Memenangkan Dan Membenarkan Kebencian

102

Oleh :Lucky Wahyudi S. Pd
(Wakil Ketua Bidang Pengkaderan GP Ansor PC Kabupaten Bogor)

Akhir-akhir ini sedang jadi model manusia pendendam, dan insting sadis bertopeng “mengingatkan” agar terkesan “benar” sesuai ajaran agama.

Ulah sebagain orang di negeri ini yang berjanji dan bersumpah akan melakukan tindakan tercela dan aniaya pada diri sendiri direspon dan disambut riuh-ramai oleh banyak orang.

Begitu semangat orang yang menagih janji “aniaya” denga dasar “kalau janji harus ditepati”. Ada beberapa paradigma yang ingin saya bahas, yaitu :

1) Insting aniaya manusia. Menurut Nietszhe, manusia itu memiliki 3 insting dasar, berkuasa, seksual dan membunuh. Kebetulan orang dengan “sumbu pendek” maksudnya pikiran yang tidak damai berjanji untuk aniaya diri sendiri.

Disambut oleh orang serupa yang menginginkan penganiayaan dan pembunuhan itu berlangsung karena dianggapnya menagih janji aniaya itu memuluskan insting membunuh yang “benar” tanpa rasa bersalah dan terlepas dari hukuman.

2) Jiwa permusuhan yang tinggi. Apakah jika pelaku janji/sumpah itu bagian dari keluarganya masih tetap ditagih? Apakah Anda akan berdalih pada dalil agama bahwa keluarga itu adalah fitnah bagi perjuangan dakwahmu menegakkan kebenaran? Alasan picik itu saya yakin tidak banyak penggemarnya.

Karena sebagian banyak orang masih berpikir bahwa keluarga adalah bagian hidup dan jiwanya.

Semangat permusuhan dan insting aniaya yang tinggi menjadi resistensi yang tiada pernah habis. Orang ramai-ramai menagih janji dengan semangat permusuhan dan insting membunuh dengan label “mengingatkan” sesuai ajaran agama. Upaya melegalkan jiwa pendendam ini dianggap “benar”.

Sepertinya melihat orang lain berbuat aniaya dan bunuh diri menjadi hiburan dan kegembiraan tersendiri. Tentu hal ini didasari jiwa permusuhan dan kebencian. Mental seperti ini sulit membangun kemanusiaan yang beradab. Karena selama masih memiliki pikiran kejam dan aniaya, kemanusiaan tidak bisa hadir.

Seberapa sulit mengatakan bahwa biarkan Tuhan yang berwenang atas janji dan sumpah oknum manusia yang menganiaya diri sendiri. Mengapa kebencian selalu dibenarkan dan dimenangkan atas dasar agama? Hal tersebut membuktikan betapa kejamnya sifat manusia terhadap manusia lain yang dianggapnya tidak sejalan dengan kelompoknya.

Banyak orang memaksakan diri menjadi algojo atas janji aniaya dan bunuh diri seseorang. Lagi-lagi agama jadi bantalan atas kebengisan sifat manusia. Agama memang mengajarkan manusia untuk menepati janji sebagian berpendapat itu menjadi urusan individu dengan Tuhan, sebagaian lainnya berpendapat bahwa perlu diingatkan.

Apakah ada alternatif lain dari ajaran agama tentang urusan janji itu? Iya ada, yaitu sikap memaafkan dengan segala kerendahan hati.

Agama (Islam) adalah agama yang memberikan alternatif sesuai kondisi yg terjadi. Misalnya kata “Jihad” saja, bisa dimaknai untuk berperang mengangkat senjata dan menumpahkan darah.

Itu dibenarkan sesuai kondisi zamannya. Ada juga yang dimaknai dengan berperang melawan hawa nafsu. Manusia tinggal memilih sesuai keadaan dan kondisi zamannya.

Umat saat ini lebih suka memilih alternatif yang tidak sesuai kondisi zaman dan alternatif kekerasan dari agama. Itulah sifat radikalisme manusia yang selalu berlindung atas nama agama dalam setiap aksi radikalnya.

Sedikit sekali kelompok umat yang memilih alternatif damai dalam agama. Padahal keduanya sama-sama ajaran agama. Maka wajar jika wisdom RA Kartini yang mengatakan “agama memang menjauhkan kita dari dosa, tapi berapa banyak dosa yang kita lakukan atas nama agama”.