Teladan Kyai Abbas, Ulama Sakti Pembela Negeri

1693

Kiai Abbas merupakan sosok yang cukup disegani pada masa revolusi kemerdekaan. Lahir di Pekalangan Cirebon pada 25 Oktober 1879 (24 Dzulhijjah 1300 H), dalam darahnya telah mengalir semangat perjuangan dan rasa cinta tanah air. Ia adalah putra sulung dari KH.Abdul Jamil bin KH.Mutaad yang tak lain adalah menantu dari pendiri Pesantren Buntet, yaitu Mbah Muqoyyim. Dulunya, Mbah Muqoyyim adalah salah seorang mufti agama di Kesultanan Cirebon pada masa Sultan Khairudin I. Jabatan terhormat yang Ia emban ditinggalkan sebagai sikap non-cooperative terhadap penjajahan Belanda yang secara politik telah menguasai Kesultanan Cirebon.

Berbicara pesantren Buntet, pada hakikatnya merupakan cerita tentang sejarah panjang perlawanan rakyat terhadap penjajah yang dipimpin para ulama. Sejak era Mbah Muqoyyim, KH. Muta’ad, KH. Abdul Jamil sampai KH.Abbas, Pesantren Buntet menjadi sentra gerakan perlawanan terhadap kesewenang-wenangan penjajah Belanda. Diceritakan oleh KH.Abdullah Abbas, putra KH.Abbas, hampir setiap hari penjajah Belanda melakukan patroli ke daerah pesantren. Hingga suasana pesantren selalu mencekam. Namun, kondisi demikian tidak menyurutkan para santri untuk belajar mengaji.

Selain sebagai pusat penyebaran Islam, Pesantren Buntet juga menjadi kawah candradimuka pesemaian dan penggemblengan kader-kader pejuang bangsa anti penjajah. Laskar Hizbullah dan Sabilillah, dua organisasi perjuangan   ummat Islam pada zaman revolusi, salah satu basis utamanya di pesantren ini. Tidaklah mengherankan, dari tempat ini lahir tokoh-tokoh ulama yang memimpin laskar-laskar santri yang gigih dalam medan pertempuran. Pada masa revolusi kemerdekaan, pasukan Sabilillah dipimpin langsung KH Abbas dan adiknya KH.Annas dibantu ulama Buntet lainnya seperti KH Murtadlo, KH.Mujahid, dan KH.Sholeh. Sementara dikalangan basis Hizbulloh (pejuang islam kalangan muda), tokoh menonjol dari Cirebon adalah KH Abdullah Abbas dan KH.Hasyim Anwar.

 

Seorang Santri Kelana

Kiai Abbas merupakan seorang santri kelana. Dalam tradisi pesantren, santri kelana ini dikenal sejak lama. Untuk memperdalam keilmuan dan wawasan keagamannya, seorang santri berpindah dari satu pesantren ke pesantren lainnya sesuai dengan specialisasi ilmu yang dimiliki seorang kiai.

Setelah dirasa cukup dengan dasar-dasar agama yang didapatkan dari ayahnya KH.Abdul Jamil, Abbas muda kemudian pindah belajar kepada Kiai Nasuha, Sukansari Plered Cirebon, lalu pindah ke sebuah pesantren salaf di Jatisari yang diasuh oleh Kiai Hasan. Kemudian, untuk memperdalam ilmu tauhid, Ia belajar di pondok pesantren Giren Tegal, Jawa Tengah dibawah bimbingan Kiai Ubaidillah.

Selanjutnya, pengembaraan ilmu Abbas muda singgah di Tanah Jawa pada sebuah pesantren yang mulai kondang saat itu yakni Pesantren Tebuireng Jombang, Jawa Timur. Sebuah pesantren yang dipimpin Hadratu Syekh KH.Hasyim Asy’ari, tokoh kharismatik yang kemudian mendirikan Nahdlatul Ulama (NU). Beliau merupakan angkatan pertama santri Tebuireng bersama KH.Wahab Hasbullah dan KH. Abdullah Manaf. Bersama keduanya, KH. Abbas turut serta mendirikan Pesantren Lirboyo, Kediri Jawa Timur.

