Kerudung

234

Kerudung

Oleh: Ahil Siradj

Masih teringat dalam benak komentar dari Kang Deni Ahmad Haidar, ketua PW Ansor Jabar saat ini, perihal fenomena kerudung dan kesejarahannya di Indonesia. Ia menyebutkan bahwa pada tahun 80’an kerudung/jilbab itu bukanlah perkakas fashion yang umum digunakan oleh masyarakat luas. Pada saat itu, hanya segelintir kaum muslimatlah yang menggunakannya, yaitu mereka yang memang taat dan patuh terhadap ajaran agama, atau pada sesekali digunakan juga oleh kalangan pejabat dan kaum elit di saat menghadiri seremoni keagamaan. Itu pun tidak seperti saat ini. Model kerudung saat itu masih sangat sederhana, bahkan juga tak jarang orang yang menggunakannya dengan hanya diletakkan saja di kepala, bukan dililitkan hingga menutup dengan rapi.

Saya pun hanya bisa mengamini, toh saya memang tidak mengalaminya sendiri. Membayangkan betapa jarangnya tukang kerudung pada saat itu, ditambah lagi dengan sekelumit kondisi yang melingkupinya, pernyataan Kang Deni tersebut terasa masuk akal. Dan ternyata cerita Kang Deni itu bukanlah siulan belaka, mBah Gus Dur sejak jauh hari telah menuliskan hal yang senada. Pada salah satu tulisannya yang berjudul “Kerudung dan Kesadaran Beragama” (diterbitkan Tempo, 29 Januari 1983.), beliau telah menginformasikan hal yang kurang lebih sama.

Dalam tulisannya itu, Gus Dur menjadikan konflik penggunaan kerudung sebagai titik landas analisanya terhadap tumbuh-meluasnya benih kesadaran beragama di masyarakat–khususnya kalangan remaja–yang kemudian harus berhadapan dengan kultur kebijakan pemerintah yang pada saat itu “kurang mendukung”.

Gus Dur mengangkat sebuah kasus siswi SMA yang menggunakan kerudung di lingkungan sekolah, lalu kemudian dikeluarkan dari sekolahnya itu dengan dalih telah melakukan tindakan indisipliner–sebab menggunakan kerudung merupakan pemandangan yang tabu di lingkungan sekolah saat itu. Setidaknya terdapat dua hal yang Gus Dur kemukakan dari kasus tersebut, yaitu tumbuhnya kesadaran beragama di kalangan remaja dan reaksi dari pemilik kebijakan (dalam hal ini sekolah sampai menterinya) yang cenderung bersikap uniformistik; ingin menyeragamkan segala sesuatu dan tak merestui adanya hal baru yang berbeda.

Ihwal kecenderungan terhadap uniformitas yang dilakukan oleh pihak sekolah ini tentu saja dapat dimengerti, sebab penguasa pada saat itu adalah Orba. Namun pada sisi yang satunya, yaitu perihal kesadaran beragama yang mulai marak di kalangan remaja waktu itu, saya rasa pengamatan Gus Dur saat itu masih relevan hingga sekarang. Gus Dur secara lebih jauh juga menyebutkan banyaknya sebab yang melatar belakangi terjadinya hal tersebut. Tidak hanya menilai itu sebagai proses kesalehan; sebagai sebuah usaha dari sementara pemeluk agama agar dapat menjalankan tuntunan agamanya dengan tuntas, beliau juga menyebutkan bahwa hal itu disebabkan oleh kekecewaan para remaja terhadap realitas kaum muslimin yang semakin terbelakang.

Bangkrutnya teknologi dan ilmu pengetahuan modern, yang kemudian membuat imbas pada sekaratnya perekonomian, dan itu berarti melestarikan ketidakmampuan dalam menghadapi berbagai persoalan yang ada serta mengundang jutaan masalah lainnya, disebutkan Gus Dur dalam daftar kekecewaan para remaja imut itu. Bahkan, kekecewaan remaja muslim itu, lanjut Gus Dur, menjalar lebar hingga pada kekecewaan terhadap kegagalan elit kaum muslimin di pentas dunia yang dinilai gagal menghadapi berbagai tantangan “pihak luar” terhadap Islam.

