KPA: Liberalisasi Agraria Diperhebat, Reforma Agraria Dibelokkan

181

Jakarta, (AnsorJabar Online).-
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) melaporkan mengenai situasi keagrarian di Indonesia. Melalui Press Releasenya, Sekjend KPA, Dewi Kartika menyebut selama dua tahun Pemerintahan Joowi-Jk ini kondisi keagrariaan di Indonesia belum kunjung membaik, konflik agraria yang yang terjadi sejak lama tidak diselesaikan dengan baik dan memenuhi rasa keadilan bagi rakyat korban konflik ini.

“Khusus mengenai konflik argraria, selama 2016, KPA menggaris bawahi bahwa banyak terjadi karena pada aras regulasi tidak terjadi perubahan paradigm dalam memandang tanah dan sumber daya alam. Tanah dan SDA masih dipandang sebagai kekayaan alam yang harus dikelola oleh investor skala besar baik nasional masupun asing,” ujar Dewi sebagaimana disampaikannya pada saat peluncuran Laporan Akhir Tahun 2016 di D.Lab Menteng Jl. Riau No. 1 Menteng Jakarta Pusat pada 5 Januari 2016 yang lalu dengan tema “Liberalisasi Agraria Diperhebat, Reforma Agraria Dibelokkan”.

Selain itu, dalam laporan tersebut dijelaskan jika konflik agrarian terjadi Karena korupsi dan kolusi dalam pemberian konsesi tanah dan sumber daya alam dan belum berubahnya aparat pemerintah khususnya kepolisian, pemda dalam menghadapi konflik agraria di lapangan. Pendekatan kekerasan dan prosedur yang melampui batas masih sering dilakukan.

“Kondisi demikian tentu menjadi alasan mengapa sepanjang tahun 2016,konflik agraria, baik dari segi jumlah, luasan, maupun korban masih tercatat tinggi. Minimnya kanal penyelesaian konflik yang berkeadilan menyebabkan konflik-konflik tersebut sulit menemukan titik terang penyelesaian. Hampir di setiap konflik agraria selalu berjatuhan korban, mulai dari tertembak, dianiaya bahkan hingga meninggal. Sebagian darimereka juga ada yang dikriminalisasi dengan ragam tuduhan,” jelasnya.

Dalam laporannya tersebut, KPA mencatat sedikitnya telah terjadi 450 konflik agraria sepanjang tahun 2016, dengan luasan wilayah 1.265.027 hektar dan melibatkan 86.745 KK yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia.

“Jika di tahun sebelumnya tercatat 252 konflik agraria, maka terdapat peningkatan signifikan di tahun ini, hampir dua kali lipat angkanya. Jika di rata-rata, maka setiap hari terjadi satu konflik agraria dan 7.756 hektar lahan terlibat dalam konflik,” terang Dewi.

Dengan kata lain, lanjut Dewi, masyarakat harus kehilangan sekitar Sembilan belas kali luas provinsi DKI Jakarta. Dari luas wilayah konflik 1.265.027 hektar, perkebunan menempati urutan pertama dalam luasan wilayah, yakni 601.680 hektar.

“Disusul berturut-turut sektor kehutanan seluas 450.215 hektar, sector properti seluas 104.379 hektar, sektor migas seluas 43.882 hektar, sector infrastruktur seluas 35.824 hektar, sektor pertambangan 27.393 hektar, sektor pesisir 1.706 hektar, dan terakhir sektor pertanian dengan luasan 5 hektar. Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, terjadi peningkatan dua kali lipat luasan wilayah konflik di sektor perkebunan,” katanya.

Lebih lanjut ia menjelaskan jika konflik agraria tersebar di 34 Provinsi, dengan enam besar provinsi sebagai penyumbang konflik tertinggi, antara lain Riau dengan 44 konflik (9,78 %), Jawa Timur dengan 43 konflik (9.56%), Jawa Barat sebanyak 38 konflik (8,44 %), Sumatra Utara 36 konflik (8,00 %), Aceh 24 konflik (5,33 %), dan Sumatra Selatan 22 konflik (4,89 %). (Ade Mahmudin)