Sejak abad 17,  dikenal fenomena santri tanah Jawi (Indonesia) di negeri Hijaz yang oleh Azyumardi Azra disebut sebagai Jaringan Ulama Haramayn. Oleh para sejarawan dan akademisi, periode  ini dipandang sebagai periode dinamis dalam sejarah sosial-intelektual di Nusantara, yakni terjalinnya hubungan dan transmisi pengetahuan keislaman dari “pusat utama Islam”  (Makkah-Madinah) ke berbagai belahan dunia muslim termasuk Nusantara, yang membentuk semacam jaringan intelektual (Intelectual Network). Banyak tokoh ulama yang disebut, sejak Syekh Nuruddin Arraniri (W.1658 M) sebagai generasi awal, berikut generasi selanjutnya ada nama Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Saleh Darat al-Samarangi, Syekh Muhammad Mahfudz al-Turmusi, Syekh Hasan Mustafa al-Bandungi, dll.

Jejak ini nampaknya menginspirasi pula Kiai Abbas. Setelah dari Tebuireng, sebagaimana gurunya KH.Hasyim Asy’ari, Kiai Abbas melanjutkan perjalanan ilmiah dan spritualnya dengan berangkat ke tanah suci Makkah sekaligus untuk menunaikan ibadah haji. Disana, ia berguru kepada ulama Nusantara yang sangat terkenal saat itu, yakni Syekh Machfudz al-Turmusi, putra dari Kiai Abdullah pengasuh pesantren Termas, Pacitan. Syekh Machfudz al-Turmusi dikenal kedalaman pengetahuannya, terutama dalam ilmu hadist.

Di Makkah, Ia bertemu kembali dengan KH. Wahab Hasbullah yang ternyata sama-sama berguru kepada Syekh Mahfud. Karena dipandang cakap dan cerdas, di Makkah KH. Abbas ditugaskan oleh gurunya untuk mengajar ilmu agama terutama ilmu Fiqh. Diantara santrinya dari Indonesia adalah Kiai Cholil Balerante dan Kiai sulaeman Babakan Ciwaringin.

Ulama Sakti

Selain kedalaman ilmu agamanya, Kiai Abbas dikenal seantero tanah Jawa sebagai seorang pendekar karena kedigdayaan dan kesaktiannya. Kesaktian Kiai Abbas ini sejak awal diketahui oleh Hadlratusyekh KH. Hasyim Asy’ari. Diceritakan sekitar tahun 1900-an pada awal pendirian Pesantren Tebu Ireng, Kiai Abbas diminta bantuan oleh Kiai Hasyim untuk melindungi pesantrennya dari berbagai gangguan para bromocorah dan begal yang didukung Belanda serta Penguasa pabrik gula cukir. Maka, berangkatlah Kiai Abbas bersama Kiai Sholeh Zam zam Bendakerep, Kiai Abdullah Pengurangan dan Kiai Syamsuri Wanantara. Berkat pertolongan Alloh, berbagai gangguan yang menimpa pesantren Tebuireung ini akhirnya teratasi.

Disaat usianya memasuki masa senja, Kiai Abbas lebih berkonsentrasi melakukan dakwah ditengah masyarakat juga mengembleng ilmu kanuragan kepada santri dan masyarakat. Mendidik para santri dan masyarakat dengan ilmu beladiri saat itu dipandang Kiai Abbas sebagai kebutuhan mendesak sebagai bekal melakukan perlawanan atas kesewenang-wenangan para penjajah. Untuk membimbing pengajian kitab kuning kepada ribun santrinya diserahkan kepada dua adiknya, Kiai Anas dan Kiai Akyas.

