DAKWAH KIAI KAMPUNG DAN USTADZ POPULER

198

Abah saya adalah seorang kiai kampung. Orang-orang kerap memanggilnya dengan panggilan Apa Harun. Beliau tak punya nama panjang, hanya memakai nama tunggal (mononim).

Harun adalah nama dari salah satu nabi dan rasul (utusan) Allah SWT yang diberi tugas untuk berdakwah mengajak Fira’un dan pengikutnya agar beriman kepada Allah SWT bersama saudaranya yaitu Nabi Musa As. Mungkin ayah abah saya (Alm.H. Mista) allahumagfirlahu memberi nama Harun agar kelak anaknya bisa mengikuti jejak-jejak dakwah Nabi Harun As.

Di samping itu, Nabi Muhamad SAW dalam hadisnya menganjurkan kepada umatnya untuk memberi nama anaknya dengan nama-nama para nabi dan orang-orang saleh.

Terlepas dari itu, sehari-harinya abah saya menghabiskan waktu dengan mengajar santri di pondok pesantren kecil miliknya, sampai melayani warga dengan hajat yang bermacam-macam. Mulai dari diminta untuk memimpin doa dalam acara tasyakuran, tahlilan, ataupun mengisi ceramah di setiap acara undanganya.

Abah saya jauh dari media, baik koran, media sosial, apalagi televisi yang sarat akan pencitraan. Pesantren kecilnya pun berada di daerah pedalaman Kabupaten Bogor yang sangat jauh dari hiruk-pikuk perkotaan dan “pusat peradaban”.

Meski begitu, beliau memiliki kearifan yg kadang tak dimiliki para aktivis dakwah sekarang. Suatu ketika abah saya diminta untuk mengisi ceramah dalam acara al-walimatu al-ursy (pernikahan) salah satu alumninya.

Kebetulan saya ikut mengantar beliau untuk menghadiri acara dengan ditemani oleh salah satu santrinya yang menjadi pengurus di pesantren. Saya dan orang-orang yang menghadiri acara sepertinya sangat menikmati materi ceramah yang abah sampaikan. Sejuk dan teduh sekali.

Beliau sukses membuat orang-orang yang
hadir terhanyut dalam setip nasihat-nasihatnya. Walaupun abah tak banyak mengerti tentang konsep dakwah, memang beliau setiap ceramah tak pernah memperhatikan konsep. Menurutnya, konsep kadang tak terpakai saat beliau sudah di atas mimbar/panggung.

Beliau hanya menggunakan “kitab-kuning” sebagai pegangan materi ceramahnya. Walaupun level ‘Kiai’ beliau selalu menjaga tradisi kesantriannya. Inilah yang saya suka dari abah, it so calssic.

Kitab yang digunakan oleh abah saat ceramah dalam acara pernikahan alumninya ialah ‘uqudulujain’, kitab fiqih pernikahan karangan Imam Nawawi (Banten) yang dulu pernah saya kaji saat di pesantren. Cukup dengan pegangan kitab kecil itu, abah dengan jelas membahas konsep bagaimana membangun rumah tangga yang baik.

Jika ditelisik lebih dalam cara beliau berceramah dengan memakai kitab-kitab klasik mempunyai implikasi penting terhadap pondok pesantren. Secara tidak langsung beliau sedang mengajak para hadirin untuk memperhatikan pondok pesantren dan memasukan anak-anaknya untuk mengenyam pendidikan agama di pesantren.

Abah sadar betul urusan agama tak cukup hanya di dapat dari pendidikan formal seperti sekolah-sekolah umum. Beliau juga seorang manusia yang serakah terhadap ilmu. Saat muda, beliau adalah pengembara Ilmu yang gigih dengan berpindah-pindah pesantren.

Koleksi dalil Alquran maupun hadis pun cukup banyak untuk dicekokkan kepada Jama’ah. Namun hal itu tak beliau lakukan, ia cukup menyampaikan beberapa potong dalil saja.

Selebihnya ia menyampaikan isi cermahnya dengan bahasa kaumnya, bahasa masyarakat Sunda yang lekat dengan syair, dongeng, cerita legenda, dan humor-humor yang tak jarang membuat ketawa. Beliau mampu masuk ke dalam jiwa-jiwa jama’ahnya menyelami kesehariannya, masalahnya, pengalaman dan kebutuhan rillnya, tidak melangit. Di situlah terbangun suasana pengajian yang kohesif.

Dakwah abah saya sebagai kiai kampung ini kontras sekali dengan beberapa pendakwah generasi muda yang akhir-akhir ini marak di setiap kanal-kanal media. Abah saya tak memiliki kanal YouTube. Jangankan akun media sosial, handphone saja tidak punya!

Dengan berbekal terjemahan Alquran versi
Depag atau terjemahan hadits yang dijual di toko-toko, mereka mengguyur panggung dengan hujan dalil yang memusingkan.

Tak sedikit yang ceramah dengan emosi tak terkendali, sambil marah sana-
sini. Mencaci dan menyesatkan sesama muslim maupun non-muslim dengan segala jenis bahasa hewan diucapkan. Seketika panggung menjadi wahana peluapan emosi.

Yang aneh, jama’ahnya sama sekali tak pernah risih. Mereka menyambutnya dengan semangat, terkadang sekali-kali mengucapkan kalimat suci.

