ atau memikul dua kemungkinan, berbuah taat, atau berbuah dosa.
Untuk ‘syafa’at’ sendiri, bukanlah mutlak dari ‘dzurriyyah’ (keturunan) nabi. Paparan Syaikh Amin al Kurdi mungkin bisa membuat cakrawala berfikir kita terbuka, bahwa ‘syafa’at’ itu milik nabi dan milik mereka yang Allah kehendaki.
Syaikh Amin al Kurdi berkata Ketahuilah bahwa Syafa’at itu ada berbagai jenis, yang terbesar adalah syafa’at di Alam Mahsyar, berupa keringanan dari panjangnya kesulitan disana, syafa’at ini khusus dari Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Kedua, Syafa’at bagi suatu golongan agar dapat masuk surga tanpa melalui proses perhitungan amal, syafa’at ini menurut Imam Nawawi khusus dari Kanjeng Nabi Muhammad SAW.
Ketiga, Syafa’at bagi mereka yang seharusnya masuk ke neraka, tetapi tidak jadi masuk karena syafa’at ini. Keempat, Syafa’at bagi mereka yang telah masuk ke neraka untuk bisa keluar dari neraka, syafa’at ini dapat diperoleh dari para nabi, malaikat bahkan orang beriman biasa. Kelima, Syafa’at bagi penghuni surga sehingga bertambah derajat mereka. Keenam atau terakhir, Syafa’at untuk keringanan siksaan bagi mereka yang kekal di neraka, ini khusus dari Kanjeng Nabi Muhammad SAW.
‘Alaa kulli haal, merujuk pada definisi Prof Dr Quraish Shihab diatas, perkara yang menggenapkan hanya akan kita peroleh jika kita sudah memiliki perkara untuk digenapkan. Artinya, harus ada amal perbuatan baik terlebih dahulu yang kita perbuat hari ini, sehingga jika itu tidak cukup bagi kita untuk memperoleh rahmat Allah, barulah kemudian Syafa’at akan menggenapinya.
Mengharapkan full Syafa’at tanpa berbuat apa-apa, apalagi dengan hanya mengikuti aksi bela ini dan itu, tentu menjadi perkara yang tidak masuk akal. Semoga kelak di akhirat, Syafa’at Kanjeng Nabi Muhammad SAW menaungi kita sekalian. (*)