Merawat Keberagaman Dengan Spirit Nasionalisme Di Kampus.

173

Merawat Keberagaman Dengan Spirit Nasionalisme Di Kampus.

SUMEDANG, ansorjabar online – Melalui diskusi terbuka yang bertajuk “Agama dan Nasionalisme” PMII Rayon Sastra Komisariat Unpad dan BEM Gama Fakultas Ilmu Budaya Unpad membuka ruang diskusi keagamaan dan nasionalisme di kampus sebagai sarana dialektika keberagaman.

Dalam acara ini sebagai pemantik diskusi hadir Guru besar FDK UIN Bandung, Asep Saeful Muhtadi dan Sekretaris Jakatarub, Risdo Simangunsong.

Kepala departemen Kajian Strategis FIB Unpad, Fajar Daffa memberi alasan yang melatarbelakangi diadakannya acara diskusi Agama dan Nasionalisme di Aula PSBJ FIB Senin, (13/11)

Menurut Fajar cukup menyedihkan melihat kondisi organisasi-organisasi keagamaan di jaman sekarang saling sikut, saling menjatuhkan hanya karena masalah sepele, padahal pada dasarnya mereka mempunyai tujuan yang sama.

“Sudah saatnya organisasi-organisasi berbasis keagamaan khususnya di kampus-kampus berkolaborasi dalam menciptakan suatu karya atau gerakan,” ujarnya.

Asep Saeful Muhtadi menyampaikan bahwa menjadi tanggung jawab sosial sebagai insan akademisi terhadap kerukunan umat beragama di tanah air.

Dalam kesempatannya, Asep dan Risdo juga memberikan pandangan tentang peran agama dalam merawat keberagaman.

“Seorang agamawan yang taat pasti memiliki rasa nasionalisme yang kuat. Mereka yang mengaku beragama namun tidak memiliki spirit nasionalisme, sesungguhnya adalah orang yang tidak menjalankan agama dengan seutuhnya,” jelas Asep.

Asep menilai sebagai pemeluk agama tidak boleh dalam menjalankan agama yang setengah-setengah. Sikap demikian akan menyebabkan kedangkalan dalam pemahaman beragama.

Ia juga mengatakan pada hakikatnya, agama apapun pasti memiliki spirit nasionalisme, untuk itu nasionalisme dirasa bisa dijadikan perekat dalam keberagaman.

“Agama itu bisa diibaratkan sebagai pisau bermata dua. Satu sisi ia dapat mempererat keberagaman, sisi lain ia dapat memicu terjadinya konflik,” tuturnya.

Kemudian ia mengaitkan agama dengan budaya, menjelaskan bagaimana kolaborasi antar keduanya.

“Seseorang yang berbudaya cendrung menjadi pemeluk agama yg taat. Dalam beribadah pun kita memerlukan elemen budaya, arsitektur-arsitektur tempat ibadah contohnya pasti ada sentuhan budayanya,” kata Asep.

Budaya menjadi aspek yang melekat dalam menjalankan praktek-praktek keagamaan dan satu sama lain tidak dapat dipisahkan.

Isu SARA Masih Ada

Pada kesempatan itu pula Asep dan Risdo menanggapi isu SARA yang akhir-akhir ini mengancam kerukunan antar umat beragama. Risdo menuturkan bahwa ada satu hal yang saat ini sering dilupakan oleh para pemeluk agama yaitu nilai kemanusiaan.

“Kemanusiaan seharusnya tidak lepas dalam kehidupan beragama,” ujarnya.

Ia juga menilai isu SARA yang sering terjadi akhir-akhir ini hingga tragedi kemanusiaan yang banyak mengatasnamakan agama disebabkan oleh orang-orang yang sulit untuk bersikap inklusif sehingga tidak timbul rasa toleransi dalam kehidupan beragama. Merawat Keberagaman Dengan Spirit Nasionalisme Di Kampus. (FF/RA)