SURAT TERBUKA UNTUK PENGURUS MASJID SE – INDONESIA

519

SURAT TERBUKA UNTUK PENGURUS MASJID SE – INDONESIA

Oleh : H. ABDUL ROFI’ AFANDI *).

Suci dari najis adalah sebuah keharusan yang mutlak diwajibkan bagi setiap orang yang akan menunaikan sholat lima waktu ataupun sholat sunnah lainya. Tapi sayang saat ini banyak Pengurus Masjid (baca: DKM) atau Pengurus Musholla dalam hal menyedikan MCK (kamar mandi, WC dan tempat kencing) lebih mengutamakan gaya agar Masjid/Musholla kelihatan lebih keren, modern dan tidak ketinggalan zaman. Namun sayang kadang pengurus Masjid/Musholla mengabaikan kesucian para jamaahnya dalam urusan bersesuci. Seharusnya Pengurus Masjid/Musholla harus lebih mengutamkan kesucian para jama’ah yang datang ke Masjid/Musholla saat mereka bersesuci selesai buang hajat.

Sebab saat ini kalau kita lihat Masjid/Musholla di kota-kota bahkan di desa-desa hampir sudah menyeluruh tempat air untuk bersesuci yang disediakan hanya menggunakan ember kecil yang kapasitasnya paling hanya 7-10 liter air, jelas air terebut jauh dari kata air 2 Qullah, itupun mending kalau air dari kran/PDAM terus mengalir 24 jam.

Seharusnya tempat air yang disediakan untuk bersesuci (cebok) harus menggunakan bak yang kapasitasnya benar-benar sudah mencapai 2 Qullah. Karena tidak semua para jama’ah yang datang ke Masjid/Musholla mengerti air musta’mal, mengerti air mutanajjis. (versi NU.online air 2 Qullah = 270 liter. Namun versi yang lain ada yang mengatakan bahwa air 2 Qullah = 174,580 liter ada juga yang mengatakan = 176,245 liter atau air 2 Qullah bisa diukur dari bentuk bangunan bak dengan ukuran bangunan 60 cm x 60 cm x 60 cm² ).

Kalaupun tempat air untuk bersesuci menggunakan ember, seharusnya posisi ember harus jauh lebih tinggi dibanding tempat jongkoknya WC, agar aman dari percikan air bekas cebok supaya tidak bisa masuk kembali ke dalam ember, tapi hal itu sangat sulit sekali diwujudkan. Karena justru kebanyakan yang terjadi, posisi ember untuk bersesuci posisinya kadang lebih rendah atau sama rata dengan tempat jongkoknya WC, sudah barang pasti saat bersesuci percikan air bekas cebok akan masuk kembali kedalam ember, maka air yang ada dalam ember menjadi najis (mutanajis) apalagi jika ceboknya sambil berdiri dan ukuran kamar WC sangat kecil sekali, maka percikan air bekas cebok dapat dipastikan 30% akan masuk kembali kedalam ember. Padahal dalam kitab Safinah Sudah diingatkan bahwa air yang kurang dari 2 Qullah apabila kemasukan/kejatuhan najis (seperti percikan air kencing/ air bekas cebok) maka hukumnya menjadi najis, walaupun bau, rasa dan warna air tersebut sama sekali tidak mengalami perubahan.

Maka, ketika jamaah Masjid/Musholla bersesuci dengan cara yang demikian, bukan kesucian yang didapat, tapi justru najis menjalar kemana-mana, keanggota tubuh dan pakaian kita. Terus dalam kondisi membawa najis seperti itu para jamaah Masjid/Musholla menunaikan sholat, bagimana dengan sholat yang mereka kerjakan….? Bukankah salah satu syarat syahnya mengerjakan sholat harus suci dari najis (badan, pakaian dan tempat).

