MEWASPADAI INFILTRASI ISLAM RADIKAL

356

Oleh : M Luthfi Thomafi

Ketua PP. GP. Ansor | Pengasuh Ponpes Al-Hamidiyyah Lasem, Rembang

Mau masuk mana, Surga atau Neraka?

Lebik baik mana, Al-Qur’an atau Pancasila?

 

Lebih baik mana, Nabi Muhammad Saw atau Pak Jokowi?

Lebih baik mana, Negara Islam atau Negara Kafir?

Mau yang mana, mengikuti hukum Allah atau hukum setan?”

Mau yang mana, mati di jalan Allah atau mati di jalan setan?”

Mau yang mana, bergabung kami Islam yang benar atau memilih mereka Islam yang sesat?”  

Pertanyaan-pertanyaan di atas adalah kalimat pre-test yang sering diajarkan oleh para penggerak Islam Radikal. Kalimat permulaan untuk cuci otak itu disengaja dibuat hitam putih, dengan tujuan untuk menggiring mindset sasaran atau target. Pertanyaan-pertanyaan di atas sangat mudah dimengerti, dan sangat mudah pula untuk dijawab. Dan karenanya, ia pun menjadi mudah untuk masuk ke otak berbagai lapisan masyarakat.  

Setelah segmen pre-test tadi, pelajaran dilanjutkan dengan penjelasan tentang situasi implementasi Islam di Indonesia yang dianggap sudah bukan murni Islam lagi. Islam Indonesia dianggap sebagai “Islam yang tercampuri adat dan budaya”, dan disampaikan bahwa semuanya itu tidak ada dasarnya di dalam Al-Qur’an maupun Hadits Nabi Muhammad Saw. Argumentasi yang selalu diandalkan adalah sabda Nabi Muhammad Saw tentang “inovasi dalam agama adalah sesat”. Lalu dicontohkan, dengan menunjuk tradisi tahlilan, sedekah bumi, ziarah kubur, dan lainnya lagi, sebagai sesat sebab dianggap tidak memiliki landasan hukum Islam. Bagi mereka, semua varian Islam di luar mereka adalah sesat, dan hukumnya sama dengan dianggap bukan Islam. 

Pada dasarnya, Islam di Indonesia adalah Islam toleran yang mengimplementasikan sejumlah varian pandangan dalam ber-Islam. Muslim di Indonesia, secara umum, dapat menerima pemahaman atas Islam model atau mazhab atau aliran apapun. Hanya ada satu mazhab yang tidak bisa diterima oleh silent mayority Islam Indonesia, yaitu mazhab menyalahkan pemahaman Islam yang tidak sama dengan dirinya. Korban doktrinasi gerakan Islam radikal berawal dari sini, dan salah satu ciri mereka adalah “menyalahkan model keberagamaan orang lain”. 

Sesi lainnya adalah pelajaran mengenai dunia Islam dan muslim terkini. Tema “Islam dan Muslim Dizalimi” pun dijejalkan ke otak mereka. Dibuatlah power point yang mendeskripsikan situasi di Palestina, Uighur, Rohingya, dan negeri-negeri masyarakat muslim yang penuh nestapa lainnya. Dalam kegiatan itu juga disisihkan waktu untuk nonton bareng video keadaan negeri-negeri itu yang tertindas, tersiksa, kelaparan dan sejumlah gambaran buruk lainnya. Tak lupa pula dibuatkan konklusi mengenai common enemy : Barat, China, Yahudi, komunisme, serta Islam sesat. 

Selanjutnya, sesi penting, adalah bagaimana seseorang wajib “berjihad membela Islam”. “Jihad” pertama, adalah bagaimana “melawan siapa saja yang mengaktualisasikan Islam tidak seperti mereka”. Ini dilakukan kepada siapa saja, termasuk orang tua sendiri. Di berbagai daerah, banyak ditemukan keluhan orang tua mengenai anak mereka yang menyalahkan model beragama orang tuanya sendiri. Yang demikian ini adalah “Jihad” paling lemah, dan yang paling kuat adalah apa yang kita sebut sebagai terorisme. Yang termasuk dianggap “berjihad” adalah menyusun dan melakukan program infiltrasi-infiltrasi ke berbagai lapisan, termasuk aparat negara. 

Dengan “kurikulum pembelajaran” seperti di atas, gerakan Islam Radikal dapat diterima oleh obyek sasaran, di segala lini. Walaupun skalanya masih kecil, tetapi harus tetap diwaspadai karena bisa menjadi bom waktu. 

***

Pada tahun 2004, seorang anggota Koramil, di wilayah Rembang, bertamu kepada saya. Saat itu, yang bersangkutan bercerita tentang keluarganya. Awalnya, dia bercerita dengan bangga bahwa istrinya sudah memakai jilbab. Lalu, dia bercerita, dengan gembira, bahwa anaknya sekarang belajar di sebuah pondok pesantren, di Jawa Tengah, yang oleh masyarakat dikenal sebagai pesantren radikal. Dia berbicara panjang lebar, tentang bagaimana “Islam ditindas”, dan bagaimana “kita harus berjuang membela Islam”, dengan sangat serius, dan saya menyimak dengan seksama. Setelah selesai bicara, saya katakan bahwa saya menghormati pilihannya, tetapi saya sampaikan kepadanya bahwa saya punya opini yang berbeda atas cerita-ceritanya. Saya katakan kepadanya panjang lebar pula, yang intinya bahwa kita harus hati-hati belajar Islam, dan jangan sampai salah tempat. Setelah pertemuan itu, hingga kini, saya tak pernah lagi bertemu dengan yang bersangkutan. 

Kisah yang terjadi pada seorang tentara seperti di atas adalah contoh kecil bagaimana gerakan Islam Radikal menyusup ke berbagai lini, termasuk di militer. Selain di militer, ia juga sudah masuk ke birokrat, kampus, dan selebriti. Saya tidak perlu katakan bahwa ini sangat berbahaya, sebab sudah amat jelas. Ini juga bukan gejala lagi, tapi fakta. Banyak pelajaran dari berbagai negara bagaimana bahayanya Islam Radikal ketika sudah dapat masuk di berbagai lini, terutama militer. Mengenai infiltasi Islam Radikal ke dalam militer, kita dapat belajar dari Mesir. Dengan semangat “membela Islam”, Khalid Islambouly, tentara berpangkat Lettu, melakukan penembakan yang menewaskan Presiden Anwar Sadar, tepat saat acara parade militer. 

Kita juga dapat mengambil pelajaran dari negeri-negeri di Asia Barat maupun Timur Tengah. Konflik fisik dan bersenjata di berbagai negeri itu terus berlangsung sebab, salah satu faktornya, adalah kaum radikal yang sudah memegang senjata. Jika di Indonesia tanpa memegang senjata saja sudah sangat berbahaya, dengan maraknya terorisme yang salah satunya melalui bom bunuh diri, tentu akan jauh lebih berbahaya jika mereka memegang senjata. Infiltrasi gerakan Islam Radikal ke dalam militer, kepolisian, atau aparat negara lainnya, merupakan bahaya laten yang harus selalu diwaspadai. Keputusan tegas KSAD Jenderal Andika Perkasa menghukum dua anggota TNI AD karena istri mereka berkomentar sinis terhadap berita penusukan Menkopolhukam Wiranto adalah sangat tepat, perlu dikembangkan dan patut dicontoh apatur dan institusi negara yang lain. Ini sejalan dengan opini masyarakat sipil mengenai bahaya radikalisme, baik level simpatisan maupun pelaku.