UNDANG-UNDANG TENTANG PESANTREN DAN TANTANGAN DEKADENSI STANDAR MUTU

369

Oleh : M. Luthfi Thomafi

Ketua PP. GP. Ansor  – Pengasuh Ponpes Al-Hamidiyyah Lasem Rembang Dosen STAI Al-Anwar Sarang Rembang

DUA LEMBAGA pendidikan tertua di Nusantara yang hingga sekarang masih eksis adalah Pondok Pesantren dan Madrasah. Keduanya lahir seiring berkembangnya Islam di Nusantara, dan mengalami progres dengan berbagai sebutan dan karakteristik di masing-masing daerah, mulai Aceh, Jawa hingga Ternate. Selama itu pula, Pondok Pesantren dan Madrasah bersifat mandiri di berbagai bidang, dan terutama kurikulum. Kurikulumnya lebih banyak memuat materi keagamaan, baik inti maupun penunjang. Inilah model pendidikan produk Nusantara yang paling original. Secara konten, keduanya memiliki standar kurikulum yang sama, sedangkan yang membedakan adalah Pondok Pesantren memiliki unsur Asrama yang tidak ada pada Madrasah.

Fakta dalam kehidupan hingga kini, model Pondok Pesantren dan Madrasah tidak diakui oleh negara. Pondok Pesantren sempat disinggung di dalam UU Sistem Pendidikan Nasional, tetapi itu seperti basa-basi belaka. Sedangkan Madrasah memiliki nasib berbeda : negara memunculkan definisi-definisi dalam berbagai regulasi. Diawali dengan Peraturan Menteri Agama (PMA) No 1 Tahun 1946, dilanjutkan PMA No 7 Tahun 1954, lalu PMA No 13 Tahun 1964, hingga Surat Keputusan Bersama (SKB) tahun 1975. Pada PMA No 13 tahun 1964, pemerintah memberikan pengertian Madrasah Diniyah sebagai “Lembaga pendidikan yang memberikan pendidikan dan pengajaran secara klasikal dalam pengetahuan Agama Islam kepada pelajar bersama-sama sedikitnya berjumlah 10 orang atau lebih di antara anak-anak yang berusia 7 sampai dengan 18 tahun”. Pada SKB Tahun 1975, negara merumuskan Madrasah sebagai “Lembaga pendidikan yang menjadikan mata pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran dasar yang diberikan sekurang-kurangnya 30% di samping mata pelajaran umum”. Selanjutnya, konsep versi negara ini menjadi mainstream selama Orde Baru hingga sekarang. Akibat dari kebijakan negara itu, Madrasah kini sudah tidak jenuin lagi.

Undang-Undang tentang Pesantren

Semua berawal dari niat baik penyelenggara negara agar posisi Pondok Pesantren dapat terbaca sebagai bagian dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satu subtansi Undang-Undang (UU) Pesantren, lebih fokus pada pengakuan negara terhadap eksistensi Pesantren yang selama ini telah mengakar di tengah-tengah masyarakat. Ide dasar UU ini menyebutkan bahwa selama ini negara masih belum memperhatikan eksistensi Pesantren secara penuh, baik dari sisi sarana dan prasarana, pembiayaan maupun tenaga kependidikannya.

Ada empat poin bahan pertimbangan yang dirumuskan oleh pemerintah dalam menyusun Undang-Undang Pesantren. Pertama, bahwa setiap orang bebas memilih pendidikan dan pengajaran dalam satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kedua, bahwa dalam upaya untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia, pesantren yang tumbuh dan berkembang di masyarakat dengan kekhasannya telah berkontribusi penting dalam mewujudkan Islam yang rahmatan lil alamin dengan melahirkan insan beriman yang berkarakter, cinta tanah air dan berkemajuan, serta terbukti memiliki peran nyata baik dalam pergerakan dan perjuangan meraih kemerdekaan maupun pembangunan nasional dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ketiga, bahwa untuk menjamin penyelenggaraan pesantren dalam fungsi pendidikan, fungsi dakwah, dan fungsi pemberdayaan masyarakat, diperlukan pengaturan untuk memberikan rekognisi, afirmasi, dan fasilitasi berdasarkan tradisi dan kekhasannya. Dan keempat, bahwa pengaturan mengenai Pesantren belum optimal mengakomodasi perkembangan, aspirasi, dan kebutuhan hukum masyarakat, serta belum menempatkan pengaturan hukumnya dalam kerangka peraturan perundang-undangan yang terintegrasi dan komprehensif.

Pertimbangan-pertimbangan di atas memang sudah cukup ideal untuk disahkannya Undang-Undang tentang Pesantren. Permasalahannya sekarang terletak bagaimana implementasi Undang-Undang tersebut sehingga peraturan-peraturan turunannya tidak menggerogoti eksistensi Pesantren dengan segala kekhasannya. Di satu sisi, Pondok Pesantren tak boleh menutup mata terhadap perubahan sosial. Sedangkan di sisi lain, Negara harus tetap berkewajiban turut mempertahankan ciri khas Pondok Pesantren : fokus kepada fungsi pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan masyarakat, beserta ragam-ragamnya. Ragam-ragam Pesantren ini perlu digarisbawahi sebab secara faktual Pesantren memiliki barbagai macam ragam. Negara tidak boleh berkreasi dengan membuat aturan yang merusak ekosistem di Pesantren, sebaliknya negara harus punya visi merawat model-model pendidikan paling original ini, terutama kurikulum. Jangan sampai jenuinitas Pesantren dihilangkan oleh regulasi negara seperti yang terjadi pada Madrasah. Dan itulah tantangan segenap penyelenggara Pondok Pesantren.