Dan sangat disayangkan, saat ini banyak sekali Masjid di perkotaan, bahkan Masjid di kampung-kampung sudah pada ikut-ikutan tempat kencing pria yang disediakan adalah tempat kencing model masa kini yaitu tempat kencing sambil berdiri (urinoar) seperti di Maal, bioskop, terminal Bus dan tempat umum lainya, ini jelas sangat mengundang kerawanan najis.

Bayangkan, seorang lelaki yang ngempet/kebelet kencing biasanya semprotan pertama air kencing yang dikeluarkan begitu kenceng. Sudah barang pasti kalau kencingnya di urinoar antara selang keluarnya air seni (Ujung dzakar) dengan dingding urinoar yg begitu dekat semprotan/percikan air kencing itu akan berbalik arah dan nempel kemana-mana pada pakaian/celana. Dan saat kencing di urinoar begitu selsai kencing, kita tidak bisa sesuci secara sempurna (dan bisa jadi tidak cebok/ sesuci) karena air yg keluar dari dalam urinoar sangat kecil sekali dan kalaupun ada air yang mengalir dari urinoar sangat sulit untuk bisa diambil dengan telapak tangan karena air itu biasanya menempel di dinding urinoar, terkecuali kalau kita mnyediakan air terlebih dahulu di gayung untuk persiapan sesuci. Tapi hal itu sangat sulit dilakukan karena tidak ada gayung yang dipersiapkan. Begitu selsai kencing di urinoar (dengan sesuci yang tidak sempurna bahkan bisa jadi tidak bersesuci), kemudian seseorang mengambil air wudlu terus masuk ke dalam masjid untuk menunaikan sholat, berarti dia mengerjakan sholat dalam keadaan membawa najis, bagaiman dengan sholat yang mereka kerjakan….??

Dan ironisnya lagi, saat ini sudah jarang pengurus Masjid/Musholla yang menyediakan jeding kobok (kolam kecil yang airnya lebih dari 2 Qullah) yang ada di depan pintu keluar WC/Kamar Mandi untuk cuci kaki para jamaah setelah mereka keluar dari WC/Tempat kencing sebagai langkah antisipasi barangkali para jama’ah saat keluar dari WC/tempat kencing kakinya masih belum bersih dari najis secara sempurna. Kalaupun ada yang menyediakan jeding kobok kadangkala saya lihat sangat kecil sekali dan airnya kurang dari 2 Qullah, jeding kobok yang disedikan cuma sekedar untuk variasi. Hal ini kelihatanya sepele memang, tapi justru manfaatnya sangat besar sekali karena menyangkut kesucian anggota tubuh para jamaah saat menunaikan sholat.

Kalau di tempat-tempat wisata, Mall, bioskop dan tempat umum lainya WC/tempat kencing yang disediakan seperti itu mungkin bisa dimaklumi, barangkali pengelolanya belum pernah ngaji dan tidak mengerti masalah thoharoh/najasah dan mereka para pengunjung yang datang bukan untuk sholat tapi sekedar untuk jalan-jalan atau rekreasi. Tapi kalau untuk Masjid/Musholla dan yang menjadi pengurus sudah punya gelar “Kiyai Haji” gelar akademik depan/belakang kumplit, tapi tempat kencing/WC masjidnya ikut-ikutan dengan yang ada di gedung bioskop/terminal sungguh sangat disayangkan dengan gelar yang dimilikinya .

Maka, lewat surat terbuka ini saya memohon kepada semua pihak yang lagi dipercaya menjadi Pengurus Masjid/Musholla dalam hal menyediakan WC/tempat kencing utamakan kesucian para jama’ah bukan mengutamakan gaya sesuai tuntunan zaman. Karena kesucian para jamaah jauh lebih penting daripada mengutamkan gaya.

Ingat…, Mereka datang ke masjid/Musholla untuk menunaikan ibadah/sholat yang harus suci badan dan pakaianya dari najis, mereka datang ke masjid /musholla bukan mau rekreasi atau numpang selfy.

Wallohu A’lam….
______)*

1. Wakil Ketua LD NU Jawa Barat
2. Chodim Ummul Qurro’ Lemahayu Kertasemaya Indramayu.