Papua dan Refleksi Kita

707

Oleh : Salehudin, Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya UNPAD

Kerusuhan di Manokwari dan Jayapura akhir-akhir ini mewarnai berbagai media berita kita. Kita menyangkut-pautkan kejadian tersebut dengan aksi rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya. Tidak ada yang keliru jika beranggapan demikian karena memang faktanya kejadian di Surabaya lah penyebab kerusuhan-kerusuhan di Papua akhir-akhir ini. Kita sama-sama sepakat bahwa kejadian rasisme yang menimpa 40 orang mahasiswa asal Papua di Surabaya tidak beradab.

Namun menarik logika kausalitas jangka pendek pada kejadian Papua merupakan kealfaan berjamaah kita. Ada hal yang sama-sama kita lupakan bahwa dalam melihat konflik sosial (terlebih yang berkepanjangan) adalah apa akar historis yang menjadi latar belakangnya. Sehingga cara pandang kita tidak sesederhana pada pemicu di Surabaya, ada variabel yang kompleks yang sudah berjalan lama pada Papua kita.

Nampaknya kita mesti mengamini Anthony Giddens yang tidak puas dengan cara kerja struktural-fungsional yang menurutnya terjebak pada pandangan naturalistik yang pada bagiannya mereduksi aktor dibalik struktur. Dalam memandang Papua, kita jangan berhenti dengan hanya melihat fenomena kerusuhan di Manokwari dan Jayapura, ia hanya pucuk gunung es dari bongkahan struktur lebih besar di bawahnya sehingga tidak bisa dibaca hanya reaksi atas kejadian di Surabaya, lebih dari itu.

Kita mesti menarik jauh cara pandang kita sejak pertama kali Freeport masuk ke Papua (1967) proyek tersebut menjadi simbol ketidakadilan, penciptaan krisis lingkungan hingga pada bagiannya, tentu saja, menyebabkan krisis kemanusiaan. Bagaimana tidak, pegunungan Esrberg merupakan gunung sakral bagi Suku Amungme. Perusakan atau bahkan kini lenyapnya pegunungan Esberg tidak semata hanya kehilangan hutan dan gunung melainkan penghilangan identitas dan unsur penting dari kehidupan sebuah kebudayaan dan religiusitas sebuah suku. Coba kita bayangkan jika hal yang sama menimpa kita ketika kita harus tercerabut dari tanah air, alam, tempat kita hidup atau bahkan dari tempat peribadatan kita. Memilukan.

Semestinya kita mampu berkaca dari Timo-timur. Seperti yang dituliskan dalam harian Tirto (2019), sebelum terjadinya referendum, pada 1981 dan 1989 Prof. Dr. Mubyarto, peneliti UGM, berangakat ke Timor Leste dan mengadakan penelitian. Hasilnya, beliau mengemukakan dua alasan terciptanya keterasingan di antara orang-orang Timor Leste: pendudukan militer (yang sering dilakukan juga terhadap Papua) dan penyingkiran kelompok-kelompok sosial inti dalam masyarakat Timor Leste dari pastisipasi sosial politik, barangkali hal yang sama juga yang terjadi pada suku Amungme di Papua.

Alih-alih belajar dari sejarah Timor Leste penyakit lupa kita malah cenderung sering kambuh. Tahun 2010 proyek raksasa Merauke Integrated Food Energi Estate (MIFEE) menjadi tanda bahwa bangsa ini adalah bangsa pelupa. Proyek yang direncanakan sampai 2030 membuka lahan hingga 4,6 juta hektare ini seolah-olah memandang tanah Papua bebas dari tata ruang adat dan budaya masyarakat setempat.

Menarik untuk mempertimbangkan pertanyaan besar Eko Cahyono (2019) dalam tulisannya: Pernahkah ditanyakan sungguh-sungguh bahwa proyek raksasa MIFEE (dan proyek pembangunan lainnya) itu diinginkan dan selaras dengan kebutuhan Merauke dan Papua?

Negara tidak ada salahnya memberi kesempatan rakyat Papua untuk berbicara dan mengutarakan aspirasi politiknya, dalam sebuah forum kenegaraan resmi yang difasilitasi oleh Presiden dan jika perlu DPR-MPR, sebegaiamana yang disarankan Al-Fayadl, seorang aktivis Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA). Namun jika ternyata negara kembali mengirim tentara untuk menduduki Papua, ini hanya meneguhkan kembali kita sebagai bangsa yang gagap melihat sejarah dan menyikapi kemanusiaan.

Terakhir, barangkali kita juga mesti belajar menauladani Gusdur dalam menyikapi Papua dengan mengedepankan martabat dan menghindari tindakan kekerasan, sebagaimana diungkapkan Sekretaris Jendral Presidium Dewan Papua (PDP) dalam harian Kompas, “Gus Dur mampu mengalihkan kekalutan politik di Papua pada tahun 2000 silam melalui proses-proses bermartabat yang jauh dari tindakan anarki yang melibatkan pertentangan antara rakyat dengan aparat”.