Tolak Beri Bantuan Ongkos Untuk Penerima Beasiswa, Bupati dan Gubernur yang Sebelas Dua Belas

75

Oleh Agus Sanusi

Ketika pertama mendapatkan link berita tentang seorang calon mahasiswa yang mendapat beasiswa ke Tunisia dan meminta bantuan ongkos, namun ditolak baik oleh pemkab purwakarta maupun pemprov jawa barat saya cek aplikasi traveloka. Ingin tahu kira-kita berapakah ongkos yang diperlukan jawabannya untuk tiket ekonomi sekitar 15-20an juta rupiah. Jauh lebih kecil dari anggaran dialog-dialog publik di APBD yang rata-rata dipatok sekitar 100 jutaan dengan faedah yang tidak seberapa karena isinya itu-itu juga.

Okelah pos anggarannya saat ini tidak ada. Bukankah baik Bupati maupun Gubernur punya dana operasional yang dipatok sekian persen dari pendapatan asli daerah ? Dalam situasi seperti ini saya kira itu bisa digunakan. Jika pun itu sulit bukankah bupati dan gubernur beserta perangkatnya cukup punya jaringan dan kekuasaan untuk meminta bantuan donatur misal. Telepon kring kring. Oke selesai. Kegaduhan ini tak perlu ada

Jawaban tentu saja karena banalitas birokratis dan tumpulnya moralitas para pemimpin kita, keduanya pun baik bupati maupun gubernur sebelas duabelas. Toh katanya sebelum bicara nominal Nata Sutisna sudah terlebih dahulu ditolak. Padahal pemerintah semestinya hadir dengan “good will” dan mencari solusi untuk permasalahan warga masyarakatnya. Disanalah negara hadir dan dirasakan masyarakat

Ini ironis sebab ditengah target pembangunan Sumber Daya Manusia Indonesia yang unggul. Seorang calon Mahasiwa berprestasi asal Indonesia yang mendapatkan beasiswa full dari Perguruan Tinggi Tunisia Institut Superieur de le Civilisation Islamique de Tunis jurusan Fikih dan Ushul Fikih. Ditolak untuk mencari bantuan bagi studinya tersebut dan terancam gagal

Apalagi di Jawa Barat konon Gubernur membentuk Tim Akselerasi Pembangunan. Isinya orang-orang hebat dimulai akademisi, ekonom dan para ahli dibidangnya. Dan Ridwan Kamil sendiri pernah kuliah diluar negeri semestinya ia lebih empatik serta merespon dengan cepat sebagaimana program Jabar Quick Response yang digadang gadangkan itu

Nata Sutisna barangkali yang pertama. Sangat mungkin setelah kabarnya viral mereka akan sibuk dan menunjukan kepedulian dengan berbagai ungkapannya. Meskipun bisa jadi tidak. Namun kita tak ingin kelak ada nata-nata lain yang mendapatkan penolakan serupa

Pemerintah baik kabupaten maupun provinsi harus responsif bukan sekedar menjalankan tugas dan fungsi birokratis serta mengukur keberhasilan dengan angka untuk mendapatkan penghargaan. Melainkan hadir untuk melayani dan mencari solusi dari permasalahan masyarakat. Mental birokrat itu yang harus dirubah sehingga menjadi problem solver. Masyarakat itu manusia kongkrit bukan data dan angka apalagi foto selfie yang serba artifisial