ILMU HIKMAH DAN MODUS PERDUKUNAN

398

ILMU HIKMAH DAN MODUS PERDUKUNAN

Sebuah Bencana Ontologis

Belakangan di youtube lagi ramai ribut soal tantang menantang dukun santet, entah sudah berapa episode ragam ritual tersebut dipertontonkan secara vulgar dan tersubcribe hingga jutaan penonton. Soal pro dan kontra, ga usah dibahas, meskipun pembelaan atas perkara itu harus mengungkit nama besar leluhur, toh akhirnya sama-sama meracuni pikiran. Tentu bagi saya pribadi itu cuma dagelan, tidak lebih miriplah seperti sedang menyaksikan pertunjukan ondel-ondel di taman mini yang bikin sorak sorai anak ingusan hingga lupa kalau kedua orang tuanya justru lagi asyik masyuk di taman sebelah.

Mindset masyarakat yg kemudian menyamakan antara praktek klenik, orang pintar atau perdukunan dengan ahli hikmah itulah masalah sesungguhnya. Ilmu hikmah yg begitu sukarnya didefinisikan oleh para ilmuan Islam, malah dibuat begitu sederhana dan menciderai.

Dalam kamus “Lisan al-‘Arab”, ilmu Hikmah disebut sebagai “Ma’rifah Afdhal al-Asy-ya bi Afdhal al-‘Ulum” (mengenali hal-hal paling utama dengan pengetahuan paling utama). Sebagian ahli kemudian mengidentikkannya dengan filsafat atau pengetahuan yg filosofis. Dalam bahasa Indonesia kata itu acapakali dimaknai sebagai “kebijaksanaan”. Sehingga orang yang memilikinya disebut “al-Hakim” (orang yg bijaksana). Dalam kajian tasawwuf, kata al-Hakim disejajarkan pula dengan al-‘Arif, untuk menyebut sang sufi.

Ibnu Katsir menyimpulkan bahwa pada hakikatnya al-Hikmah merujuk pada proses mental yg ditandai dengan pikiran yg tepat, benar dan bijaksana yang diperoleh dari pemahaman (al-fahmu), pengetahuan (al-‘Ilmu) dan pengalaman (al-‘Amal) disertai dengan rasa keterhubungan dengan Alloh (al-Ma’rifah). Artinya, kalo toh kemudian para ahli hikmah dapat melakukan sesuatu yg diluar nalar dan kebiasaan, itu kata Ibnu Athoillah merupakan bonus amal sholeh berupa keterkabulannya do’a bukan sebagai tujuan.

Semisal, jika seseorang membuka praktek jasa penglaris dengan bentuk media pemakaian batu akik atau pusaka, penanaman ‘susuk’, jimat, minyak wangi, mandi ruwat kembang tujuh rupa atau penempatan makhluk gaib berupa jin wa akhuatuhu disertai dengan lafalan do’a2 dan atau mantra2. Kemudian, dilalahnya Alloh kabulkan. Maka paling tidak ada beberapa persoalan ketika menyamakannya dengan praksis ahli hikmah.

Pertama, bahwa ritus yg dilakukannya adalah salah satu perbuatan sia2 dan sangat jauh dari nilai2 religiusitas, karena disamakan dengan perkawanan syaitan. Sedangkan praksis ahli hikmah berkutat pada aktivitas mujahadah dalam bentuk takhalli (mengosongkan atau membersihkan jiwa dari penyakit hati), tahalli (memperindah atau menghias diri) dan tajalli (menyambungkan diri dengan Alloh).

Pada bagian kedua, bahwa popularitas, banyaknya job dan larisnya barang dagangan itu persoalan duniawi yg justru merupakan perbuatan yg sangat dijauhi oleh para ahli hikmah.

Ketiga, tujuan praksis perdukunan adalah ketercapaian keinginan (goal). Tidak demikian adanya dengan ahli hikmah yg selalu berupaya untuk ma’rifatullah.

Keempat, objek manifest dari jasa perdukunan adalah “pasien”, “klien” atau “tamu”. Sedangkan objek manifest ahli hikmah adalah diri sendiri “self” atau “ruh”.

Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana sekiranya kita dapat membedakan praksis antara ilmu hikmah dan perdukunan?

Simpel saja, gunakan “trilogi detektor” ala madrasah ruhani singgasana sepi. Pertama (Dzikir). Kita bisa melihat bacaan2 yg dilafalkan apakah berupa dzikir atau wirid dan mantra. Kok beda yah? Iya, saya membedakan antara keduanya. Dzikir itu berupa asma Alloh, sifat Alloh atau Dzatulloh, tak berbatas bilangan, bisa dilakukan kapanpun dan dimanapun. Berbeda dengan wirid apalagi mantra, ia dilakukan secara turun temurun dan berbatas. Ilmu hikmah akan selalu berupaya melantunkan kalimat dzikir yg mengarah pada upaya mendekatkan dan menyambungkan diri kepada Alloh.

Kedua; (Fikir); gunakanlah akal sehat kita, berfikirlah apakah sesuatu yg diarahkan itu rasional? Apakah melampaui adat keumuman dan menyusahkan? Apakah menyalahi nilai2 religiusitas? Apakah membahyakan orang lain? Sebab, Ilmu hikmah harus benar adanya.

Ketiga; (Amal Sholeh); muara dari ilmu hikmah adalah laku lampah yg senantiasa menggapai ridho Alloh dan bijaksana kaitannya dengan makhluk lain.

*Murtadlo Imam*
Lembaga Ideologi PC Ansor Kab. Cirebon