Ulama Nusantara dalam Revolusi Indonesia 1942-1949.

405

Oleh : H. Didin Misbahudin (Ketua GP Ansor Kuningan)

Tidaklah berlebihan jika saya katakan bahwa, Ulama Nusantara mempunyai andil besar dalam proses terbentuknya NKRI, di samping banyak aktor dan pelaku sejarah yang bukan dari kalangan pesantren. Berjuang menentang kembalinya tentara sekutu (termasuk Belanda) dinyatakan sebagai kewajiban setiap Muslim ( Fardhu ‘ain).

Yang menarik dari peristiwa ini adalah ketika Ir. Sukarno menghadap kepada Hadhrotus Syech KH.Hasyim Asy’ari guna mempertanyakan tentang hukumnya membela tanah air yang diambil dari kitab fiqih klasik Fathul Qarib sebagai landasan perjuangan membela NKRI. Resolusi itu berarti penolakan terhadap kembalinya kekuatan kolonial dan mengakui kekuasaan suatu pemerintah Republik baru yaitu Indonesia.

Berita tentang Resolusi itu menyebar cepat dan menjadi kekuatan bagi perlawanan kalangan pesantren. Pasukan Hizbullah, diikuti oleh pasukan gerilya dan Sabilillah yang baru dibentuk dibawah komando KH. Masykur yang terlibat dalam perang melawan tentara Inggris, dan kemudian Belanda.

Lebih jauh dalam konteks zaman kebangkitan Nasional, Ulama Nusantara lagi-lagi diminta pandangan dan pendapat oleh Perseden Ir. Sukarno terkait kasus Irian Barat pada awal tahun 1960-an. Setelah beberapa kali diadakan perundingan namun hasilnya selalu gagal selalu gagal, Ir. Sukarno menghubungi KH. Wahab Chasbullah di Jombang. Bung Karno menanyakan bagaimana hukumnya orang-orang Belanda yang masih bercokol di Irian Barat. KH. Wahab Chasbullah menjawab dengan tegas, “Hukumnya sama dengan Ghashab” (Literatur Kitab Fathul Qarib dan Syarahnya Al-Baijuri)

Sepertinya dari beberapa uraian di atas dengan berbagai permasalah yang muncul di tengah-tengah bangsa Indonesia pada masa pra-kemerdekaan dan pasca kemerdekaan peran Ulama Nusantara selalu hadir dan menjadi rujukan dalam setiap ruang dan waktu. Maka jika kita membicarakan NKRI tanpa menghadirkan tokoh-tokoh pesantren dalam ” perbincangan” adalah ahistoris. Karenanya di sini kita tegaskan perlunya berpikir historis. Berpikir ahistoris mempunyai satu konsekuensi: yaitu kegagalan melihat yang nyata.

Maka berpikir historis wajib dibudayakan karena melalui dialog historis kita akan mampu mencapai tingkat kedewasaan secara intelektual dan emosional dalam tempo yang tidak terlalu lama.