Bukti-bukti NU Berdiri untuk Kemerdekaan Indonesia

167


Para kiai pesantren Ahlussunah wal Jamaah mendirikan Nahdlatul Ulama (NU) pada 31 Januari 1926 untuk tujuan Indonesia merdeka. Tentu saja, tujuan itu tidak tertulis secara tersurat pada statuten (AD/ART) saat itu. Pasalnya ketika para kiai menunjukkan upaya-upaya kemerdekaan pada situasi penjajahan, tak lebih dari kekonyolan yang luar biasa.

Lalu, bagaimana memahami upaya dan tujuan para kiai mendirikan NU untuk kemerdekaan Indonesia? Kita bisa menafsirkan pergerakan mereka pada saat sebelum, ketika, dan setelah kemerdekaan diraih.

Jika dilihat konteksnya, situasi nasional dan internasional pada saat itu, setidaknya ada 2 motivasi para kiai saat mendirikan NU, yaitu agama dan nasionalisme. Sebetulnya bagi kalangan NU, dua hal ini tidak dipisahkan. Di dalam agama ada nilai-nilai nasionalisme atau cinta tanah air. Sebaliknya, nasionalisme merupakan bagian dari agama (iman). Di kalangan pesantren populer slogan hubbul wathan minal iman atau cinta tanah air sebagian dari iman. Ketua Umum PBNU 2010-2021 KH Said Aqil Siroj menafsirkannya dengan nasionalisme sebagian dari iman.

Leluhur Pendiri NU dan Perjuangan Usir Penjajah

Tanpa mengecilkan peran kalangan lain, sejarah perlawanan bangsa Indonesia dilakukan kalangan umat Islam yang terdiri dari kiai, santri, para sultan, dan masyarakat. Namun, selama berabad-abad perjuangan mereka berhasil ditumpas penjajah.

Meski demikian, perang itu tak benar-benar berhenti sama sekali. Para keturunan pejuang selalu menyimpan rencana meneruskan perlawanan pendahulunya meskipun dengan cara yang berbeda dan secara berantai pula turun-temurun.

Karena keadaan terus berubah, tantangannya pun berbeda, cara para kiai bergerak dalam menyebarkan Islam dan merebut kemerdekaan pun berubah juga. Jika sebelumnya hanya melalui pesantren dan bergerak sendiri-sendiri, para kiai kemudian mencoba mendirikan organisasi, Nahdlatul Ulama.

Nama dan Jejak Pendiri Nahdlatul Ulama

Sebagai bukti para pendiri dan pengurus NU merupakan pelanjut perjuangan mengusir penjajah misalanya dari segi penamaan organisasi. Apabila diperhatikan, nama Nahdlatul Ulama berarti kebangkitan ulama, sejalan dengan kondisi perjuangan umat Islam saat itu, yakni sedang dalam perjuangan membangkitkan kesadaran nasional.

Ditilik dari sisi tokoh pendiri, KH Abdul Wahab Hasbullah dan Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari leluhurnya menyatu pada sosok KH Shihah. Dia merupakan prajurit Pangeran Diponegoro yang melarikan diri ke arah timur. Di Banten, KH Syam’un dan KH Abdul Latif, masing-masing leluhurnya merupakan pelaku pemberontakan petani pada 1888. Di Cirebon KH Abbas Buntet merupakan salah seorang yang berperang langsung pada 10 November di Surabaya. Di Tasikmalaya, KH Zainal Musthafa gugur saat melawan Jepang.

Selain itu, bisa pula dilihat dari pergerakan para tokohnya, baik sebelum, menjelang, serta setelah kemerdekaan Indonesia. Pertama, sebelum kemerdekaan, KH Wahab Hasbullah misalnya mendirikan Nahdlatul Wathan, Tashwirul Afkar, Syubanul Wathan dan mengadakan kursus masail diniyah bagi pemuda pembela mazhab.

Lalu, sehari sebelum pertemuan untuk mendirikan NU di Kertopaten, Surabaya, terjadi dialog antara KH Abdul Wahab Hasbullah dengan KH Abdulhalim Leuwimunding. KH Abdulhalim bertanya, apakah organisasi yang akan didirikan para kiai itu memiliki tujuan kemerdekaan? Kiai Wahab menjawab iya, umat Islam menuju ke jalan itu. Umat Islam tidak leluasa sebelum negara kita merdeka (Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan NU, 2010).
Kedua, beberapa bulan selepas kemerdekaan, bangsa Indonesia tidak otomatis mendapatkan ketenangan. Penjajah berusaha datang kembali dalam bentuk pasukan Sekutu yang akan diboncengi tentara NICA. NU meresponsnya dengan mengundang konsul-konsul di seluruh Jawa dan Madura agar hadir pada tanggal 21 Oktober 1945 di kantor Pengurus Besar Ansor Nahdlatul Ulama (PB ANO atau sekarang disebut Gerakan Pemuda Ansor) di Jalan Bubutan Vl/Z Surabaya.

Waktu itu NU mengeluarkan Fatwa Jihad fi Sabilillah dan Resolusi Jihad fi Sabilillah pada 22 Oktober 1945. Perbedaan kedunya adalah yang pertama disampaikan kepada anggota-anggota NU dan umat Islam secara umum, sementara yang kedua disampaikan kepada Pemerintah Republik Indonesia yang saat itu baru dua bulan diproklamasikan.
Selain itu, bisa dilihat pula peran para tokoh NU yang mendapat pengakuan negara dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Meskipun yang gugur sangat banyak jumlahnya, tapi sampai saat ini hanya 9 tokoh NU yang ditetapkan pemerintah sebagai pahlawan.

Abdullah Alawi