Abah Sepuh dan Nahdlatul Ulama

4094

Oleh : Ucup Pathudin Al Maarif
(Pengurus Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama Jawa Barat)

Mungkin bagi sebagian Nahdliyyin terasa asing, siapa Abah Sepuh? Abah Sepuh adalah nama populis dari Syaikh Abdulloh Mubarok bin Nur Muhammad. Pendiri Pondok Pesantren Suryalaya Tasikmalaya, sekaligus Mursyid Thoriqoh Qodiriyyah Naqsyabandiyyah Pondok Pesantren Suryalaya (TQN PP. Suryalaya) silsiah ke-36 dari jalur Syaikh Tolhah bin Tholabuddin Kalisapu-Cirebon.

Tulisan ini tidak bermaksud menghubungpaksakan antara Abah Sepuh dengan Nahdlatul Ulama (NU). Karena, sejauh pengetahuan penulis, tidak ada catatan khusus mengenai persinggungan langsung antara Abah Sepuh dengan NU. Namun, jika dirunut lebih apik, para muassis (founding fathers) NU dan Abah Sepuh akan bertemu pada satu sosok ulama yang menjadi legenda Nusantara, yaitu Syaikh Kholil Bangkalan. Abah Sepuh pernah disuruh menemui beliau, oleh gurunya Syaikh Tholhah, untuk tabarruk dan mengambil ijâzah Shalawat Bani Hasyim, yang menjadi icon dalam TQN PP. Suryalaya. Tulisan ini hanya ingin melihat, ada kesebangunan visi Abah Sepuh dengan NU. Terutama dalam memelihara pola hubungan Agama dan Negara.

Kesebangunan Trilogi Ukhuwwah dan Tanbih

Secara jam’iyyah, melalui Munas Alim Ulama NU ahun 1987 di Cilacap, NU telah menetapkan tiga pola hubungan. Antara lain; ukhuwwah islâmiyyah [persaudaraan Islam], ukhuwwah wathaniyyah [persaudaraan kebangsaan], dan ukhuwwah basyariyyah [persaudaaraan kemanusiaan]. Ketiga rumusan ini, sesungguhnya adalah gagasan genuine dari Rais ‘Am Syuriyah PBNU saat itu, KH. Achmad Siqqiq, yang disampaikan dalam Khutbah Iftitah, sebagai penanda dimulainya musyawarah.

Ketiga pola hubungan ini, dikuatkan lagi dalam Muktamar NU Ke-29 Tahun 1994 di Cipasung. Hasil Muktamar Cipasung ini menegaskan pertama, persaudaraan sesama muslim [ukhuwwah islâmiyyah] baik dalam konteks nasional maupun internasional, ditumbuhkembangkan berdasarkan persamaan akidah, yang kemudian menyangkut seluruh aspek kehidupan, baik ‘ibâdah, mu’âmalah, munâkahat, dan mu’âsyarah dalam mewujudkan persaudaraan hakiki.

Kedua, persaudaraan berdasarkan pertimbangan ikatan kebangsaan dan kenegaraan [ukhuwwah wathaniyyah]. Hubungan ini menyangkut berbagai hal yang bersifat mu’amalah, di mana semua warga Negara memiliki kesamaan derajat dan kesamaan tanggung jawab, untuk mengupayakan kesejahteraan dalam kehidupan bersama antarkomponen bangsa.
Ketiga, pola hubungan atas dasar kemanusiaan [ukhuwwah basyariyyah]. Tata hubungan ini bersifat universal, menyangkut dan meliputi hal-hal yang berhubungan dengan martabat kemanusiaan secara umum.

Ada hal yang menarik untuk diperhatikan dari hasil Mukatamar Cipasung. Yakni, tentang operasionalisasi ukhuwwah islâmiyyah dan ukhuwwah wathaniyyah. Muktamar mengamanatkan, agar keduanya dilaksanakan secara seksama dan penuh kearifan. Karena keduanya meniscayakan pola hubungan yang simbiosis mutualisma. Oleh sebab itu, mempertentangkan keduanya adalah hal yang kontraproduktif dengan keberlangsungan kehidupan umat Islam di Indonesia dan kehidupan berbangsa.
Untuk hal yang disebut terakhir, Muktamar Cipasung mengamanatkan empat sikap NU terkait ukhuwwah islâmiyyah dan ukhuwwah wathaniyyah. Pertama, akomodatif; kedua, selektif; ketiga, integratif; dan keempat, kooperatif.