Dari sekian rentetan kekecewaan itulah, ditambah dengan banyak sebab lainnya, kesadaran remaja muslim akhirnya terpantik untuk segera mengambil peran dalam menjalankan agama yang dianutnya secara “benar dan tuntas”. Maka kemudian kesadaran tersebut segera dinyatakan dan disimbolisasi dengan “menggunakan kerudung ke sekolah”, meski pada waktu itu masih merupakan hal yang sangat tabu.

Namun, Gus Dur dalam tulisannya tersebut tidak membahas lebih dalam ihwal valid atau tidaknya “kebenaran” yang diyakini dan dilakukan oleh para remaja itu. Ia terkesan lebih menganggap perilaku siswi SMA itu sebagai aspirasi dari sekian penganut agama agar dapat menjalankan agamanya di negeri sendiri. Dalam tulisannya tersebut, Gus Dur justru lebih mempertanyakan reaksi pihak sekolah yang sampai mengeluarkan siswanya hanya karena menggunakan pakaian yang “tidak wajar”.

Saya merasa gejala “pubertas/kesadaran beragama” yang muncul di segenap remaja itu masih berlanjut–bahkan kian marak?–hingga kini. Ekspresinya pun menjadi semakin kompleks dan kreatif, tidak sebatas “menggunakan kerudung ke sekolah”. Dan jika diingat, kerudung pun kini tak lagi akrab disebut kerudung. Ia berkembang istilah menjadi jilbab, hijab, dan lain-lain yang meminjam istilah dari Arab itu (ada juga yang kemudian dibubuhi label “syar’i”). Modelnya juga tak lagi sesederhana yang digambarkan oleh Kang Deni atau Gus Dur. Saat itu, nilai estetikanya hanya sebatas pada ragam warna, atau hiasan renda/sulaman. Sedangkan kini, varian model kerudung yang nama-namanya sulit saya hafal itu telah mengalami perkembangan yang sangat signifikan, terbukti dengan berserakannya tukang kerudung di internet, sepaket dengan video tutorial memakainya.

Sekelumit fenomena kerudung yang berkembang hari ini, hemat saya, tak dapat lagi hanya dilihat sebagai aspirasi atau ekspresi keagamaan semata. Dengan macam-macam modelnya yang semakin berkembang itu, maka ia lebih cocok dikatakan sebagai kreatifitas budaya serta kegiatan ekonomi. Atau bahkan, ia dapat dikatakan sebagai simbol dari krisis identitas yang kita alami, manakala istilahnya telah berubah telak menjadi hijab.

Barangkali, letupan semangat beragama yang kini dialami oleh remaja zaman now telah berhasil melampaui sebatas penggunaan kerudung saja. Ia bertransformasi mencari wajah-wajah lain yang serupa. Ketika kampanye kerudung telah dianggap sukses dan jamak dikenakan, maka dapat kita lihat letupan kesadaran itu menjalar kepada maraknya slogan-slogan “relijius” semacam “Gerakan Shalat Shubuh Berjama’ah” atau “Indonesia Tanpa Pacaran”, atau juga dapat dilihat dengan digemarinya ustadz-ustadz muda, gaul dan kece, atau pula dengan penuh-sesaknya acara gebyar shalawat di malam Minggu. Lebih jauh, para remaja yang mengikuti demo bertajuk agama atau bahkan mereka yang berteriak jihad dan khilafah juga dapat dikatakan sebagai simbol dari adanya kesadaran dan semangat beragama itu.

Kita dapat berdiskusi lebih lanjut mengenai validitas dari setiap “ekspresi-ekspresi keagamaan” macam di atas. Apakah semangat beragama yang menyemai menjadi ekspresi-ekspresi di atas telah sesuai dengan ajaran agama itu sendiri, ataukah tidak? Namun yang jelas, setidaknya kaum remaja itu telah memiliki kesadaran dan semangat untuk menegakkan agamanya. Dan perihal remaja, kembali mengutip Gus Dur, “Mereka adalah generasi yang melihat segala sesuatu dengan serius, dari jerawat di pipi hingga pandangan hidup yang diidealkannya.”

Catatan: Penulis merupakan remaja yang mencoba untuk tidak serius-serius amat.