Agama, Pancasila dan Sains Modern

240

Agama, Pancasila dan Sains Modern

Oleh Salehudin Fauzy
(Mahasiswa Program pascasarjana Linguistik FIB Unpad)

sejenak kita luangkan waktu untuk mencoba berfikir bagaimana relavansi antara agama disatu sisi khusus Agama Islam yang menjadi agama publik dominan di Indonesia, kemudian Pancasila yang merupakan payung atau landasan hidup bernegara, dan yang terakhir fenomena Sains modern yang bergerak cepat melewati atau melampaui ruang-ruang kebudayan serta nilai.
Melihat sejarah bergerak, sampai hari ini Konflik intelektual atau mungkin konflik yang lebih parah antara agama dan sains tidak pernah selesai, termasuk disini Ideologi sebagai payung bernegaranya, walaupun dalam berbagai kasus dan konteks posisi agama juga berada diruang yang sama dengan Ideoligi kekuasaan. Namun dalam konteks Indonesia berarti ada hubungan relasional antar atribut-atribut kebudayaan tersebut dan menjelma menjadi Pancasila.
Tanpa mencoba menegasi atau mengasingkan diskursus agama “Islam” dengan Nasionalisme atau Pancasila, namun kami mencoba mencari alternatif wacana ditengah kebuntuan dan kejenuhan narasi pancasila dan agama terlebih, kedua entitas tersebut sarat digunakan dalam kontestasi perebutan kekuasaan seperti, siapa yang paling pancasila, “NKRI Bersyariah”, pembubaran HTI dll.
Prof. Frans Budi Hardjiman dan Prof. Luthfi Assyaukanie dalam kajian titik temu menyoal masa depan Eropa (Chanel YouTube Caknur Society:2017), memaparkan bahwa Eropa (barat dan tengah) yang terbiasa dengan tradiai berfikir rasional Ilmiah, serta akrab dengan kemajuan teknologi, bisa dikatakan kewalahan menghadapi fwnomena-fenomena sosial kebudayaan sebagai akibat dari glibalisasi tersebut, isu imigran/pengungsi asing, globalisasi Teror, ataupun mencuatnya gerakan populisme” kanan Jauh”. Tanpa mencoba menggeneralisir fenomena tersebut sebagai akibat negatif dari kemajuan teknologi yang begitu pesat, namun kondisi tersebut merupakan dinamika Integral antara Sains Modern, demokrasi kapitalistik, serta tradisi sekularisme yg berkembang di Eropa tersebut.
Bagaimana dengan kondisi di Indonesia dengan Weltanschauung dan Zeitgeist yang berbeda dengan Eropa sebagaimana penulis paparkan diatas?
Sebelum jauh kita beraentuhan dengan permasalahan-permasalahan brau ala Eropa dengan mencari akar persamaan nya di Indonesia, kita tentu me lihat dan alami bersama, daya konsumsi warga Indonesia sungguh jauh melampaui produktifitasnya. Indonesia yang dikenal sebagai salah satu negara yang paling relijius, nampaknya relijiusitas tersebut tak cukup kuat untuk menggedor daya produksi dan etos kerja mereka. Dengan begitu, praktis kaum beragama di Indonesia pada umumnya hanya memuaskan diri berperan menjadi pasar bagi seluruh kegiatan ekonomi; baik itu praktik jual beli secara langsung dan terang-terangan, atau bahkan praktik jual beli yang diselimuti oleh topeng ideologi.

Khusus praktik yang kedua inilah yang begitu memilukan. Sebagai agama mayoritas, Islam beserta seluruh cabang ideologisnya begitu manis dijadikan sebagai bancakan komoditas yang laris dijajakan oleh para kapitalis dan politisi. Sementara itu, pada sisi yang lainnya belum dapat kita lihat gerakan intelektual sains yang signifikan di Indonesia. Kalau pun ada satu atau dua geliat ilmiah di bidang sains dan teknologi, maka lagi-lagi hal itu pun hanya akan menjadi angin lalu di telinga publik. Upaya seperti perakitan mobil Esemka, misalnya, hanya menjadi isu populis yang bergerak sehentak lalu lenyap.

Kombinasi dari beberapa kondisi ini kemudian semakin memantapkan posisi Indonesia di suatu titik yang memerlukan perhatian bersama. Watak bangsa yang begitu konsumtif, daya ilmiah yang sangat kendor, dan agama yang hanya menghiasi tempat ibadah dan pasar simbol, semua hal tersebut hanya akan menegaskan identitas Indonesia sebagai bangsa relijius yang bodoh dan boros. Pertanyaannya, apakah kondisi demikianlah yang dikehendaki oleh Pancasila? Atau bahkan oleh agama?
Terakhir adalah barangakali melihat fenomena permasalahan ini tentu kita sangat jauh dengan apa yang menjadi visi Sains modern dan kebanyakan negara-negara maju alami. Lebih jauh misalkan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Yuval Hararri dalam Homo Deus tentang kondisi-kondisi yang paling memungkinkan terjadi kelak, ketika teknologi dan pemrosesan data benar-benar menguasai dunia. Apa yang akan terjadi pada agama, budaya, politik, ketika algoritma-algoritma non kesadaran yang sangat pintar jauh lebih mengetahui manusia dan kemanusiaannya lebih dari manusia itu sensdiri (Hararri,2018:456).
Tanpa mempertuhankan Sains, Agama, ataupun Ideologi, namun hal-hal tersebut harus saling menafsirkan kembali dirinya masing-masing, sehingga persaingan atau saling sikut antara agama, ideologi, dan sains tidak terjadi lagi dan berjalan bersama.