Oleh : Ryan Sevian
Dalam wacana Hermeneutika Khazanah pemikiran Islam sejak masa Rasul sampai sekarang, dibedakan menjadi dua pola pemikiran, yang dimana pola pemikiran tersebut saling berbenturan satu sama lain. Pertama, pola pemikiran Tekstual. Yaitu merupakan pola pemikiran yang pijakannya pada teks apa adanya, yang artinya menyampaikan sesuatu tanpa mempertimbangkan sosio-kulturnya. Pola pemikiran ini cenderung normatif dengan pendekatan doktrinal teologis bersifat parsial formalistik dan kadang reduksionis. Pengikut pola pemikiran ini mempunyai semangat yang tinggi untuk mengembalikan Islam seperti zaman Rasul dahulu tanpa melihat keadaan sosial itu sendiri. Kelompok pemikiran ini sering di sebut kelompok Ortodoks, Konservatif, dan Fundamentalis. Kedua, pola pemikiran Kontekstual. Yaitu merupakan kebalikan dari penganut pola Tekstual, yang tidak hanya menganut pada teks itu saja, tapi lebih kepada esensi dan substansinya. Dalam pengaplikasiannya senantiasa mempertimbangkan waktu, kondisi, kultur, dan historisnya. Kelompok pola pemikiran ini sering di sebut sebagai kelompok pemikir Modernis atau pada awal abad ke XX pemikiran seperti ini sering dianut oleh mereka yang mengatasnamakan kelompoknya sebagai Islam Liberal.
Kita ketahui dua windu kebelakang Masyarakat sering dibuat resah atas apa yang telah ormas FPI pertontonkan kepada khalayak umum, ormas agama yang mempraktekan salah satu pola pemikiran yang penulis kutip di atas. Didirikan pada bulan Agustus 1998 pasca reformasi yang menurut analisis penulis, ormas ini didirikan sebagai jembatan politik mereka untuk menguasai negeri ini dengan tujuan mendirikan negara khilafah. Ormas garis keras ini seakan-akan tiada hentinya bermain sandiwara di atas panggung megah. Mereka sering menggunakan persepsinya sendiri, persepsinya menjadi sebuah streotipe dan akhirnya berujung selalu berburuk sangka. Bahkan mendorong persepsi itu menjadi opini publik. Menurut penulis persepsi karwek “karepe dewek”.
Pada tahun 1998 FPI pertama kali muncul ke khalayak umum melakukan demo dengan mengeluarkan pernyataan sikap yang mendukung sepenuhnya pelaksanaan sidang istimewa MPR. Pada tahun 2000 FPI mengeluarkan pernyataan sikap tentang penolakan calon presiden perempuan. Karena dengan alasan menurut Islam (mereka) haram hukumnya perempuan menjadi pemimpin negara. Tidak lepas konteks hari inipun FPI sedang gencar-gencarnya melakukan penyerangan terhadap Ahok, Guberbur Non Aktif Jakarta yang menjadi calon kuat dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Penyerangan itu menggunakan persepsi “karep dewek”nya mereka dengan alih isu penistaan terhadap Agama. Bulsyit semualah, sudah dari dulu FPI itu anti Ahok, anti Non Muslim, anti dipimpin oleh beda agama, anti keturunan Tiongkok, anti siapa saja yang berbeda dengan persepsi karwek-nya mereka, tidak sedikit orang muslim bahkan ulama yang telah mereka kafirkan. Persepsi karwek-nya FPI-lah yang akan mematikan jiwa demokrasi di negeri ini.
Persepsi agama seperti FPI-lah yang sudah membuat resah berkelanjutan terhadap filsuf-filsuf terdahulu. Seperti kritik terhadap agama yang di gagas oleh Feuerbach yang teorinya menjadikan pintu pertama penganut Atheis. (Ludwig Feuerbach 1804-1872). Kritik Feuerbach terhadap agama bukan berarti tanpa landasan. Feuerbach seorang penganut agama Kristen Protestan tulen, bahkan dia pernah bercita-cita ingin menjadi pendeta. Kritiknya terhadap agama tidak hanya kritik belaka saja. Dia melihat pada konteks zamannya yang dimana agama telah menjadikan penganutnya apatis terhadap keadaan sosial yang ada, agama menjadikan penganutnya fanatik dan menjadikannya manusia intoleran, agama dianggapnya telah membutakan pintu mata hati para penganut nya. Keresahan nya terhadap agama itulah yang membuat dia mengkritisi setiap sendi-sendi di dalam agama itu sendiri.
Berawal dari penolakannya terhadap pemikiran Hegel tentang Manusia dan Tuhan. Hegel menganalogikan manusia sebagai wayang-wayang dengan kesadaran, pengertian, dan mempunyai kemauan sendiri, namun kehendak apapun tetap berada di tangan Sang Dalang. Menurut Feuerbach pemikiran Hegel yang seperti itu telah memutar balikan fakta pada kenyataannya. Seakan-akan yang nyata adalah Tuhan (yang tidak kelihatan) sedangkan manusia (yang tidak kelihatan) adalah tidak nyata, padahal yang nyata itu adalah manusia. Bukan manusia itu pikiran Tuhan, tapi Tuhan itu pikiran Manusia, dengan artian setiap apa-apa yang manusia lakukan (tidak terlepas agama apapun) tidak berpengaruh dengan pikiran Tuhan. Tuhan mempunyai wahyu, itu yang harus di pikirkan oleh manusia.
