Media Sebagai Penyalur atau Agen Konstruksi Pesan dan Realitas ?

797

 

Oleh : Mahbub Ubaedi Alwi*)

Dalam salah satu bukunya Gaye Tuchman, Making News,yang ditulis pada 1978 silam yang kemudian juga dikutip dalam bukunya Eriyanto, Analisis Framing, ada ilustrasi yang menarik disana.

“Berita adalah jendela dunia. Melalui berita, kita dapat mengetahui apa yang terjadi di berbagai daerah bahkan di ujung belahan dunia sekalipun. Dari berita-berita yang ada di media kita bisa mengetahui apa yang dilakukan wakil rakyat di pemerintahan, problema politik yang ada di Ibu Kota, bahkan sampai kehidupannya, bencana yang terjadi di pelosok negeri. Tapi, apa yang kita lihat, apa yang kita ketahui, apa yang kita dapatkan dari media, dan apa yang kita rasakan tentang dunia bergantung pada jendela yang kita pakai.

Pandangan lewat jendela ini akan bergantung pada apakah jendela yang dipakai besar, atau kecil. Jendela yang besar dapat melihat lebih luas, sementara bendera yang kecil akan membatasi pandangan kita. Apakah jendela itu berjeruji atua tidak. Apakah jendela itu bisa dibuka lebar ataukah hanya setengahnya. Apakah leat jendela itu kita bisa melihat dengan bebas keluar, ataukah kita hanya bisa mengintip dibalik jerujinya. Dan yang paling penting, apakah jendela itu terletak dalam rumah yang punya posisi tinggi atau dalam rumah yang terhalang oleh rumah lain.’’

Dalam era Globalisasi informasi saat ini, informasi tidak bisa kita bendung dan batasi kemunculannya. Apalagi jika kita lihat perubahan negeri tercinta kita Indonesia dari era Orde Lama, Orde Baru yang mana informasi dan pemberitaan di media sangat dibatasi dan pasca Orde Baru yang masuk pada zaman Reformasi, keran informasi begitu dibuka lebar, seolah tanpa ada batas dan gema demokrasi sangat kencang menggaung. Banyak media pasca orba bermunculan, Fenomena yang terjadi ini dapat menjadi hal yang sifatnya membangun peradaban, namun pada sisi yang lain, juga dapat sebaliknya. Dampak yang paling terasa adalah perubahan sosial budaya masyarakatnya, cara pandang, dan bersikap, termasuk dalam merespon berita, bahkan sekedar isu yang belum tentu kebenarannya, dan untuk yang demikian ini sering disebut dengan istilah hoaks. Kondisi masyarakat yang belum sepenuhnya melek informasi dan pendidikan yang masih terbilang rendah akan menjadi masalah baru dalam menghadapi kenyataan era informasi dengan teknologi yang canggih seperti saat ini.

Kondisi demikian ini menjadi tantangan, khususnya bagi pemerintah dan para cendekiawan untuk menjaga stabilitas kerukunan dan persatuan bangsa, dan umumnya bagi masyarakat dalam mengkonsumsi informasi dan berita. Sebagaimana kita tahu, pada akhir-akhir ini saja, banyak berita yang bisa membuat perpecahan, antara kaum beragama dengan sesama agamanya, antara kaum beragama dengan kaum beragama lainnya, antara rakyat dengan pemerintah, perpecahan antar suku, dan lebih mengerikan lagi perpecahan bangsa yang kita cintai ini, Indonesia.

Seriring dengan perkembangan teknologi yang semakin cepat, maka ini juga menjadi salahsatu faktor cepatnya informasi dan berita yang tersebar, kini bukan cuma jurnalis dan wartawan yang bisa menyebarkannya secara luas. Tapi tidak menutup kemungkinan tukang becak, bahkan anak kecil sekalipun bisa membuat berita, menyebarkan, menyebarkan ulang, informasi dan berita lewat teknologi, serta media sosial yang ada yang mereka miliki terlepas benar atau tidaknya biasanya itu urusan belakangan. Padahal jika kita tilik pada Q.S Al Hujurat ayat 6, kita diingatkan oleh-Nya ;

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu”.

Dengan terbukanya keran informasi dan banyaknya media yang memberitakan tentang suatu Peristiwa membuat masyarakat memiliki banyak pilihan berita, mana yang valid dan mana yang invalid. Akan tetapi disisi lain, masyarakatnya perlu membekali diri untuk melakukan filter kompeksitas berita dari media. Ini akan berkaitan dengan bagaimana kita memandang media itu sendiri. Apakah kita menganggap media hanya sebagai penyalur pesan (informasi dan berita) atau kita melihat media sebagai alat dalam kontruksi pesan atau realitas.

