Oleh : Muhammad Gani Asyauqi
Pesta demokrasi akan berlangsung kurang lebih 7 bulan lagi, yakni kurang dari satu tahun lagi penyelenggaraan pemilihan umum presiden dan dewan perwakilan rakyat mulai dari daerah sampai pusat akan segera digelar.
Konsentrasi semua elemen tertuju pada pesta tersebut, bak seperti sebuah pesta yang di tunggu tunggu oleh semua lapisan masyarakat, namun yang jadi pertanyaan adalah apakah betul pesta demokrasi dapat betul betul dirasakan oleh semua lapisan masyarakat, atau hanya sekedar gimik elit belaka, hal ini patut menjadi catatan bagi kita semua.
Kilas Balik 2019
Pemilihan umum yang dilakukan pada tahun 2019 adalah pemilu serentak pertama yang dilakukan di Indoensia, pesta demokrasi 2019 patut menjadi pelajaran besar bagi semua kalangan, dari mulai lapisan masyarakat kalangan bawah sampai dengan lapisan elit politik yang ikut serta dalam pesta demokrasi.
Mengutip catatan yang dikemukakan oleh merdeka.com, bahwa pemilu 2019 menjadi pemilu yang banyak memakan korban dari pihak penyelenggara pemilu, bahkan sejumlah pihak menyatakan bahwa pemilu 2019 adalah pemilu terburuk yang pernah di laksanakan sejak era reformasi bahkan orde baru.
Selain dari sisi sistem kepemiluan yang tertera pada UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 yang perlu di evaluasi, pada sisi kerawaan isu money politik dan politisasi sara masih sangat rawan terjadi.
Politik Uang dalam Pemilu
Politik Uang dapat didefinisikan sebagai pertukaran keuntungan tertentu dari parpol atau kandidat calon dari masyarakat yang dituju, keuntungan berupa uang, jabatan atau apapun diberikan untuk ditukar dengan dukungan politik yang termanifestasi dalam bentuk suara. Aspinal dan Sukmajati menyebut hal demikian sebagai bentuk gerakan patronase dan Klientalisme.
Sebuah catatan 2019, dikutip dari Bawaslu Republik indonesia mencatan bahwa dari 28 kasus pelanggaran pemilu yang telah melalui persidangan paling banyak adalah soal kasus politik uang. Ini menjadi bukti bahwa potensi politik uang di pemilu yang akan datang menjadi salah satu issue dan persoalan yang harus di tuntaskan, karena seringkali jabatan demi jabatan yang berasan dari politik uang menghasilkan pemimpin ataupun dewan dewan yang korup.
Politisasi Sara dalam Pemilu
Politisasi sara menjadi persoalan yang tidak boleh di lewatkan dalam kajian subtansi dalam pesta demokrasi, karena hal ini menjadi bagian yang dijadikan alat mainan elit politik dalam menjalankan skema politiknya.
Sepert penelitian yang dilakukan oleh LIPI pada 2019, dimana hasil survei LIPI menunjukkan, bahwa isu SARA menjadi besar karena dikapitalisasi dan dimanipulasi elite politik. Padahal, isu SARA sebenarnya tidak signifikan terjadi di tingkat akar rumput.
Survei ahli yang dilakukan tim peneliti LIPI itu diketahui bahwa tindakan persekusi yang belakangan marak terjadi di masyarakat mayoritas disebabkan penyebaran berita hoaks (92,4 persen), ujaran kebencian (90,4 persen), radikalisme (84,2 persen), kesenjangan sosial (75,2 persen), dan perasaan terancam oleh orang atau kelompok lain (71,1 persen). Sedangkan aspek relijiusitas (67,6 persen) dan ketidakpercayaan antarkelompok/suku/agama/ras (67,6 persen).
Menuju masayarakat yang melek terhadap politik
Dari uraian singkat diatas kita bisa melihat, betapa masyarakat kita harus mulai melek para persoalan pesta demokrasi yang akan hadir pada 2024 ini, baik dari sistem pemilu,
Penyelenggara pemilu, sampai persoalan yang dimunculkan di akar rumput, yakni politisasi uang dan politisasi sara.
Pada persoalan yang hadir, masyarakat hanya menjadi kambing hitam dan korban dari permainan politik yang sedang dimainkan, maka penulis berharap, kita mampu untuk menjadi bagian masyarakat yang senantiasa tercerahkan dan menggerakan orientasi politik ini menjadi manifestasi politik kerakyatan.