Beberapa hal yang disebut terakhir, sebangun dengan pesan moral dalam Tanbih Abah Sepuh. Tanbih ini, sederhanya, adalah wasiat Abah Sepuh kepada murid-muridnya. Pentingnya pola hubungan keagamaan dan kenegarabangsaan disebut secara eksplisit sebanyak tujuh kali, secara berdampingan, dalam naskah Tanbih.

Pertama, dalam paragraf ketiga disebut sekali.

“Jeungna sim kuring anu jadi pananyaan Thoriqot Qodiriyyah Naqsyabandiyyah Pondok Pasantren Suryalaya, ngahaturkeun kagegelan, wasiat ka sadaya murid-murid, poma sing hade-hade dina laku lampah, ulah aya carekeun AGAMA jeung NAGARA

(Pun kami tempat orang bertanya tentang Thoriqot Qodiriyyah Naqsyabandiyyah Pondok Pesantren Suryalaya, menghaturkan dengan tulus ikhlas, wasiat kepada segenap murid-murid, berhati-hailah dalam segala hal, jangan sampai berbuat yang bertentangan dengan AGAMA dan NEGARA”).

Kedua, disebut dua kali dalam paragraf keempat.

Eta dua-duanan, kawulaan sapantesna, samistina kudu kitu manusa anu tetep cicing dina kaimanan. Tegesna tiasa ngawujudkeun karumasaan terhadep AGAMA jeung NAGARA, taat ka Hadlirat Ilahi, nu ngabuktikeun parentah dina AGAMA jeung NAGARA [Taatilah keduanya tadi sepantasnya, demikianlah sikap manusia yang tetap dalam keimanan, tegasnya dapat mewujudkan kerelaan terhadap AGAMA dan NEGARA, taat kepada Hadlirat Ilahi yang membuktikan perintah dalam AGAMA dan NEGARA]”.

Ketiga, dalam paragraf kelima disebut sekali.

“Inget sakabeh murid-murid, ulah kabaud ku pangwujuk nafsu, kagendam ku panggoda syetan, sina awas kana jalan anu matak mengparkeun kana parentah AGAMA jeung NAGARA, sina telik kana diri, bisi katarik ku Iblis anu nyelipkeun diri dina batin urang sarerea [Insyafilah hai murid-murid sekalian, janganlah terpaut oleh bujukan nafsu, terpedaya oleh godaan syetan, waspadalah akan jalan penyelewengan terhadap perintah AGAMA dan NEGARA, agar dapat meneliti diri, kalau-kalau tertarik oleh bisikan Iblis yang selalu menyelinap dalam hati sanubari kita]”.

Keempat, dalam paragraf keenam poin kedua, disebut sekali.
“Kadua, ka sasama tegesna ka papantaran urang dina sagala-galana, ulah rek pasea. Sabalikna kudu rendah babarengan dina enggoning ngalakukeun parentah AGAMA jeung NAGARA. Ulah jadi pacogregan pacengkadan, bisi kaasup kana pangandika adzâbun alîm, anu hartina jadi pilara salawasna, ti dunya nepi ka akherat (badan payah ati susah)
[Kedua, terhadap sesama yang sederajat dengan kita dalam segala-galanya, jangan sampai terjadi pesengetaan, sebaliknya harus bersikap rendah hati, bergotong royong dalam melaksanakan perintah AGAMA dan NEGARA, jangan sampai terjadi perselisihan dan persengketaan, kalau-kalau kita terkena firman-Nya adzâbun alîm, yang berarti duka nestapa untuk selama-lamanya dari dunia sampai akhirat (badan payah, hati susah)].

Kelima, disebut dua kali dalam paragraf kedelapan, ketika menafsirkan Surat Al-Ma’idah ayat 2.

