MENGENAL KEKELIRUAN KERANCUAN DAN PENYIMPANGAN SOSOK SYEKH AL- BANI (Muhammad Nashiruddin al-Albani)

824

Oleh : Dede Maulana

Pembaca yang budiman, kembali lagi di artikel tameng faham wahabi, Tau gak sih? Seorang syekh yang sering kita baca karanganya di internet, dikalangan masyarakat karyanya menjamur di setiap buku atau artikel, dan dalam menshahihkan dan mendo’ifkan suatu hadist? Ya betul….. Muhammad Nashiruddin al-Albani atau kita kenal dengan nama SYEKH AL-BANI.
Muhammad Nashiruddin al-Albani lahir di Shkodër, Albania; 1914 / 1333 H – meninggal di Amman, Yordania; 2 Oktober 1999 / 21 Jumadil Akhir 1420 H; umur 84–85 tahun) adalah seorang ulama Hadits terkemuka (menurut sekte wahabi) dari era kontemporer (abad ke-20) yang sangat berpengaruh, dikenal di kalangan kaum Muslimin dengan nama Syaikh al-Albani atau Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, sebutan al-Albani ini merujuk kepada daerah asalnya yaitu Albania.
Sebagai kaum sarungan yang bergelut dalam kitab kuning mengkaji kaidah-kaidah kalimatul arobiya, nampaknya tidak pas apabila menempatkan Al-Bani menjadi seorang pakar hadist (Al-muhaddist), karena bidang ini tidak dapat digeluti oleh sembarang orang, apalagi orang yang tidak memenuhi kualifikasi untuk menyandang gelar al- muhaddits ( Ulama perowi hadits) sebagaimana dirinya. Terlebih dia juga tidak memperoleh pendidikan formal dalam bidang ilmu hadist dari Universitas-Universitas Islam yang terkemuka, atau pernah berguru kepada para syekh ulama hadits dunia, melainkan hanya membaca buku hadist di perpustakaan.
Sejarah terejunya Al-Bani kebidang hadits
Pada umur 20-an tahun, pandangan Syaikh al-Albani muda tertuju kepada Majalah al-Manar terbitan Muhammad Rasyid Ridha di salah satu toko yang dilaluinya. Dilihatnya majalah itu, kemudian dibukanya lembar demi lembar hingga terhentilah perhatiannya pada sebuah makalah studi kritik hadits terhadap Ihya’ Ulumuddin (karangan al-Ghozali) dan hadits-hadits yang ada di dalamnya. “Pertama kali aku dapati kritik begitu ilmiah semacam ini”, ungkap Syaikh al-Albani ketika mengisahkan awal mula terjunnya ke dunia hadits secara mendalam. Rasa penasaran membuatnya ingin merujuk secara langsung ke kitab yang dijadikan referensi makalah itu, yaitu kitab al-Mughni ‘an Hamlil Asfar, karya al-Hafizh al-Iraqi. Namun, kondisi ekonomi tak mendukungnya untuk membeli kitab tersebut. Maka, menyewa kitab pun menjadi jalan alternatifnya. Kitab yang terbit dalam 3 jilid itu pun disewa kemudian disalin dengan pena tangannya sendiri, dari awal hingga akhir. Itulah aktivitas pertamanya dalam ilmu hadits, sebuah salinan kitab hadits. Selama proses menyalin itu, tentunya menjadikan Syaikh al-Albani secara tak langsung telah membaca dan menelaah kitabnya secara mendalam, yang mana dari hal ini menjadikan perbendaharaan wawasan yang ada pada Syaikh al-Albani pun bertambah, dan ilmu hadits menjadi daya tarik baginya.