Dilihat dari kajian komunikasi, khususnya dalam hal media cara pandang terhadap media ini, para pakar memang terbagi menjadi dua sudut pandang. Pertama, ada yang melihat media hanya sebagai penyalur pesan, artinya idealnya pesan yang ditampilkan di media adalah sesuatu yang memang sesuai dengan realitas yang ada, tanpa melihat apakah berita tersebut juga mengandung pandangan subjektif dari pembuat berita, atau pemilik media itu sendiri. Karena seorang jurnalis yang baik adalah jurnalis yang mampu menerjemahkan realitas menjadi rangkaian kata yang kemudian menjadi berita yang pada selanjutnya berita itu akan dikonsumsi oleh khalayak.

Sehingga ketika kita memandang media hanya sebagai saluran pesan, kita secara sadar atau tidak sadar langsung mempercayai kebenarannya, tanpa ada filter kembali dari diri kita bahwa setiap berita yang ada di media adalah benar atau tidaknya. Seandainya pun benar kenapa yang diberitakan mengenai suatu masalah hanya dari satu aspek penyebab masalah itu saja, atau kenapa berita A saja yang dimunculkan, kenapa berita tentang B, tentang C, tentang D tidak dimunculkan.

Sebagai contoh, kita bisa melihat beberapa media cetak atau online di sekitar kita lalu kita bandingkan bobot pemberitaannya lalu kita coba merenungkan realitas yang terjadi di lapangan. Kita bisa melihat bagaimana media dan pers pada era orde lama dan orde baru, dan pada saat ini. Dari sudut pandang ini, bisa ditarik benang merah bahwa kecenderungannya, posisi khalayak sebagai pembaca yang pasif.

Pandangan kedua adalah yang melihat media sebagai agen kontruksi pesan atau realitas. Dari pandangan ini akan melihat sebuah teks dalam berita bersifat subjektif, sebab, opini dari pembuat berita tidak dapat dihilangkan. Kita bisa melakukan uji coba sederhana tentang hal ini pada beberapa sahabat kita. Cobalah kita ajak tiga orang yang memiliki latar belalkang pendidikan, hobi, dan status yang berbeda, (ex: satu sahabat adalah lulusan SMA sebagai pengusaha, yang satu lulusan Sarjana sebagai bagaian dari pemerintah, yang satu lulusan pesantren sebagai ulama. Dan posisikan diri kita sebagai seorang jurnalis yang akan membuat berita) untuk datang ke suatu komunitas masyarakat yang belum pernah mereka kunjungi sebelumnya.

Misalkan datang ke daerah Papua, lalu anda meminta pendapat mereka tenatang kondisi masyarakat secara bebas tanpa dibatasi bagian apa yang ingin diketahui dari masyarkat di Papua. Mungkin anda sudah bisa membayangkan, cara pandang sahabat anda akan berbeda antara satu sama lain. Hal itu sangat mungkin terjadi, karena kerangkan pengetahuan dan pengalaman akan memengaruhi cara manusia dalam memandang dan menilai realitas. Sehingga validitas (kebenaran) berita yang ada di media yang diliput oleh seorang jurnalis pun sangat bergantung pada kualitas proffesionalitas kerja jurnalis dan juga media tempat dia bekerja. Penempatan media sebagai agen kontruksi realitas akan menempatkan khalayak pada posisi sebagi subjek yang aktif dalam menafsirkan apa yang dibaca. Karena setiap kepala akan memiliki pemaknaan yang berbeda terhadap berita yang sama.

 

Pada akhirnya semua kembali pada diri kita masing-masing, benteng terahir untuk tidak termakan oleh berita dan menyikapi permasalahan yang muncul lewat berita dengan cara bagaimana adalah pilihan kita sendiri. Setiap generasi punya tantangannya masing-masing. Bagaimanapun kita menempatkan media di tengah kehidupan kita, media sebagai penyalur pesan, atau media sebagai agen kontruksi realitas, kita perlu selektif terhadap berita informasi dan berita yang berkembang saat ini. Kenapa peristiwa ini yang diberitakan, sementara yang lain tidak diberitakan?. Kenapa sisi yang itu yang diberitakan, sedangkan sisi yang ini tidak diberitakan? Kenapa aspek yang ini yang ditonjolkan sementara aspek yang lain tidak?. Ada kejadian yang diberitakan dan ada yang tidak diberitakan.

Ada berita yang terus diulang pemberitaanya ada yang hanya sesekali. Ada peristiwa yang diberitakan secara berbeda antara media yang satu dan yang lainnya. Perlu kita ingat juga bahwa media juga memiliki nilai yang  tidak lepas dari ideologi, politik, ekonomi, bahkan agama sekalipun  terhadap apapun yang ditampilkannya. Mengapa semua itu terjadi?. Maka disinilah kita sebagai pembaca berita harus jeli  dan selektif dalam melihat dan mengkonsumsinya supaya tidak menjadi bingung dalam mendapati berita, dan dipermainkan olej teks berita yang kita dapat dari media, baik itu cetak seperti koran, majalah, buletin atau juga media online seperti media  sosial facebook, instagram, twitter, blogspot, website, dan yang lainnya.

 

* Penulis merupakan Ketua BEM BIMA Fikom Universitas padjadjaran , dan Wakil Ketua di PMII Cabang Kabupaten Sumedang