Bandung, (ansorjabar online)
Persoalan praktik intoleransi yang diakibatkan konflik sara pada dasarnya banyak disebabkan kesenjangan ekonomi yang kemudian ditunggangi oleh kepentingan politik. Ada dilemma mayoritas, dimana yang minoritas berkuasa secara ekonomi, dan yang mayoritas terbelakang.
Pernyataan itu disampaikan oleh Ketua PW Ansor Jawa Barat Deni Ahmad Haidar Dalam acara Obrolan Teras SINDO (OTS) dengan tema “Kebhinekaan” di De Paviljoen Hotel, Jalan RE Martadinata, Kota Bandung, Selasa (4/4/2017).
Dalam persolan intoleransi ini, lanjutnya, melihat kurangnya kepentingan agama , yang ada kepentingan kepentingan yang lain. Isu sara seringkali terkait dengan dinamika poilitik yang berkembang, terkadang ini menimbulkan kesan ada skenario konfik ini sengaja di pelihara oleh intrumen-instrumen politik Negara.
“Terkadang kita patut curiga, potensi konflik ini dipelihara negara dan elit. Padahal disini instrument Negara menjadi sangat penting sebagai alat keadilan dan menjadi pelindung dalam beragama. Hadir sebagai wasit yang fair. Dan nyatanya dalam hal ini kehadiran Negara kurang”, ungkap Kang Deni.
Merawat kemajemukan dengan senantiasa berpijak pada nilai dan kaidah toleransi adalah tanggungjawab bersama. Sebab ujung daripada itu semuanya terciptanya harmoni masyarakat.
Selain itu, penting pula pengetahuan keagaamaan yang memadai, sebab jika pemahaman agama yang kuat, tidak akan terjadi pelanggaran.
“Prinsipnya semua ajaran agama menyerukan kebaikan. Dan toleransi tidak cukup dengan retorika di atas mimbar, namun harus dibuktikan dalam hubungan sosial mengentaskan masalah-masalah nyata masyarakat. Kita harus menguatkan identitas kita tanpa menegasikan identitas yang lain. Tidak mungkin kita memaksakan semuanya sama”, katanya.
Toleransi akan terjamin, jika pemerintah dan tokoh agama berkomitmen dalam peran dan fungsinya.
“Karna menurut imam Ghazali kondisi umat tergantung umara-nya , dan ruksaknya umara tergantung ulamanya, pemuka agama itu mestinya harus mengedukasi bukan memprovokasi dan dalam hal edukasi pemuka agama harus extra sabar. Dan ulama juga harus intens memberi pengajian kepada pemimpin (umara), jangan sampai ulamanya kebanyakan terbawa agenda politik umara”, pungkasnya. (moch ramdhani/edi).