Makar Tidak Akan Pernah Kelar

1246

Oleh : Farid Farhan *)

Makar mendadak menjadi tema idaman dalam ‘search engine’ Google sejak aksi bernama Super Damai 212 digulirkan. Hingga hari Jum’at (9/12/2016) Keyword ‘Makar’ menghasilkan 20.200.000 hasil pencarian dalam 0,33 detik di mesin pencari yang dibuat di sebuah garasi pada tanggal 07 September 1998 itu.

Popularitas keyword yang sangat tabu bahkan untuk diucapkan pada zaman orde baru ini, tidak terlepas dari peran media mainstream dalam men-drill isu sebagai bagian dari upaya kontra intelijen terhadap langkah pihak-pihak yang ingin menunggangi aksi yang sebenarnya berakhir anti-klimaks bagi pihak yang berkepentingan tersebut.

Bagaimana tidak? Aksi yang diisukan akan digunakan untuk men-deligitimasi pemerintahan Jokowi – JK itu malah berakhir dengan pekik takbir dari Sang Presiden di depan seluruh pesertanya. Saat on the spot aksi digelar, media tidak sedikit pun menyinggung aksi ini direncanakan untuk menekan pemerintah. Media malah sibuk membuat ‘side bar angle’, seperti tema menarik payung yang digunakan oleh Presiden Joko Widodo saat melangkah santai menuju Monas, lokasi aksi digelar.

Selain melalui media, langkah kontra intelijen pun jauh-jauh hari sudah dilakukan oleh pemerintah. Berbekal pengalaman penanganan Aksi 411, pemerintah memerankan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo sebagai ‘Good Guy’ untuk mendekati para tokoh berpengaruh dalam Aksi Bela Islam Jilid III itu, atas peran yang diembannya ini, ia memperoleh banyak informasi, bahkan sempat mengaburkan kedatangan Presiden Joko Widodo, ia bicara Presiden tidak akan hadir, namun faktanya Presiden melenggang dengan santai.

Sementara itu, Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jenderal Tito Karnavian, diperankan oleh pemerintah sebagai ‘Bad Guy’. Ia sibuk tunjuk sana tunjuk sini. Isu makar pun terlontar darinya. Pendek kata, ia buat keruh air kolam, agar ikannya mabuk dan mengambang sehingga mudah untuk ditangkap.

Makar yang para terduganya ditangkap pada hari Jum’at (2/12/2016) dini hari akhirnya tidak pernah kelar dengan langkah-langkah preventif yang sudah dijalankan.

Penyebab lain adalah, isu makar bukanlah ‘common sense’ yang bisa di-drill serampangan, jumlah peserta aksi yang hingga saat artikel ini ditulis masih simpang siur itu kalah jauh dengan ‘silent majority’ di Republik ini.

Mayoritas masyarakat muslim Indonesia masih berpegang teguh pada Fatwa Kiai di Pesantren. Kita ketahui bersama bahwa Kultur Pesantren tidak pernah menanamkan cara meledak-ledak dalam melaksanakan sebuah aksi. Prinsip ‘tabayyun’ (verifikasi informasi) dipegang teguh sampai saat ini, sehingga pewaris Islam Kultur Pesantren bukanlah ‘kaum bersumbu pendek’ yang spirit religinya mudah tersulut api provokasi. Langkah mereka jelas menurut ‘istinbath’ (pendalaman hukum) berdasarkan fatwa para ulama baik persoalan yang bersifat general maupun kasuistik.

Ketaatan terhadap ‘ulil amri’ dalam keadaan suka atau tidak suka menjadi etika bernegara kaum santri. Sebab ‘ulil amri’ bagi siapapun merupakan simbol negara yang harus dihormati. Dalam Kitab ‘Adabun Nabawiy’ yang disusun oleh Syaikh Muhammad Abdul Aziz al Khuuli, diceritakan Hadist ke 36 yang diriwayatkan dari Abdullah bin Umar dari Rasulullah SAW. Rasulullah berkata :

“Mendengar dan Taat itu adalah kepada pemimpin muslim dalam sesuatu yang disukai dan tidak disukai selagi ia tidak diperintah untuk kemaksiatan. Jika ia diperintah untuk kemaksiatan, maka tidak boleh mendengar dan tidak boleh taat”. Hadist Riwayat Imam Bukhari. (Adabun Nabawiy ; 96). Diterbitkan oleh Daarul Ma’rifah, Beirut.

