Membela Kemanusiaan Rohingya
Saya ingin mengawali catatan ini dengan satu pertanyaan berikut; seandainya orang-orang etnis Rohingya bukan Muslim, apakah kita Muslim di Indonesia masih mau membela kemanusiaan mereka? Pertanyaan ini penting dijawab untuk mengetahui motif apa yang mendasari kita untuk kemudian berteriak, mengumpulkan dana dan inisiatif aksi solidaritas lainnya.
Kalau jawaban dari pertanyaan di atas hanya karena motif agama, berarti solidaritas kita masih sempit. Kita hanya mau membela orang-orang yang seagama. Bahkan kita marah melihat penderitaan warga Rohingya hanya karena seagama; sama-sama beragama Islam. Fatalnya di antara kita pun tak segan menyebarkan foto-foto dan berita bohong (hoaks). Ujaran kebencian, merasa paling benar, main hakim sendiri, semuanya dihalalkan atas nama membela agama Islam.
Padahal kalau kita mau memahami hakikat Islam, ia adalah agama rahmatan lil’alamin. Agama yang sejak awal diturunkan mempunyai misi menyebarkan kasih sayang, bukan hanya kepada saudara-saudara kita yang seagama, melainkan kepada saudara-saudara kita yang berbeda agama dan aliran, sampai kepada mereka yang tidak beragama sekalipun. Itu artinya, siapapun yang sedang mendapatkan intimidasi dan kekerasan, harus kita bela, harus kita serukan perdamaian.
Terkhusus untuk konflik berdarah Rohingya, bahwa sudah menjadi kewajiban bagi kita untuk membela kemanusiaan. Tetapi yang jelas, kita tidak boleh kehilangan akal sehat. Pemerintah Republik Indonesia melalui Menteri Luar Negeri, sejumlah ormas seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyyah, bahkan perkumpulan umat agama lain pun, sama-sama mengutuk dan menyerukan agar militer Myanmar menghentikan konflik berdarah ini.
Oleh karena itu, menyikapi persoalan ini tidak bijak jika hanya mengandalkan emosi. Pandangan kita harus menyeluruh, tidak boleh sempit, bahwa konflik ini bukan semata-mata karena motif agama (dalam maknanya yang sempit). Penderitaan yang dialami warga entis Rohingya lebih kepada persoalan geopolitik, perebutan sumber daya alam dan kepentingan segelintir elit penguasa lainnya.
Sehingga dengan demikian, sebaiknya konflik berdarah ini tidak diimpor ke negeri kita, untuk menyerukan kebencian kepada umat agama Budha. Ini murni masalah kemanusiaan. Sebagai bagian prinsip utama ajaran agama. Saya berani menjamin, tidak ada satu pun agama yang menyerukan kepada umatnya untuk berbuat kekerasan dan pembunuhan (genosida). Kalau pun ada, mereka tidak pantas disebut umat beragama, mereka hanya oknum yang justru telah mencederai agamanya sendiri.
Namun demikian, apapun yang menjadi persoalan, nurani kita menangis, melihat sekian banyak warga etnis Rohingya hidup menderita dan terusir dari tempat tinggalnya. Entah berapa banyak di antara mereka yang mengalami luka-luka dan tewas mengenaskan. Kita harus terus mendorong PBB dan ASEAN untuk tegas mengambil tindakan bahkan ultimatum kepada pemerintah Myanmar. Termasuk kepada tokoh dunia peraih Nobel Perdamaian; Aung San Suu Kyi untuk segera bertindak dan menggertak pemerintah Myanmar agar menghentikan tindakan biadab ini.
Mari kita berdoa, semoga Allah melindungi saudara-saudara kita, warga etnis Rohingya. Agar mereka bisa kembali hidup dengan aman tanpa ada ancaman. Sampai hak-hak hidup mereka dalam segala bidang dapat terpenuhi seperti sedia kala.
Wallaahu a’lam.
Mamang M Haerudin (Aa)
GP Ansor Kabupaten Cirebon
Bus Sahabat menuju Bandung, 3 September 2017, 19.22 WIB.