ALGORITMA, MEMBACA GERAK KEGADUHAN MEDIA SOSIAL

109

ALGORITMA, MEMBACA GERAK KEGADUHAN MEDIA SOSIAL

Sejak kegaduhan soal Menteri Agama ikhwal surat edaran pengaturan toa muncul kepermukaan, saya lebih memilih untuk diam terlebih dahulu. Mencermati dan mengamati situasi. Sembari sesekali menyaksikan siapa saja yang mulai bereaksi. Lantas kenapa lebih memilih diam? Sebab menanggapi apapun yang sudah didahului oleh ketidaksukaan atau bahkan kebencian tidak akan berarti apa-apa selain hanya debat kusir emosional. Dan saya tidak ingin terbawa arus itu.

Begini, kelemahan terbesar kita dalam menyerap informasi digital/media sosial adalah literasi. Maka rasanya perlu membeberkan algoritma digital ke permukaan. Tidak hanya berhenti membeberkan, tapi juga menjelaskan sesuatu yang sebetulnya sudah sering kali kita alami dan kita rasakan namun tak kunjung membuat kita sadar dan paham.

Pertama, tidak ada kegaduhan di media sosial yang berdiri sendiri. Semua by design. Termasuk yang hari ini sedang dialami oleh Gus Yaqut. Sejak awal mula kegaduhan itu muncul, pernyataan atau statmen menteri yang diplintir sedemikian rupa itu hanya menu utama yang dihidangkan ke meja publik. Dihidangkan dengan cara yang bagaimana? Dibagikan dengan menggunakan mesin buzzer robotik agar bisa dengan mudah menyebar dan dikonsumsi oleh masyarakat pengguna jagat maya organik (akun real seseorang di media sosial).

Maka tidak heran hanya dalam waktu sepersekian menit, menu video yang dipotong, judul berita yang diplintir dan lain sebagainya itu menyebar dengan cepat dan dikonsumsi oleh khalayak jagat maya yang awam. Munculah reaksi. Bahkan hanya dalam waktu singkat, hastag #TangkapYaqut tranding pertama di jagat twitter. Jika bukan buzzer robotik, tidak mungkin akan secepat itu tersebar dan tranding.

Dan jika dicermati, pola kegaduhan di media sosial selalu semacam itu. Mari kita kupas satu persatu. Kegaduhan soal Ahok ikhwal surat Al Maidah ayat 51, itu juga bermula dari sebaran informasi buzzer robotik media sosial. Pembakaran bendera HTI di Garut yang diplintir seolah-olah itu adalah bendera tauhid juga demikian. Ketika awal-awal Covid, perdebatan soal imbauan agar beribadah di rumah, polanya juga demikian. Sola haji/umroh yang dibatalkan saat pendemi covid yang juga ramai diperbincangkan, polanya juga demikian. Termasuk kegaduhan soal pengaturan toa yang hari ini muncul juga demikian. Setelah itu, baru meme yang berisi penghinaan bermunculan. Ujung-ujungnya ada yang bersuara bubarkan Ansor, bubarkan Banser. Selalu seperti itu. Dan algoritma digital itu menunjukkan dalam setiap kegaduhan, pemainnya itu-itu saja. Pola gerakan itu yang belum banyak dipahami oleh khalayak awam kita sehingga dengan mudahnya bereaksi dan terjerumus dalam arus informasi kebencian.

Kembali soal Gus Yaqut, bagaimanapun juga Gus Yaqut adalah Ketua Umum GP. Ansor. Sejak dulu, garis perjuangan Ansor sudah jelas. Analisis siapa kawan dan siapa lawan. Bisa kita bayangkan, jauh sebelum menjabat sebagai Menteri Agama saja, cercaan, makian, hinaan, bahkan fitnah sudah sering dirasakan. Apalagi dengan posisi prestise Gus Yaqut hari ini sebagai Menteri Agama. Ada banyak mata lawan yang memandang, mengamati, menunggu dan bahkan mencari kesalahan. Seketika ada celah, bum. Terlebih hari ini, lawan yang muncul tidak hanya dari luar, tapi dari kalangan kita sendiri.

Situasi ini harus semakin meneguhkan mental dan kekuatan kita. Sebab bagaimanapun juga, Ansor adalah garis perjuangan dan harga diri yang harus terus kita jaga sampai dengan titik nyawa lepas dari badan. Cukup mendiang Gus Dur yang dilengserkan. Dan jangan sampai itu terulang. Sebab kita adalah darah muda yang pantang kembali pulang sebelum kita yang menang.

Penulis; Imam Mudofar, Kasatkorcab Banser Kab. Tasikmalaya.