Tidaklah mengherankan disaat menjelang meletusnya peperangan heroik tanggal 10 November 1945 di Surabaya, setelah keluar fatwa resolusi jihad Hadlratusyekh KH.Hasyim Asy’ari, panglima tertinggi laskar Hizbullah sekaligus Rois Akbar Nahdlatul Ulama (NU) ini memerintahkan para pemimpin laskar santri dan rakyat – termasuk kepada aktor menonjol saat itu yakni Bung Tomo – untuk menunggu dulu singa dari Jawa Barat. Tiada lain singa Jawa Barat yang dimaksud ini adalah Kiai Abbas. Melalui musyawarah dan restu Hadlratu Syekh, Kiai Abbas ditunjuk menjadi komandan perang suci tersebut.

Fatwa Resolusi Jihad tentang kewajiban ummat Islam menentang penjajah yang dikumandangkan Hadlratusyekh KH.Hasyim Asy’ari dalam rapat konsul NU se Jawa Madura pada tanggal 22 Oktober 1945 di kantor NU Bubutan Surabaya menjadi titik tolak terpenting yang tidak bisa dipisahkan meletusnya perang heroik di Surabaya. Himbauan itu telah mendidihkan semangat juang laskar-laskar santri dari berbagai penjuru tanah Jawa berbondong-bondong membantu arek-arek Suroboyo.

Syahdan, setibanya di Surabaya Kiai Abbas disambut takbir dan pekik merdeka. Pasukan ulama, santri dan rakyat bahu membahu melancarkan perlawanan kepada tentara Inggris bersenjatakan lengkap dan modern. Konon, Meletusnya peperangan akibat tewasnya Brigadir Jenderal AWS Mallaby sebagai panglima militer itu memicu pasukan Inggris mengerahkan pasukan inti militernya, baik dari darat, udara maupun laut, yang merupakan pengerahan terbesarnya pasca perang dunia ke II.

Secara matematis dengan perbandingan kekuatan senjata tentara kolonial Inggris yang lengkap akan dengan dengan mudah menyapu bersih laskar pejuang santri-rakyat yang bermodalkan senjata seadanya. Namun tidak demikian yang terjadi. Kiai Abbas sebagai komandan perang sadar dengan kelengkapan tempur pasukan yang ada. Tiada jalan lain, kecuali memohon pertolongan kepada Alloh. Kepada Kiai Ahmad Tamin yang menjadi pengawalnya, Kiai Abbas memerintahkan untuk berdoa ditepi kolam. Kepada Kiai Bisri Syamsuri, Kiai Abbas meminta agar memerintahkan para laskar santri dan pemuda yang akan berjuang untuk mengambil air wuldu dan meminum air yang yang telah didoai.

Diceritakan oleh seorang santri Rembang pengawal Kiai Bisri Syamsuri yang turut serta ke Surabaya saat itu, ditengah berkecamuknya peperangan Kiai Abbas yang mengenakan alas kaki bakiak berdiri tegak dihalaman masjid sambil menengadahkan tangan ke langit. Disaat itulah terjadi peristiwa luar biasa yang menunjukan karomah Kiai Abbas. Beribu-ribu alu (penumbuk padi) dan lesung (tempat menumbuk padi) dari rumah-rumah rakyat berhamburan menerjang para tentara sekutu. Suaranya bergemuruh seperti air bah. Sehingga bala tentara sekutu mundur kocar kacir kembali ke kapal induk.

Kiai Abbas wafat pada hari ahad setelah subuh, 1 Rabiul Awal 1365 H atau 1946 M. Wafatnya Kiai Abbas dikarenakan serangan jantung, setelah kecewa dengan adanya perjanjian Linggarjati yang dilakukan pemerintah dan Belanda. Hasil perjanjian yang lebih merugikan Indonesia, membuat Kiai Abbas yang menjadi salah pemimpin pasukan perang di medan pertempuran menjadi sangat terpukul.

Pertempuran Surabaya pada 10 November 1945 di Surabaya merupakan bagian dari penggalan sejarah saksi utama kecintaan Kiai Abbas terhadap republik ini. Bersama pasukan laskar santri, Kiai pejuang dari Pesantren Buntet Cirebon ini telah mencurahkan segenap nafas kehidupannya untuk menegakkan kehormatan dan martabat sebuah bangsa. Epos kepahlawanan yang tidak akan pernah redup. (Disarikan dari berbagai seumber oleh Edi Rusyandi).