Dibutuhkan Tim Medis COVID 19 Tingkat Daerah Berstandar WHO

84

Oleh : *Arlon H P Sinambela (Aktivis 98 Jabar)

Sebuah dilema memang ketika team medis tidak siap menangkal virus corona ini dengan cepat. Ketidaksiapan dari kementrian kesehatan untuk memberikan arahan kepada team medis berakhir dengan buruk. Tercatat per tanggal 10 April 2020, anggota team medis yang gugur dalam tugas sudah mencapai 31 orang.

Ketidaksiapan dari Kemetrian Kesehatan bukan hanya dilihat dari team medis yang merawat pasien di rumah sakit tetapi sampai tingkatan terbawah, yaitu Puskesmas.

Puskesmas sebagai ujung tombak selain rumah sakit untuk antisipasi pencegahan di masyarakat oleh Kementerian Kesehatan melalui Dinas Kesehatan di daerah, ternyata tidak diperlengkapi pemahaman yang baik. Sedangkan Kementrian Kesehatan’ sangat bertanggung jawab atas seluruh kesehatan masyarakat.

Hal ini tampak berkembangnya isu-isu miring di masyarakat tentang status pasien COVID 19,yang dimulai dari ODP dan PDP serta Pasien COVID 1. Tragisnya, bahkan sampai ke pasien yang sudah meninggal.

Dalam pengamatan saya, disinilah letak keteledoran pimpinan tertinggi kesehatan, baik Kementerian maupun Dinas Kesehatan tidak memberi pemahaman yang baik dan akurat terhadap orang-orang yang menangani pasien di Puskesmas untuk mencegah virus corona menyebar lebih banyak lagi di masyarakat.

Data yang ditampilkan oleh BNPB Pusat adalah data pasien yang dirawat di rumah sakit. Banyaknya pasien yang menangani diri sendiri atau isolasi mandiri ketika berstatus COVID 19, ternyata tidak ditampilkan oleh BNPB Pusat. Apakah data itu disimpan atau memang BNPB tidak mengetahuinya?

Saya secara pribadi dan keluarga mengalaminya langsung, dimana saya dan keluarga berstatus ODP ( Orang Dalam Pengawasan) oleh Dinas Kesehatan di Bandung Barat, tempat saya berdomisli. Berawal dari adanya salah satu pasien COVID 19 Bandung Barat,dengan pertemuan terakhir tanggal 15 Maret 2020, saya dan keluarga melaporkan diri kepada Dinas Kesehatan terkait pada tanggal 30 Maret 2020 dan disarankan untuk isolasi mandiri selama 14 hari,dimulai sejak tanggal 01 April 2020.

Oleh Dinas Kesehatan Bandung Barat, kami pun diserahkan penanganannya ke Puskesmas terdekat dengan rumah, yaitu Puskemas Jayamekar Padalarang Bandung Barat. Anehnya sampai di hari kesebelas saya dan keluarga isolasi mandiri tidak dilakukan Rapid Test.

Sebuah pertanyaan besar, ada apa sebenarnya? Apakah Dinas Kesehatan tidak memahami bagaimana dampak penyebaran corona ini di masyarakat?

Apabila saya dan keluarga ternyata hasilnya adalah positif corona lalu keluar rumah. Sedangkan saya dan keluarga walau isolasi mandiri butuh keluar rumah untuk memenuhi kebutuhan harian. Sementara kami sama sekali tidak diberi bimbingan ataupun bantuan oleh Dinas Kesehatan melalui Puskesmas sejak kami berada dalam isolasi mandiri.

Atas keterlambatan melakukan Rapid test berdampak kepada lingkungan sekitar tempat tinggal kami. Pihak dinas kesehatan dan puskemas tidak langsung memberi klarifikasi atau pendidikan kepada masyarakat tempat kami berada.
Hal ini pun menjadikan kami sekeluarga merasa dikucilkan oleh masyarakat,

Kasus terjadi pada diri saya ini, besar kemungkinan hal ini pun dialami oleh beberapa pasien yang isolasi mandiri lainnya dan berstatus ODP.

Tidak bisa dipungkiri,dilihat dari apa yang kami alami sekeluarga membuktikan bahwa adanya kekurangpahaman tim medis daerah yang tidak satu protap dengan Kementerian Kesehatan dalam upaya mencegah virus corona ini menyebar lebih luas lagi.

Sebenarnya beruntung Dinas Kesehatan bila ada pasien ODP/PDP atau Positif COVID 19 yang bisa diajak kerjasama untuk bersama-sama mencegah dengan saling mengawasi. Bila tidak, penyebaran virus corona tidak akan terbendung penyebarannya di tengah masyarakat.

Ingat ! Data yang ditampilkan di media adalah data pasien yang dirawat di rumah sakit, bukan termasuk data pasien yang dirawat dirumah baik berstatus ODP dan PDP maupun Positif COVID 19. Karena tidak tertutup kemungkinan Kementerian Kesehatan melalui Dinas Kesehatan di daerah tidak memiliki data konkrit atas status pasien yang telah tersebar di daerahnya,

Dengan melihat pola perawatan yang tidak standard bisa saja berjangkit lebih banyak pasien-pasien baru dikarenakan adanya status pasien OTG (Orang Tanpa Gejala) yang lolos dari pengawasan.

Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap para medis yang berjuang dirumah sakit dan yang telah gugur dalam pencegahan COVID 19, seharusnya Kementrian Kesehatan sudah bisa memberi pembekalan singkat kepada kepala Dinas Kesehatan di daerah serta puskesmas-puskesmas untuk mencegah penyebaran COVID 19 ini lebih luas lagi.

Takut, panik dan kekurangseriusan pencegahan tampak pada tim medis di daerah sepertinya belum direspon oleh Kementrian Kesehatan untuk diberi pembekalan yang baik sebagai penyuluh kesehatan di tengah masyarakat daerahnya

Sebagai garda pencegahan terakhir yang ada di tingkatan puskesmas terlihat masih ragu-ragu dan tergolong ketakutan. Ini terlihat pada penanganan pasien status ODP walau hanya sekedar membuktikan dengan Rapid Test.

Berdasarkan pengalaman ini, saya mengambil sebuah kesimpulan bahwa pemerintah daerah dalam hal ini Dinas Kesehatan belum benar-benar serius mencegah penyebaran virus corona di masyarakat. Sedangkan penanganan Covid-19 ini harus memiliki standard dunia, yaitu WHO, Fakta penerapannya dilapangan masih mengalami keragu-raguan dan takut.

Entah ini memang sengaja dibiarkan atau memang ada ketakutan yang berlebihan. Kementerian Kesehatan yang bisa menjawabnya.

Ingat !!! Siapapun kita bisa menjadi kurir virus corona buat yang lainnya. Kejujuranlah yang bisa mencegah penyebarannya. Kerjasama dan perawatan yang maksimal dari penyuluhan medis sangat dibutuhkan.

_Penulis : Pasien status ODP Bandung Barat 01 April 2020_
_HP: 081321381166_