Pesantren dan Kabuyutan

535

Oleh : Shalehudin Fauzi*

Jika kita membuka lembaran sejarah pendidikan di Nusantara, ada hal unik yang akan kita temukan. Ada sebuah sistem pendidikan yang lahir dan berkembang secara mandiri tanpa ketergantungan pada penguasa yang bernama pesantren. Keunikan ini kemudian tidak sebatas hanya pada pesantren itu sendiri. Hal yang lebih unik jika kita mau melihat asal-muasal institusi ini berada. Kita akan melihat bahwa unsur lokalitas dan pengetahuan global berkelindan menyatu menjelma menjadi sebuah lembaga pendidikan ini kini.

Pesantren, sebagaimana kita tahu, adalah lembaga pendidikan yang sudah ada sejak lama di Nusantara. Bahkan, sebelum lembaga pendidikan formal pertama hadir di negeri ini, pesantren sudah lebih dulu eksis memberikan pendidikan dan pengajaran. Setidaknya, berdasarkan data kolonial Belanda pada  abad ke 19 untuk di pulau Jawa saja tidak kurang dari 1.853 jumlah pesantren yang ada. Terlepas dari jumlah pesantren yang banyak-hingga sekarang, pesantren ternyata memiliki pertautan sejarah yang unik sehingga menyebar luas di berbagai wilayah.

Dengan bersumber dari berbagai transkrip kuno, banyak yang mengaitkan cikal bakal pesantren dengan kabuyutan. Kabuyutan, pada zaman dahulu, adalah tempat menggembleng para calon raja dengan berbagai pengetahuan dan keterampilan. Kabuyutan yang ada di tatar Sunda, kabuyutan Ciburuy misalnya, kiranya merupakan sebuah mandala yaitu sebuah model lembaga pendidikan pada waktu pengaruh kebudayaan Hindu/Budha masih dominan di Jawa Barat (Atja dalam Partini, 1988). Hal ini diperkuat dengan ditemukannya berbagai naskah kuno Sunda di tempat ini. Seakan mengukuhkan bahwa tempat ini adalah pusat perkembangan intelektual pada zamannya.

Besar kemungkinan, seiring berjalannya waktu tempat-tempat seperti kabuyutan tetap dijadikan lembaga pendidikan namun dengan materi yang diberikan berbeda. Apalagi dengan pengaruh masuknya Islam maka tempat-tempat ini kemudian menjadi pusat pendidikan Islam hingga sekarang. Bukti kongkrit bahwa lembaga ini asli Nusantara, nama pesantren-sebagai pusat pendidikan agama-sendiri bukan berasal dari bahasa Arab. Dari pendekatan linguistik, pesantren, merupakan bentuk dari morfem dasar santri kemudian mendapatkan sisipan prefiks pa dan sufiks an yang berarti tempat. Jadi, pesantren bisa diartikan sebagai tempat santri. Bahkan dalam sumber lain ada sebuah tempat pendidikan sejenis kabuyutan yang disebut “kasatrian”. Jika memang demikian, sejak awal pesantren seakan-akan menjadi lembaga pendidikan yang bertumpu pada akar lokalitas.

Biasanya, para putra raja sebelum diberi kekuasaan untuk memimpin akan terlebih dahulu “dibuang” ke Kabuyutan. Di tempat ini putra mahkota dibekali dengan berbagai kebutuhan untuk memimpin. Maka tak heran kenapa para raja dulu memang terampil di berbagai bidang, pengetahuan tata negara dan memipin perang misalnya. Jika kita tarik ke kehidupan sekarang maka begitu pula yang dialami santri. Santri akan digodog dengan berbagai ilmu keagamaan dan keterampilan untuk kemudian bisa mengaplikasikannya di kehidupan nyata. Banyak santri yang menjadi tokoh nasional berkat sumbangsih pemikiran dan keilmuannya. Gusdur yang mendapatkan gelar “Bapak Bangsa” merupakan santri tulen yang mempunyai kepedulian tinggi terhadap kemanusiaan. Atau Yudi Latif, santri Gontor, yang mempunyai sumbangsih pemikiran bagi khazanah kebangsaan kita dengan bukunya Negara Paripurna dan Mata Air Keteladananan.

Jika dahulu kabuyutan sebagai pusat pendidikan khusus bagi para putra raja, maka dengan perkembangan kebutuhan intelektual, maka gelar sanrti tidak terbatas bagi kelompok tertentu. Tentu hal ini dapat dipahami, selain ilmu pengetahuan tidak diperkenankan untuk dimonopoli, juga karena pada masa perkembangannya Islam membutuhkan banyak intelektual untuk menghadapi peperangan dan pergulatan sosial-budaya pada awal kedatangannya. Jika meminjam istilah Gusdur, pada saat itu Islam membutuhkan opsir pemimpin serangan. Tentu yang dimaksud opsir pemimpin oleh Gusdur adalah santri-santri yang menjadi cikal bakal kiai.

Memang demikian, dengan berbagai pergulatan sosial-budaya pada awal perkembangannya, pesantren juga kemudian berkontribusi bagi kemerdekaan Republik Indonesia. Sebagaimana Zainul Milal Bizawie tuliskan dalam bukunya yang berjudul “Laskar Ulama-Santri & Resolusi Jihad” peran kaum santri dalam melawan kolonial dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia tak bisa dipandang sebelah mata meski kemudian hanya sedikit buku sejarah yang mengulas perjuangan kaum santri.

Jika dahulu di kasatrian dan pagelaran para calon raja diberi keterampilan beladiri maka di beberapa pesantren hingga kini masih ada yang memberikan keterampilan yang sama. Pesantren tidak melulu tentang pengajaran keagamaan bahkan penanaman nilai-nilai kehidupan. Apabila kemarin-kemarin dunia pendidikan kita sedang ramai memperbincangkan full day school maka sejak didirikannya pesantren memiliki sistem pendidikan 24 jam.

Pesantren dengan segala akar lokalitasnya memberikan wajah Islam yang unik, memberikan warna yang berbeda dengan daerah tempat diturunkannya. Maka tak heran jika sarung dan kopiah nasional atau songkok akan sulit kita lihat dalam keberagamaan di timur tengah tetapi dapat dengan mudah ditemukan pada kaum santri di Nusantara. Pesantren berhasil meracik dengan baik unsur globalitas -pengetahuan keagaaman- dan unsur lokalitas keindonesiaan.

Akhirnya, membaca sejarah pendidikan di Nusantara semoga menjadi pengingat untuk setiap kalangan dalam memaknai sumbangsih kaum santri bagi pemikiran, keilmuan dan perjuangan kemerdekaan Indonesia hingga sekarang. Juga tak melupakan peran pesantren sebagai lembaga pendidikan yang telah lama lahir dan berkembang di Nusantara.

Jatinangor, Oktober 2016

*Mahasiswa Sastra Sunda Unpad dan Wakil Ketua di PC PMII Sumedang