Berkah atau malas?

55

Berkah atau malas?

Oleh : Uud Akmaludin

Tradisi di kalangan nahdliyin salah satunya ziarah ke makam para Waliyulloh, terutama di bulan seperti Rabiul awal. Berdasar pada berbagai keterangan hadits mereka rela meluangkan waktu dan biaya demi memenuhi gairah dan memupuk pengalaman spiritual. Di luar sana kritikan tidak membuat para nahdliyin goyah dengan ajaran para guru mereka.

Kritikan orang luar yang menganggap sebagai penyembah kuburan tak mereka indahkan sebab mereka lebih tahu dari para penuduh syirik dan lain sebagainya. Namun dari tuduhan kaum yang anti ziarah hanya satu fakta yang merupakan aib bagi ajaran pembawa Risalah yaitu Rosululloh SAW.
Bahwa para penziarah hanya mengantarkan kemakmuran bagi sekitar makam itu adalah fakta yang sangat membanggakan, karena meski shohibul maqom telah meninggalkan dunia secara fisik masih mampu menghidupi mereka yang berada sekitar makam.
Namun di samping itu ada yang luput dari tuduhan mereka kaum anti ziarah adalah bertumpuknya pengemis yang memonopoli area sekitar makam, tak jarang mereka menghalangi keleluasaan para penjiarah supaya mendapat bagian dari milik para pendatang yang tabaruk.
Alih-alih menyediakan ladang amal, tapi tak bisa di pungkiri mental malas terbentuk dan sialnya menyandarkan kepada para penyebar ajaran itu sendiri. Larangan meminta-minta jelas dengan konsekuensi muka tanpa daging ketika di bangkitkan di hari kebangkitan mungkin sudah luput dari pikiran mereka, yang ada adalah meminta rupiah kepada para pejiarah.
Adalah Sayidina Ali KRW yang mengusir sekelompok orang yang kerjanya hanya berdiam di mesjid, karena Islam tidak memberi tempat kepada pemalas walaupun ber label hanya beribadah. Lantas apa yang akan di lakukan beliau jika mendapati orang bersenjata mangkok plastik kecil yang berkeliaran di sekitar area makam.
Jika melanggar ajaran agama adalah maksiat dan perlu di hancurkan tempat permaksiatan dan berteriak nama yang Maha Besar dengan bangga di lakukan oleh kelompok tertentu, kenapa dengan praktek penyelewengan ini? Atau kah cukup toleran membiarkan mereka mengais rejeki dari karitatif?
Teringat paparan dari Ibu Walikota Surabaya di saat penutupan mahalul zina, tempat prostitisi “doli”, kita tidak bisa membayangkan mental anak-anak sekitar lokalisasi yang sedikit besarnya bisa rusak. Perbandingan ini apakah praktek meminta-minta tidak akan menciptakan generasi malas berikutnya? Sekedar bertanya
Kritik saja tidak akan cukup, mereka saudara kita yang kebetulan melihat peluang dalil agama sebagai salah satu sarat pemasukan bagi mereka, dan di teriakan diberbagai kesempatan taklim. Mungkin mereka rela di jadikan tempat beramal bagi para pejiarah, dan di urus oleh pengelola tempat kermat. Karena tak sedikit pemberian para pejiarah di jafikan tumpuan bagi mereka pengurus tempat itu sendiri.
Tak perlu jubah dan pekik histeris yang membangkitkan semangat, juga tidak cukup membiarkan mereka kehilangan daging muka mereka di hadapan yang maha kuasa. Perlu upaya keras untuk menghapus setidaknya mengurangi dan mengobati mental mereka.