Gus Dur dan Zakir Naik Dalam Ilmu Perbandingan Agama

2119

Oleh: Ardiyansyah ( Kader GP Ansor Bekasi Utara)

Mungkin kita telah mendengar beberapa berita bahwa Zakir Naik hadir ke Indonesia dan memberikan ceramah mengenai Islam. Banyak orang yang mengeluh-eluhkan bahwa dirinya adalah ahli studi perbandingan agama.

Pasalnya, Zakir Naik memang banyak menghafal ayat-ayat dari beberapa kitab suci agama lain seperti Bible, Weda, dan tripitaka. Hal ini yang membuat Zakir Naik menjadi orang yang disegani karena kuat hafalannya.

Mungkin ada yang suka dengan Zakir Naik, bahwa dirinya berhasil mengislamkan banyak orang, tetapi ada juga yang tidak suka dikarenakan dirinya banyak menjelekkan agama diluar keyakinannya dirinya.

Penulis yang memang lulusan perbandingan agama mencoba untuk mengenalkan apa itu perbandingan agama. Perbandingan agama bisa dibilang ilmu yang sudah tua. Ilmu ini jarang orang yang ingin mempelajarinya karena mayoritas masyarakat Indonesia membutuhkan jurusan atau ilmu yang mampu memberikan dirinya pekerjaan di perkantoran atau disuatu perusahaan.

Sedangkan ilmu perbandingan agama bukanlah ilmu seperti itu. Ilmu perbandingan agama adalah ilmu yang membahas bagaimana suatu agama mampu menjadi keyakinan di tengah-tengah masyarakat. Media Zainul Bahri dalam bukunya Wajah Studi Agama-agama dari era Teosofi Indonesia (1901-1940) Hingga Masa Reformasi, menjelaskan apa itu studi perbandingan agama.

Menggutip pendapat Mukti Ali salah satu sarjana perbandingan agama dan tokoh yang membawa ilmu perbandingan agama ke Indonesia mengatakan,

Perbandingan Agama yang dimaksudkan di sini yaitu suatu cabang ilmu pengetahuan yang berusaha untuk memahami gejala-gejala keagamaan daripada sesuatu kepercayaan dalam hubungannya dengan agama lain. Pemahaman ini meliputi persamaan juga perbedaan.

Dari pembahasan yang sedemikian itu, maka struktur yang asasi daripada pengalaman keagamaan daripada manusia dan pentingnya bagi hidup dan kehidupan orang itu akan dipelajari dan dinilai.

Dalam merintis ilmu perbandingan agama, Mukti Ali sepakat bahwa tiga kunci dari pengertian pokok ilmu perbandingan agama adalah (1) untuk menemukan persamaan dan perbedaan di antara agama-agama, (2) untuk menemukan struktur yang asasi dari pengalaman keagamaan umat manusia, dan (3) pentingnya makna agama bagi kehidupan manusia.

Jadi, menurut Mukti Ali, seorang sarjana perbandingan agama bukan hanya mampu menemukan perbedaan dan persamaan suatu agama, melainkan harus menemukan substansi bahwa agama itu baik untuk manusia, dan seberapa penting manusia meyakini agama.

Bagaimana manusia mencari ketenangan batin melalui agama, dan seberapa besarnya agama mampu membuat kemajuan suatu Negara.

Metode perbandingan agama sendiri dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu geografis dan pengalaman pribadi. Di Indonesia sendiri, metode perbandingan agama mengalami beberapa fase, ada yang menggunakan perbandingan agama untuk menarik umat lain ke dalam Islam ada yang menggunakan ilmu perbandingan agama hanya untuk sebuah kajian ilmiah tanpa harus menyuruh atau berniatan memasukkan ke dalam Islam.

Sebenarnya, metode perbandingan ini pun dipakai oleh orang Kristen pada abad renaisans, dimana tatkala Eropa masuk ke dunia mayoritas Muslim, mereka mempelajari Islam hanya untuk membuat umat Islam keluar dari agamanya, begitupun sebaliknya. Tetapi seiring berkembangnya ilmu pengetahuan, metode perbandingaan agama seperti itu sangat tidak cocok.

Karena, mampu menimbulkan suatu prasangka buruk dan perpecahan di masyarakat. Akibatnya, menjelekkan agama yang satu dengan yang lainnya menjadi hal yang lumrah, sehingga diskusi lintas agama tidak akan berjalan dengan mulus. Penulis dalam artikel ini mengambil dua tokoh yang sama-sama memahami ilmu perbandingan agama, yaitu Gus Dur dan Zakir Naik.

Gus Dur penulis anggap ahli perbandingan agama, karena dirinya banyak berdialog lintas agama dan mazhab. Gus Dur pun banyak menguasai buku-buku yang berkaitan dengan agama. Begitu juga dengan Zakir Naik, dia pun banyak berdebat dengan pendeta dan banyak membaca buku-buku agama. Meskipun demikian, metode yang digunakan sangat perbeda.

Seperti yang penulis sampaikan di awal, bahwa ilmu perbandingan agama dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu geografis dan pengalaman pribadi. Zakir Naik tinggal di India, dimana waktu Inggris menjajah India banyak menarik umat Islam ke dalam agama Kristen. Sehingga, ketakutan itu masih terasa dan Zakir Naik berusaha untuk melindungi umat Islam dari pemurtadan.

Sedangkan Gus Dur hidup dalam lingkungan pesantren yang tidak ada pemaksaan ke dalam agama. Gus Dur juga sering berdialog lintas agama dalam dimensi toleransi dan titik temu. Hal ini yang menjadikan Gus Dur orang yang sangat toleran dan mengerti makna agama.

Bagi Gus Dur, agama itu harus menjadi pedoman hidup dalam menolong manusia. Agama bukanlah sumber perpecahan, tetapi harus menjadikan manusia bersatu dan tidak melakukan peperangan. Karena semua agama beriman kepada Tuhan dan semua agama mengajarkan kebaikan.

Berbeda dengan Zakir Naik, yang menganggap studi perbandingan agama adalah mengislamkan ratusan orang dengan mencari kelemahan agama lain. Bahkan, ayat-ayat agama lain harus dipaksakan tafsirannya menurut dirinya. Dia rela mengelilingi dunia untuk mengislamkan banyak non Muslim. Hal ini wajar bagi dirinya, karena dirinya tinggal di Negara yang pernah menjadi kawasan Tarik ulur pengikut agama.

Sedangkan di Indonesia, Negara yang majemuk, banyak suku dan agama, pemikiran Gus Dur mengenai perbandingan agama lebih cocok. Pasalnya, Gus Dur mengajarkan bahwa semua agama harus rukun. Agama yang memanusiakan manusia, agama yang menebarkan kedamaian apapun agamanya. Penulis punya pendapat tersendiri, bahwa umat islam sudah banyak di dunia.

Seharusnya kita focus bagaimana memajukan umat Islam yang sudah Islam. Bagaimana membuat mereka kenyang, dan mengenyam pendidikan lebih baik. Ini yang lebih penting, sehingga agama bukan hanya sebagai keyakinan melainkan sebagai kesadaran bahwa Tuhan menciptakan perbedaan agama sudah ditakdirkan, tinggal kita nya menggunakan agama untuk tujuan mengabdi kepada Tuhan atau untuk memenuhi ambisinya.