Sunan, Wali dan Kedangkalan Berfikir

7729

Oleh: Al-Zastrouw (Budayawan, Dosen Pascasarjana STAINU Jakarta)

Belakangan ini ada beberapa orang yg nyinyir dan sedikit masygul ketika ketua Umum GP Ansor secara bercanda menyebut Basuki Cahaya Purnama sebagai Sunan Kalijodo.

Mereka membikin mame dan status di medsos yg membuly Ansor, seolah Ansor telah mencampur adukkan Islam dengan agama lain karena menyematkan gelar “sunan” pada non muslim, China lagi. Ansor juga dituduh telah menjual agama, menjadi antek kaum kapitalis non-muslim dan berbagai tuduhan keji lainnya.

Lama-lama kok makin geli melihat ulah para kaum Islam Fashion ini (saya menyebut demikian karena kelompok ini hanya menjadikan Islam tak lebih dari fashion, mode, trend. Terlihat gaya dan megah tapi hanya klotokan, tak ada isi, apalagi substansi).

Sikap mereka kontradiktif, emosional dan kekanak-kanakan. Coba bayangkan, selama ini kaum islam fashion inikan tidak pernah mau mengakui gelar-gelar agama yang tidak pake istilah Arab seperti kiai, sunan, ajengan, tengku dan sebutan tradisional lainnya, karena mereka menganggap itu sinkretik dan bid’ah.

Tak ada dlm qur’an dan hadits. Mereka lebih suka dengan sebutan ustadz, ulama”, waliy, dsb, karena dianggap lebih islami

Anehnya, ketika kata “sunan” yg mengandung bid’ah tersebut disematkan pada seseorang yang mereka benci, tiba-tiba mereka bereaksi keras.

Pemberian gelar sunan pada non muslim, seolah-olah merupakan penyimpangan agama dan pelecehan Islam atau mencampur adukkan ajaran Islam. Agar kebodohan seperti ini tidak berlanjut ada baiknya kita memahami makna kata “sunan” supaya tahu penggunaan dan penempatannya secara tepat.

Kata “sunan” berasal dari bahasa Jawa “susuhunan” yang berarti “yang terhormat” atau “yang dimuliakan”. Ada juga yang menyatakan dari bahasa China Jùnnàn (cunan) yg berarti pejabat dari kasta Nan.

Pada masa kerajaan Islam di Jawa kata “Sunan” digunakan sebagai bentuk pemerintahan yang posisinya sama dengan Kesultanan dan dikenal dengan “kasunanan”. Jadi sebenarnya kata “sunan” lebih dekat pada pengertian posisi jabatan daripada posisi keagamaan.

Karena pada saat itu seorang pejabat dianggap sebagai orang yang alim agama maka kata “sunan” akhirnya menjadi berkonotasi agama seperti Sunan Ngudung, Sunan Pandanaran dan semua Walisongo dipanggil dengan sebutan Sunan, karena semua anggota Walisongo adalah pejabat negara Kesultanan Demak.

Oleh orang Jawa, kata “sunan” ini akhirnya digunakan sebagai kata penghormatan untuk menyebut orang-orang yang dianggap terhormat, termasuk para pejabat.

Jelas di sini terlihat bahwa kata “sunan” bukanlah sebutan yang mencerminkan derajad atau maqam keagamaan yang terkait dengan kondisi spiritualitas atau kealiman seseorang di bidang agama Islam.

Tetapi hanya sebutan penghormatan yang terkait dengan masalah kultural dan konstruksi sosial bukan teologis. Meskipun memiliki keterkaitan dengan soal keislaman tapi itu hanya simbolik dan kultural

Masalah “sunan” ini sama dengan kata “wali”. Kalau kata “wali” memang berasal dari bahasa Arab dan beberaoa kali disebutkan dlm Al qur’an. Kata Wali bermakna pelindung atau kepercayaan, waliyullah berarti seseorang yang menjadi kepercayaan Allah. Dari awal, kata “wali” memang berkonotasi religius atau terkait dengan maqam keimanan dan kondisi religiusitas seseorang.

Namun dalam perkembangannya kata “wali” mengalami transformasi makna yang berkonotasi jabatan atau berfungsi perlindungan seperti kata “wali kota”, “wali murid”, “wali santri” dan sejenisnya, kecuali Wali Band hehehe

Jelas di sini orang-orang yang ribut soal sebutan “sunan Kalijodo” kepada Ahok adalah orang yang berpikir dangkal yang tidak memahami akar, makna dan fungsi suatu kata baik secara sosiologis atau etimologis.

Atau mereka sebenarnya mengerti tetapi karena sudah terbakar kebencian dan apriori akibat semangat keberagamaan yg salah kaprah akhirnya menggunakan simbol dan logika agama yg dipaksakan untuk meributkan masalah ini.

Yang bikin saya heran dan makin geli adalah banyak orang menggunakan ayat dan dalil agama untuk membangun legitimasi politik. Tapi para pembela ayat kok diam saja malah bangga, padahal yang demikian itu justru yang paling beresiko terjadinya penyelewengan agama.

Tapi ketika Ansor menyematkan sebutan “sunan” yg hanya istilah kultural, bukan ayat, bukan kitab suci mereka pada ribut. Semakin beragama, semakin beriman mestinya makin berpikir luas, dalam dan cerdas, lha ini mengaku beragama dan beriman tapi kok pikirannya makin dangkal dan emosional,apakah ini yang disebut ngeri-ngeri lucu ?
Sampean waras tah ???!