Agama oleh Feuerbach tidak lebih daripada proyeksi hakikat manusia, surga dan neraka tidak lebih hanya merupakan gambar dan angan-angan yang dibentuk oleh manusia itu sendiri. Menurut Feuerbach, agama adalah sebuah pengasingan diri dari dirinya sendiri. Oleh karena itu, Feuerbach berpendapat bahwa manusia hanya dapat mengakhiri keterasingannya apabila agama ditiadakan. Manusia harus membongkar agama agar ia dapat merealisasikan hakikatnya sebagai mahluk sosial, toleransi, dan tidak fanatik dalam satu ruang sudut (agama). Teologi harus menjadi Antropologi!
Feuerbach adalah orang pertama yang memberikan dasar teori kepada atheisme yang banyak dianut oleh filsuf-filsuf di kemudian hari, seperti Nietzsche, Freud, dan tentu Marx yang kemudian juga membuat teori pandangannya “Agama sebagai candu”. Kembali lagi Feuerbach yang menurut penulis dianggap salah satu filsuf yang menjadikan pengalaman sebagai dasar pengetahuan atau teorinya. Feuerbach melihat realita sosial yang ada dan dijadikannya sebuah acuan untuk mengkritik sosial itu sendiri dengan teori-teorinya. Apakah benar agama tidak lebih dari sebuah proyeksi hakikat manusia?
Tidak ada salahnya kita mengamininya. Banyak yang dipercayai dan dilakukan atas nama agama sebenarnya tidak ditemukan dalam wahyu Tuhan, melainkan interpretasi sesuai kebutuhan konteks selanjutnya. FPI sebagai institusionalisasi dalam agama,yang menggunakan kekreatifan atau kepicikan untuk mendongkrak ataupun untuk mendapatkan sesuatu apa yang mereka inginkan. Banyak cara-cara mereka yang justru berbenturan dengan etika agama itu sendiri dan tidak berasal dari wahyu Tuhan. Itu semua bisa dikatakan hanya proyeksi agama saja seperti dalam teorinya Feuerbach di atas.
Penulis ketakutan masyarakat awam dalam tanda kutip masyarakat yang tidak mengerti perihal esensi agama itu seperti apa dan bagaimana. Agama yang mengajarkan kasih sayang,saling menolong satu sama lain,toleransi,hidup saling berdampingan, justru ketakutan penulis adalah masyarakat awam itu memandang agama seperti yang fpi bawakan,kekerasan,intoleransi,jauh dari humanisme. Bisa saja mereka tidak mau mengenal agama karena di anggap nya agama hanya ladang proyeksi. Bahkan bisa saja menjadikan mereka mengikuti agama hanya kewajiban data di ktp,hatinya bisa saja menganut ajaran atheis yang tidak mau ikut campur dengan agama.
Jika memang agama hanya digunakan oligarki oleh penganut nya, agama membuat penganutnya menjadi intoleransi, agama sebagai dasar penyekatan dengan manusia lainnya, agama menjadikan tempat pengasingan, dan menjauhkan agama dari sifat sosial. Tidak salah dengan apa yang Feuerbach kemukakan di atas, lebih baik agama ditiadakan saja. FPI jika membuat kekerasan dan membuat perilaku yang jauh dari mahluk sosial atas nama agama, lebih baik bubarkan dan tiadakan saja mereka!
Penulis mengakui Muhammadiyah dan NU adalah salah satu ormas agama yang sangat berperan dalam berdirinya kemerdekaan Indonesia, sampai detik ini pun mereka saling berpijak satu sama lain untuk tetap menjaga keutuhan NKRI dan terus melanjutkan cita-cita kemerdekaan para pendiri. Sedangkan FPI yang bisa dikatakan baru berumur kemarin sore saja sudah soso-an merasa diri mereka para penyelamat negeri ini. Mereka orasi sana-sini, beronani wacana mengatasnamakan agama dan membuat persepsi karwek bahwa golongan merekalah para revolusioner. Matamu keblinger!
Muhammadiyah dan NU, penulis analogikan sebagai orang tua dan FPI, penulis analogikan sebagai anak kecil yang masih duduk dibangku SMP yang egonya sedang tinggi-tingginya selalu ingin menang sendiri. Orang tua membuat dan membangun rumahnya dengan susah payah, jika anaknya nakal dan ingin merusak rumah itu, marahin saja anak itu sekali-kali biar enggak kebablasan merusak rumahnya.
Begitupun FPI, jika terus membandel ingin merusak negeri ini dengan mengatasnamakan agama. Mending bubarin saja mereka…