Dalam penjelasan terhadap Hadist tersebut, ia terlebih dahulu membuat ta’rif atau definisi terhadap konsepsi ‘ulil amri’. Menurut dia, ‘ulil amri’ adalah mereka yang kepadanya dipasrahkan pemenuhan kebutuhan umat berupa kesejahteraan umum. Maka didalamnya termasuk pula setiap orang yang kepadanya dipasrahkan pemenuhan kebutuhan dan kesejahteraan kaum muslim.

Mereka bisa berposisi sebagai Presiden atau Menteri, Hakim atau sejenisnya bahkan dapat pula berposisi sebagai Tentara. Dalam konteks ini, Rasulullah SAW mewajibkan kepada setiap muslim untuk mendengar dan taat kepada mereka, seraya bersegera untuk memenuhi perintah dari mereka itu, baik dalam keadaan suka ataupun tidak suka.

Kapan pun ‘ulil amri’ meminta kita untuk berperang atau mengimbau untuk memberikan harta kita dalam rangka peperangan, maka kita harus taat. Sebaliknya, apabila kita diperintahkan oleh mereka untuk melakukan perbuatan dosa, maka kewajiban kita saat itu terjadi adalah menolak tegas untuk taat bahkan untuk mendengar sekalipun.

Saat perintah yang terlontar dari ‘ulil amri’ berdasarkan atas asas penciptaan kesejahteraan umum seperti memelihara tanaman dan air, maka wajib bagi kita untuk taat kepadanya.

Lebih lanjut, Syaikh Muhammad Abdul Aziz al Khuuli mengatakan, Hadist ini menjadi argumentasi nyata ketaatan terhadap ‘ulil amri’ secara mutlak dan bersabar atas segala sesuatu yang tidak kita sukai dari ‘ulil amri’ tersebut, serta larangan untuk makar, merusak tatanan kenegaraan.

Ia kembali menyitir Hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas dari Rasulullah SAW. Rasulullah SAW berkata :

“Siapapun yang melihat dari pemimpinnya sesuatu yang tidak ia sukai maka ia harus bersabar, karena sesungguhnya tidaklah seseorang memisahkan diri (membangun gerakan separatis, makar) dari sebuah komunitas, lalu ia mati, maka ia mati dalam keadaan jahiliyyah”.

Pada bagian akhir penjelasan Hadist Ibnu Umar ini, beliau memberikan tata etik moral saat kita menolak perintah ‘ulil amri’ atas sebuah perbuatan dosa. Ia berujar penolakan atau protes itu hendaknya dilakukan dengan cara ‘bil hikmah’ atau cara-cara yang bijak, jika memungkinkan ‘ulil amri’ tersebut harus kita berikan ‘mau’idzatil hasanah’ atau perkataan-perkataan yang menggugah hatinya.

Secara tegas ia melarang propaganda fitnah yang dapat memecah belah umat secara keseluruhan. Poin yang harus dikedepankan adalah terpeliharanya darah (menghindari bentrok fisik), terpeliharanya harta benda (menghindari penjarahan). Sejatinya kata dia, mengatasi perkara munkar itu harus dilakukan dengan cara yang baik dan penciptaan kedamaian.

Maka taati ‘ulil amri’ saat ia memberikan perintah dalam ketaatan kepada Allah, bersabarlah atas perintah yang tidak kita sukai selagi perintah tersebut bukan merupakan perintah melakukan perbuatan dosa yang jelas. Orientasi kita adalah kesatuan pandangan dan keabadian kasih sayang di tengah umat dalam rangka membangun kedamaian di tengah umat secara keseluruhan.

Poin-poin ini menjadi penegasan bahwa Makar tidak akan pernah kelar, sampai kapan pun selagi mayoritas umat Islam memegang teguh langkah-langkah penciptaan kedamaian. (*)

*) Penulis adalah pegiat media sosial di Kabupaten Purwakarta.