Tasikmalaya Barometer Politik Islam Di Indonesia

690

TASIKMALAYA,- Ada apa dengan Tasikmalaya sampai Kapolri, Jenderal Polisi Tito Karnavian dan Koordinator GNPF-MUI, Habib Rizieq datang ke Tasikmalaya. Apakah saling meredam, atau saling membangkitkan agar massa aksi dari Tasikmalaya tidak ke Jakarta atau harus ke Jakarta mengikuti aksi bela Islam III ?.

Bagaimana Peran Pesantren di Tasikmalaya menyikapi Penistaan Alqur’an oleh Gubernur DKI “non aktif”, Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok, yang direaksi Umat Islam yang sudah menjurus ke Gerakan Radikalisme Agama di Indonesia.

Mengkaji hal itu, Lembaga Batsul Masail (LBM) NU Kota Tasikmalaya, menggelar Halaqah Pesantren dengan Tema Peranan Pesantren Dalam Menangkal Radikalisme Agama yang dimoderatori langsung Ketua LBM PCNU Kota Tasikmalaya, Acep Zoni Mubaroq di Ponpes Bustanul Ulum Sumelap Tamansari, Kamis (1/12/2016).

Lembaga Kajian Kegamaannya NU ini ingin mengetahui penyebab serta sejauh mana reaksi masyarakat Tasikmalaya yang diakui atau tidak sampai ribuan orang berangkat ke Jakarta, serta untuk memastikan agar dinamika Islam politik di Tasikmalaya berjalan sesuai dengan kerangka hukum dan demokrasi. Meski sangat sulit, tetapi mau tak mau harus dilakukan demi Keislaman dan Kebangsaan yang lebih menghormati martabat kemanusiaan.

LBM pun menghadirikan Peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Amin Mudzakir yang baru merampungkan hasil penelitiannya tentang Studi Toleransi Dan Radikalisme Keagamaan Di Indonesia dengan mengambil contoh di empat daerah yang salah satunya Tasikmalaya.

Termasuk menghadirkan perwakilan dari Kepolisian Resort Tasikmalaya Kota, Kasat Intelkam, AKP Dikdik, Penghubung Perwira Kodim 0612, Mayor (Inf) Iwan Suanto dan Kepala Kemenag Kota Tasikmalaya, Munadi.

Menurut Amin, Tasikmalaya memang barometernya Indonesia untuk melihat Islam Politik di Indonesia. Tasik aman, Indonesia aman. Ketika reaksi kasus Ahok meningkat, Kapolri pun memilih Tasikmalaya. Kemudian Imam Besar FPI yang menjadi Koordinator Aksi Bela Islam, Habib Rizieq pun ke Tasikmalaya.

“Kenapa Tasik Begitu Penting ?,”. Karena, ujar Amin, sejarah Tasikmalaya tidak akan lepas dari mimpi politik berdirinya Negara Islam. Mimpi yang terpelihara di Tasikmalaya meski ditataran atas sudah memudar akibat represifitas Pemerintah.

Tahun 1950-an, Tasikmalaya adalah basisnya Masyumi dan Darul Islam (DI). Masyumi bergerak secara konstitusional di jalur formal, sampai memenangkan Pemilu 1955, dan  pemilihan  lokal  1957. Cita-cita politik Masyumi, negara Islam tadi. Adapun DI/TII lebih  memilih pertempuran bersenjata. Meski dibubarkan dan ditumpas di era Soekarno, cita-cita Negara Islam tetap dipandang paling ideal.

Pada masa Orde Baru, kata Amin, kekuatan-kekuatan ekonomi politik Islam dikendalikan secara ketat oleh pemerintah. Seperti juga di tempat lain, Golkar memenangkan pemilu secara  berturut-turut,  meski  di  daerah  kota  PPP  masih  sangat kuat pada  Pemilu  1971 dan 1977. PPP masih mempertahankan dominasinya. Namun sejak para Kyai beralih ke Golkar, kemenangan  partai penguasa Golkar tidak terbendung lagi. Pengaruh militer dalam perpolitikan Tasikmalaya menguat.

“Nah cita-cita ideal itu tetap ada. Maka ketika ada kasus penistaan agama tadi. Tak heran kalau ribuan orang dari Tasikmalaya berbondong-bondong ke Jakarta,” ujarnya, seraya menarik kembali sejarah ke tahun 1920 an bahwa di Tasikmalaya sudah muncul Sarikat Islam (SI), sebelum berdirinya NU, Muhammadiyah, Persis, PUI dan PKI sekalipun. SI memiliki cita-cita sama bagaimana mewujudkan Negara Islam.

Masyumi dan DI/TII memang sudah tidak ada. Namun spirit mendirikan Negara Islam tak pernah mati. Mereka sekarang lebih pada gerakan jalanan, mengedepankan aksi-aksi massa menguasai ruang publik. Mereka tidak percaya hukum Indonesia karena hukum Indonesia “thagut” atau sesuatu hal yang ditaati selain aturan Allah SWT.

Amin pun mengungangkapkan radikalisme tersebut bukan soal agama tapi lebih pada politik yang menggunakan agama untuk meligitmasi radikalisasi gerakan di masyarakat.

“Nah saya melihat NU dalam masalah Ahok ini ingin menunjukkan bahwa NU ada ditengah-tengah. Maka NU lebih pada mendorong radikalisme dalam hukum bukan dalam politik. NU menyerahkan sepenuhnya pada proses hukum Indonesia tanpa harus menggerakan aksi massa karena bagi NU, Indonesia sudah final dengan dasar Pancasila,” ucapnya.

Meski demikian, Ketua PCNU, KH Didi Hudaya mengatakan disatu sisi  bangga karena tersentuh sedikit saja, ghiroh keagamaan Umat Islam begitu cepat. Tapi disisi lain perlu ada hal yang jadi renungan bersama dengan analisa-analisa secara cermat.

Apalagi, ujarnya, hasil survei LAKIP tahun 2010, 48 persen siswa di Jabodetabek setuju aksi radikalisme. Dan 88 persen kenapa menyetujui karena diperintah agama. “Maka setuju. Tanpa memperhatikan mekanisme hukum Indonesia,” ucapnya.

Dan Didi meyakini kalau yang ikut aksi murni tulus ikhlas. Cuma yang menggerakan semoga saja tidak ada agenda apapun menyangkut politik sebagai sasaran antara bukan utama.

“Jadi selama sasaran utama belum tercapai radikalisme akan terus ada yakni mengganti ideologi negara. Maka wajar kalau Kapolri ke Tasikmalaya,” katanya. (jn)