Pertemuan Ulama di Kuningan

181

Pertemuan Ulama di Kuningan

Halaqah Alim Ulama se-wilayah 3 Cirebon, Ciamis & Banjar diselenggarakan oleh PCNU Kuningan Selasa 24 Oktober 2017 dengantema: Penguatan Fikrah Nahdliyyah & Ekonomi Umat.
Halaqah yang bertempat di Pesantren Mursyidul Falah di bawah asuhan KH. Busyrol Karim itu, dihadiri langsung oleh Rois Aam PBNU Prof. Dr. KH. Ma’ruf Amin dan Wakil Rois Aam KH. Miftahul Akhyar.

Halaqah yang dihadiri ulama utusan pesantren dari wilayah 3 Cirebon, juga utusan dari Kabupaten Banjar dan Ciamis itu diawali
sambutan oleh PWNU Jabar yang disampaikan oleh salah satu wakil ketua tanfidziyah Prof. Dr. H. Ali Anwar Yusuf. Beliau menekankan bahwa menjadi pengurus NU merupakan khidmah atau pengabdian, yang dilandasi oleh tiga hal yaitu ilmu, keikhlasan dan kesungguhan (al-juhdu).

Selanjutnya KH. Miftahul Akhyar Wakil Rois ‘Aam PBNU mengingatkan kembali filosofi 3 simbol yang disampaikan Mbah Kholil kepada Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari, yaitu Q.S.Thoha ayat 17-23, tongkat dan tasbih.
Para muassis menginginkan NU yang ‘sakti’ seperti tongkat Nabi Musa.
Filosofi tongkat menunjukkan aspek kepemimpinan, sehingga NU sebenarnya tidak alergi terhadap politik namun tentu saja politik yg santun, bermoral dan menjunjung kemaslahatan umat.
Beliau melanjutkan, simbol tasbih sebagai fondasi ruhaniyah dan religiusitas dalam ber-NU.

Untuk menyambut 100 tahun NU KH. Miftahul Akhyar mengusulkan perlunya tiga hal yaitu grand design, grand strategy dan grand control dalam menjalankan roda organisasi.

Berikutnya taujihat utama disampaikan oleh Rois Aam PBNU Prof. Dr. KH. Ma’ruf Amin. Beliau memberikan tamsil bahwa pengurus NU itu ibarat sopir, sedangkan pemiliknya adalah para ulama.

Para ulama diharapkan membantu pengurus untuk kebesaran NU, bukan hanya ‘isman’ (besar namanya semata), tapi juga haqiqatan (memang sungguh-sungguh besar).
Tugas utama ulama menurut beliau selain persoalan agama tafaqquh fiddin, juga tugas mas’uliyah ummatiyah yaitu penguatan akidah
juga pemberdayaan ekonomi umat.

NU itu ciri utamanya adalah fikrah, yaitu aswaja an-nahdliyyah. Kenapa harus ditambahkan an-nahdliyyah karena ada yg mengaku aswaja namun menolak akidah asyariyah dan maturidiyah.

Aswaja itu selain tawassuth (moderat) juga tathawwuriyah (dinamis) namun tetap bermanhaj (manhajiyah).

NU bermadzhab qouli dan manhaji. Tidak tekstualis, juga tidak liberal tetapi manhajiyyan menurut madzahibul arba’ah.

Rois Aam mengajak kita untuk terus menerus melakukan dinamisasi pemikiran (tathwirul fikrah an-nahdliyyah), dengan mencari solusi atau jalan keluar keagamaan (makharij al-fiqhiyyah), salah satunya dalam mencari solusi kebangsaan (makharij al-wathaniyyah).

Dengan demikian menurut Kyai Ma’ruf cara berfikir NU itu solutif atau makharijiyyah (selalu mencari jalan keluar).

Selain fikrah, NU juga adalah harakah (gerakan) khususnya dalam rangka perbaikan umat (islahul ummah), salah satunya lewat pemberdayaan ekonomi umat dan perubahan sistem ekonomi nasional. Beliau memberi gagasan tentang arus baru ekonomi Indonesia yang lebih mengedapankan penguatan ekonomi umat yang merata dan berkeadilan.

Pada kesempatan terpisah, Sekretaris PCNU Kuningan KH.Aang Asy’ari berharap agar acara halaqah ini menjadi momentum untuk menjadikan NU sebagai organisasi tangguh, memperkuat dan mengembangkan pemikiran Aswaja An-Nahdiyyah dan menjaga eksistensi NKRI dari ideologi, gerakan dan pemikiran-pemikiran yang merongrongnya. Harapan yang sama juga disampaikan oleh ketua PCNU Kuningan KH. Aam Aminuddin.