“Kudu silih tulungan jeung batur-batur dina enggoning kahadean jeung kataqwaan terhadep AGAMA jeung NAGARA, sososn-soson ngalampahkeunana. Sabalikna ulah silih tulungan kana jalan perdosaan jeung permusuhan terhadep parentah AGAMA jeung NAGARA [Hendaklah tolong-menolong dengan sesama dalam melaksanakan kebajikan dan ketaqwaan terhadap AGAMA dan NEGARA, sebaliknya janganlah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan terhadap AGAMA dan NEGARA].

Inilah, sekali lagi yang dimaksud kesebangunan visi antara Abah Sepuh dan NU. Komitmen keduanya untuk memelihara hubungan harmonis antara AGAMA dan NEGARA telah dibuktikan dalam catatan perjalanan sejarah. Bahkan, misalnya, ketika menyikapi aksi-aksi bela Islam yang belakangan “ngetop” di Tanah Air tercinta ini. NU secara jam’iyyah melarang warganya untuk ikut aksi. Meskipun pada kenyataannya, banyak warga Nahdliyyin akar rumput tetap terlibat dalam aksi tersebut.

Demikian pula dengan ikhwan pengamal TQN PP. Suryalaya. Melalui maklumat Guru Mursyid Silsilah Ke-38, Abah Aos [Syaikh Muhammad Abdul Ghaos Saefullah Maslul Al-Qodiri An-Naqsyabandi Al-Muttaqi Al-Kamil Al-Muwaffaq Al-Mujaddid Al-Quthb] diinstruksikan untuk menggelar “manaqiban” bersamaan dengan aksi-aksi dimaksud. Meskipun bisa ditebak, ada saja yang melibatan diri dalam aksi tersebut.

Pilihan keduanya, baik NU maupun murid-murid Abah Sepuh dalam menyikapi aksi-aksi tadi, bukan tanpa keberpihakan terhadap Al-Quran atau Islam, sebagai jargon yang diusung dalam aksi-aksi tersebut. Tetapi, hanya persoalan pada cara yang dipilih yang berbeda. Karena, keduanya waspada permana tinggal, akan pesan dan perjuangan kesejarahan yang selalu terpelihara dari masa ke masa.

Sampai hari ini, NU selalu lantang meneriakkan pekik “NKRI Harga Mati”. Karena NU sadar sejarah. Bahkan mengutip—jika tidak salah—Gus Mus, NU tidak merasa hina jika disebut satpam-nya NKRI. “Karena kita adalah Orang Indonesia yang beragama Islam, bukan sekedar orang Islam yang kebetulan tinggal di Indonesia”. Demikian Gus Mus. Jauh hari di tahun 1926, ketika NU baru lahir, KH. Wahab Chasbullah menegaskan: “Kemerdekaan Indonesia tentu merupakan tujuan nomor satu berdirinya NU. Umat Islam menuju ke jalan itu. Umat Islam tidak akan leluasa bergerak sebelum Negara merdeka”. Termasuk merdeka dari cara-cara yang mencoba mengkonfrontasikan relasi Agama dan Negara, tentunya.

Pun demikian dengan TQN PP. Suryalaya. Sepeninggal Abah Sepuh dan Abah Anom hari ini, melalui Abah Aos, mursyid sisilah ke-38, tanpa henti menyuarakan repeatation [baca:pengulangan] hal yang sama. Tagline yang menjadi pembuka majelis-majelis “manaqiban” adalah untuk tujuan Ketahanan Nasional NKRI, Kejayaan Agama dan Negara, serta Peradaban Dunia. Karena peradaban tidak akan pernah tegak berdiri, ketika seseorang berlaku biadab dengan selalu mempertentangkan agama dan Negara.

“Peradaban dimulai dengan menjadi orang yang beradab, yakni orang yang selalu eling”
Tegas Abah Aos. Eling kepada Alloh, dan eling terhadap sejarah hidupnya sebagai bagian dari komponen bangsa.

Wallahu a’lam bi al-shawâb wa al-khatha.
Gang Siliwangi II, 23 Maret 2017 pukul 01.44