Entah dakwah apa yang sedang mereka sampaikan. Jika aktivitas dakwah dibiarkan demikian, kapan umat akan belajar mencoba mengurusi akhlaknya? Bukankah Nabi Muhamad diutus tak lain dan tak bukan hanya untuk mengurus akhlak umat? Lalu dengan model dakwah seperti itu, para pendakwah baru tersebut menganggap dirinya sebagai pewaris Nabi (warasatul anbiya). Hmmmmmmm, aduh gusti!

Adakah dampak dari pergeseran dakwah sekarang bagi corak pemahaman keagamaan di Indonesia? Banyak sekali dampak yang sekarang mulai dirasakan oleh demokratisasi dan individualisasi arus informasi keislaman melalui teknologi informasi yang menjadi media dakwah para penceramah generasi baru ini. Saya hanya akan menunjukan dua pokok saja.

Pertama, generasi muda Islam sekarang semakin konservatif dalam pemahaman keagamaannya. Gejala ini dikhawatirkan masuk ke dalam jaringan radikalisasi dalam agama. Pendakwah-pendakwah generasi baru ini banyak diantaranya yang tidak berlatar belakang pendidikan agama.

Yang saya saksikan, akhir-akhir ini banyak dari kalangan artis yang alih profesi menjadi seorang pendakwah lengkap dengan segala simbol religiusnya. Atau seorang mualaf yang baru masuk Islam meniti kariernya menjadi pendakwah dengan menjelek-jelekkan bekas agamanya.

Kemudian Asef Bayyat, seorang profesor sosiologi dan ahli studi Timur Tengah yang sekarang mengajar di University of Illinois Urbana-Champagne. Hal demikian disebut dengan fenomena “dakwah populer”.

Bayat menerangkan Jika selama berabad-abad sebelumnya para pendakwah dan ulama terdahulu mencapai kewenangan dan wibawa mereka dengan mengabdikan hidupnya bertahun-tahun untuk mengaji secara mendalam. Sedangkan pendakwah generasi baru sekarang yang merupakan figur-figur religuis mentereng malah tidak dihasilkan oleh pendidikan keagamaan formal yang berlangsung selama bertahun-tahun.

Kebanyakan mereka tak berlatar belakang pendidikan Agama. Modal utama mereka adalah kemampuan komunikasi yang hebat, keunggulan berbicara di depan umum dan kemampuan penggunaan media baru.

Di mata pendengar mereka, pendakwah baru ini memiliki penampilan bak bintang rock. Mereka menggunakan trend-trend terbaru sebagai media dakwahnya. Mereka memuaskan kebutuhan muslim generasi baru, terutama masyarakat kelas menengah perkotaan yang telah belajar mengambil jalan instant dalam mencari ilmu atau sedang belajar menjadi murid-murid yang patuh (Ariel Heryanto: 2017).

Dengan dampak dari fenomena “dakwah populer” ini, saya saksikan sendiri saat menemukan beberapa orang yang dengan gagahnya menampilkan foto profil sosial media dengan pedang dikedua tangannya, lengkap dengan simbol-simbol keagamaan sambil mengajak-ngajak untuk jihad.

Dan yang lebih ironis adalah saat orang-orang tersebut menganggap bahwa hal tersebut adalah jalan menuju dakwah. Tak pernah terbayangkan jika hal ini terus dibiarkan dakwah apa yang akan djalankan oleh mereka untuk menegakan agama Islam. Sangat ‘horor’ membayangkannya.

Kedua, Pimpinan-pimpinan otoritas keagamaan (Pesantren, Lembaga Keagamaan Islam) yang menempuh jalur-jalur dakwah tradisional selama bertahu-tahun ini terancam integritasnya sebagai penjaga marwah agama dan kredibelitasnya sebagai pengayom masyarakat akan begitu saja lebur luntur oleh ulah-ulah pendakwah yang hanya bermodalkan terjemahan dan pengetahuan Agama dangkal.

Oleh karena itu, KH. Muhtadi Dimyati (Abuya Muhtadi) salah seorang ulama khos asal padeglang, Banten. Dalam beberapa kesempatan ceramahnya selalu mengingatkan agar terus waspada terhadap pendakwah-pendakwah generasi baru ini dan melarang masuk dalam lingkungan pondok pesantren.

Karena dikhawatirkan para santri ikut terpengaruhi oleh pemahaman keagamaan seperti demikian. Karena para santri adalah paku yang akan menyelamatkan keutuhan dan ketentraman negeri yang terkenal memiliki budi pekerti yang luhur sekali.

Pembaca yang budiman. Jika aset bangsa kita yang sudah diajarkan para pendakwah atau ulama-ulama terdahulu kita tak mau luntur begitu saja dalam budaya interaksi sosial di Indonesia dan tak mau digantikan oleh ajaran dakwah keagamaan yang diajarkan oleh pendakwah-pendakwah generasi baru sekarang ini. Jangan diam! mari kita bergerak melawan pemahaman agama yg merusak ini.

Jangan sampai gerakan dan pemahaman keagamaan mereka masuk kedalam lingkungan pondok pesantren dan mempengaruhi anak, saudara, keluarga dan kerabat kita. Wallahu’alam bi showab.

Muhammad Reza Fahlevi
Sekretaris PAC GP Ansor Tenjolaya