Paradigma PMII, Fachrurizal: Penting Bagi Kader Untuk Memahaminya secara Utuh

337

Paradigma PMII, Fachrurizal: Penting Bagi Kader Untuk Memahaminya secara Utuh

Jum’at, 31 Januari 2020 hari kedua pelaksanaan Pelatihan Kader Dasar(PKD) yang diselenggarakan PK PMII Komisariat UIN Sunan Gunung Djati Cabang Kabupaten Bandung dihadiri oleh ketua PKC Jawa Barat. Acara ini dimulai dari hari kamis 30 Januari hingga minggu 2 Februari 2020 di Batalyon Zeni Tempur 3 Kompi B Dayeuh Kolot Bandung.

Persoalan pasar global hingga kini menjadi sesuatu yang sering menjadi perdebatan. Mahasiswa dan aparat negara hingga masyarakat luas sering melakukan diskusi dan konsolidasi mengenai hal tersebut. Menyikapi hal itu, mahasiswa umum khususnya PMII mencoba meneliti dan memperlajari tentang masalah tersebut Pengurus mengadakan Pelatihan Kader Dasar (PKD) dengan mengusung
tema  “Konstruk Gerakan PMII Dalam Menyikapi Hegemoni Pasar Global”.

Sahabat Fachrurrizal, S.Pd. selaku ketua PKC Jawa Barat turut berpartisipasi mengisi materi “Paradigma PMII” dalam kegiatan tersebut.  Paradigma disini diartikan sebagai titik pijak untuk menentukan cara pandang, menyusun sebuah teori, menyusun peryangaan dan membuat rumusan mengenai suatu masalah. Paradigma merupakan cara dalam mendekati obyek kajianya (the subject matter of particular discipline) yang ada dalam ilmu pengetahuan. Orientasi pendekatan umum ini didasarkan kepada asumsi yang dibangun dalam realitas kehidupan.

Dalam hal ini, Sahabat Fachurrizal mengemukakan teori konseptual yang lebih melihat wilayah cakupannya, disebutkannya ada 3 tingkatan teori yaitu: tingkat mikro, tingkat meso, dan tingkat makro. Tingkat mikro ini memberikan penjelasan hanya pada peristiwanya skala kecil, baik dari sisi waktu, ruang atau jumlah. Sedangkan maso ini ada diantara makro dan mikro. Sementara Makro adalah kebalikan dari Mikro, Makro memiliki cakupan objek yang lebih luas seperti contohnya sistem budaya dan masyarakat secara keseluruhan.

Contoh paradigma tingkat makro yang disebutkan adalah pandangan konstruk sosial tentang kehidupan berrumah tangga. Masyarakat umum telah mengkonstruk laki-laki sebagai pencari nafkah untuk menghidupi keluarga, sementara perempuan melayani laki-laki dengan cara menyediakan apa-apa yang dibutuhkan suaminya di dalam rumah seperti memasak, mencuci pakaian dan mengasuh anak. Perempuan seperti banyak dibatasi pergerakannya dalam menjalani kehidupan, padahal ini hanyalah permasalahan tentang bagaimana kita memandang sesuatu. Jika kita memandang jelas sebuah rumah tangga itu ternyata harus ada kesepakatan diantara keduanya siapa yang bertugas mencari nafkah dan siapa yang menyelesaikan urusan dapur. Hal ini bukan tentang perempuan harus tunduk terhadap laki-laki, tetapi sebelumnya harus sudah ada kesepakatan antara keduanya. Tentang pendidikan, sebenarnya banyak orang tua yang memiliki anak perempuan ingin menyekolahkan anaknya hingga ke jenjang yang lebih tinggi, dan terkadang kondisi ekonomi yang sulit menyebabkan orang tua harus beralasan untuk tidak menyekolahkan anak perempuannya itu. Alasan yang sering kita dengan adalah “perempuan itu tugasnya di dapur mengurus rumah tangga dan tak perlu sekolah” padahal hal itu hanyalah alasan orang tua karena tidak memiliki biaya banyak untuk menyekolahkan anaknya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Jika seorang anak perempuan menawarkan akan mencari beasiswa sendiri untuk menempuh pendidikan, maka orang tua pun akan senang dan bangga, tetapi hal itu sangat jarang terjadi karena sudah adanya konstruk penilaian dari masyarakat yang lebih dahulu hidup sehingga hal-hal tersebut seperti keharusan yang harus dilaksanakan.

“Perempuan maupun laki-laki harus cerdas menilai sesuatu permasalahan sesuai dengan sudut pandang yang objektif agar memerdekakan pikiran yang dihasilkan” ujar Sahabat Fachrurrizal menutup pembicaraannya dalam forum ketika mengisi materi pada kegiatan Pelatihan Kader Dasar tersebut. 31/01/20
(Reni Sujinah)