Ilmu hadits begitu luar biasa memikat Syaikh al-Albani, sehingga menjadi pudarlah ideologi mazhab Hanafi yang ditanamkan ayahnya kepadanya, dan semenjak saat itu Syaikh al-Albani bukan lagi menjadi seorang yang mengacu pada mazhab tertentu (bukan lagi menjadi seorang yang fanatik terhadap mazhab tertentu), melainkan setiap hukum agama yang datang dari pendapat tertentu pasti akan ditimbangnya dahulu dengan dasar dan kaidah yang murni serta kuat yang berasal dari sunah Nabi Muhammad/hadits. Kesibukan barunya pada hadits ini mendapat kritikan keras dari ayahnya, bahwasanya “ilmu hadits adalah pekerjaan orang-orang pailit”, demikian ungkap ayahnya ketika mengomentari Syaikh al-Albani. Semakin terpikatnya Syaikh al-Albani terhadap hadits Nabi, itulah kata yang tepat baginya. Bahkan hingga toko reparasi jamnya pun memiliki dua fungsi, sebagai tempat mencari nafkah dan tempat belajar, dikarenakan bagian belakang toko itu sudah diubahnya sedemikian rupa menjadi perpustakaan pribadi. Bahkan waktunya mencari nafkah pun tak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan waktunya untuk belajar, yang pada saat-saat tertentu hingga (total) 18 jam dalam sehari untuk belajar, di luar waktu-waktu salat dan aktivitas lainnya. Dan masih banyak toko kitab dan perpustakaan yang ia kunjungi lainya.
Itulah Al-Bani yang sering kita lihat dalam poot not seperti kutipan “Hadits ini di shahihkan oleh Al-Bani”. Maka berhati hatilah ketika membuka suatu web atau alamat di internet atau terdapat dalam buku dengan kalimat seperti itu, termasuk ada juga kekeliruan, penyimpangan, kerancuan dan kesalahan Al-Bani terhadap Mudawwin hadits atau Ulama pakar hadit lainnya, Seperti :
1. Merasa lebih baik dari Imam Bukhari, Imam Muslim dan Ulama hadits lainya (shahih al-kalam ath-thayyib li ibni Taimiyyah, hal 4, cetakan ke 4 tahun 1400 H)
2. Mengkafirkan Imam Bukhari ( Dalam kitabnya yang berjudul Fatawa Al-Bani, dalam kitabnya di sebutkan tentang ada seorang yang bertanya tentang hakikat Imam Bukhori yang telah mentakwil firman Allah ” KULLU SYAI’IN HAALIKUN ILLA WAJHAHU” QS. 28:88. Ditakwil oleh Imam Bukhori dengan ” KULLU SAI IN HAALIKUN ILLA HUA” riwayat mummar . Dan Al-Bani menjawab ” YA AKHI HADZA LAA YAQUULUHU MUSLIMUN MUMINUN” wahai sodaraku, ini tidak dituturkan oleh seorang muslim yang beriman.)
3. Melemahkan Ribuan Hadits Shahih Imam Bukhari dan Muslim (baca Buku Ulama sejagat menggugat salafi wahabi, syaikh Idahram, pustaka pesantren, 2011 cetakan ke III hal 143 – 147)
4. Banyak tidak tahunya dan terlalu sering salah
5. Penguasaan Bahasa Arab Al-bani Lemah dan Rusak
6. Al-Bani menshahihkan suatu hadits namun mendha’ifkanya di tempat lain (baca Buku Ulama sejagat menggugat salafi wahabi, syaikh Idahram, pustaka pesantren, 2011 cetakan ke III hal 155 – 165)
7. Suka menipu dan berbohong
8. Gemar mencacimaki dan menyumpahi para Ulama
9. Kerap mengeluarkan fatwa-fatwa menyimpang
10. Al-Bani Bukan Ahli hadits apalagi seorang muhaddits
11. Al-Bani mengeluarkan fatwa “mencurigakan” tentang penjajahan falestina
Demikianlah penyimpangan, kerancuan, dan kesalahan Al-Bani dalam bidang Hadits.
Penulis sangat berharap setelahnya membaca artikel ini berhati-hatilah dengan dengan setiap apa yang kita baca terutama dalam bidang hadits. Bukan ranah kita untuk menshahihkan atau mendha’ifkan suatu hadits, sudahlah kita ikuti saja para Ulama pakar hadits yang menuntun kita yang jelas sanadnya seperti Hadratus syaikh KH. Hasyim ‘Asy’ari dan Ulama Hadits lainya yang terdahulu atau yang masih eksis pada masa ini.