SEKOLAH AGAMA

175

Oleh : Sobih Adnan

Sepanjang 1990-an, nama madrasah asuhan almarhum bapak tidak pernah terucap fasih dan lengkap oleh sebagian warga. Cukup dibilang, ‘Sekolah Agama’.

Apa sebab? Ketidak-adilan negara sudah sejak dalam pikiran.

Sebenar-benarnya sekolah, menurut mereka, cuma yang masuk pagi, gedung berkeramik kinclong, dan guru-guru yang perlente.

Sementara madrasah, masuk siang, lesehan, dengan ustaz-ustaz yang tanpa ada waktu menghafalkan merek-merek baju, apalagi minyak wangi.

Belajar di madrasah, sampingan saja.

Saya sendiri pernah mendengar, seseorang bilang, “Sekolah Agama tidak bermanfaat apa-apa. Sekolahlah ke yang berstatus negeri, biar bisa melanjutkan ke jenjang yang negeri pula.”

Tanpa mengadu ke bapak, tiba-tiba beliau berkata, “Belajar lah yang rajin, masak iya madrasah tidak bisa ikut bersaing.”

Selama puluhan tahun, sekolah negara itu ditimang dan dimanja. Gedung lecet sedikit, bantuan rehab langsung datang dan diekskusi. Persis, dikawal penuh negara, sampai-sampai tak asing istilah SD Impres (Padahal semestinya, inpres/instruksi presiden).

Sedangkan madrasah, saya juga ingat, ketika santri liburan, bapak sendiri yang naik ke atap gedung, bukan menambal yang bocor, tapi mengganti yang remuk.

Madrasah, sudah lama jadi anak tiri. Beruntung, jelang Reformasi 1998, keistikamahan para ustaz berhasil menelurkan lulusan yang tidak sembarang. Madrasah bisa penuh percaya diri menyetarakan dengan sekolah-sekolah ‘yang katanya benar-benar sekolah’ itu.

Saya, bahkan di tengah keluarga, satu-satunya anak yang sama sekali bukan lulusan SD. Murni madrasah. Bapak sering bilang, “Tuh, bisa juga dia masuk negeri.”

Ya, sekilas pandang, hari ini, madrasah sudah dianggap setara. Padahal, ketidak-adilan masih bertumpuk di bawah keikhlasan guru-gurunya.

Tidak percaya? Coba bisik tanya ke ustaz-ustaz, seberapa sering tunjangan guru yang digembar-gemborkan bukti negara ambil bagian dalam pengembangan madrasah itu; macet?

Eh, sekarang perkara lagi, sekolah FDS lima hari. Padahal, jauh lebih penting dari itu adalah lima waktu; prinsip dasar yang dimasukkan madrasah dalam kurikulum wajib dan dijadikan alat penentu.

Sudahlah, sekian dulu. Kapurnya habis.

Jakarta, 12 Juni 2017