Sufi dan Pembangunan Berkelanjutan

209

Oleh : Sidik Permana, M.I.L *)
Pada hakikatnya sufi atau tasawuf merupakan salah satu cabang ilmu dalam ajaran Islam yang membahas tata cara membersihkan ruhani dari sifat-sifat kebinatangan (animal instinct) yang ada dalam diri manusia supaya manusia sadar akan eskistensi dirinya di dunia sehingga dapat mencapai kedekatan dengan Tuhan. Namun jika kita melihat perkembangan saat ini tampak suatu kecenderungan bahwa sufi tidak hanya membahas masalah hubungan antara manusia dengan Tuhan saja, melainkan hubungan antara manusia dengan manusia dalam konteks yang lebih luas antara lain dalam bidang pendidikan, kesehatan, politik, dan ekonomi.

Kecenderungan yang tampak ini berjalan seiring dengan semakin majunya ilmu pengetahuan dan teknologi di dunia. Perubahan struktur dan fungsi kelompok sufi ini disebut sebagai perubahan sosial. Kingsley Davis (1960) mendefinisikan perubahan sosial sebagai perubahan-perubahan yang terjadi pada struktur dan fungsi masyarakat atau kelompok. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi kelompok sufi ini di disebabkan oleh ragam faktor seperti kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan pertambahan populasi penduduk serta keterbukaan para penganut sufi dalam menyingkapi perubahan dunia.
Sebenarnya sufi bukan hal yang baru dalam ajaran agama Islam, kemunculannya dimulai sejak Nabi Muhammad dan para sahabat menyebarkan dan mempraktekkan ajaran Islam pada pada abad 6 masehi.

Namun, setelah nabi Muhammad saw wafat sekitar abad ke dua hijriah (abad 8 masehi) Islam mengalami kejayaan di bawah di bawah kekhalifahan Harun Ar-rasyid dan semakin jaya pada khalifah Al-Amin serta Al-Ma’mun, imperium Islam sudah meluas mencapai sebagian benua Asia, Afrika, dan daratan Eropa (Spanyol) hingga uang pajak dan tenaga kerja dari tanah jajahan mengalir ke Baghdad. Dampak dari kejayaan ini menyebabkan masyarakat Arab ketika itu berada dalam kehidupan hedonisme, bahkan lupa dengan praktek-praktek ibadah kepada Tuhan, menyebabkan masyarakat arab pada waktu itu mengalami degradasi moral. Menyingkapi fenomena degradasi moral ini menimbulkan keprihatinan para ulama untuk memperbaiki dan mengembalikan kondisi masyarakat untuk bertingkah laku seperti pada kehidupan nabi Muhammad Saw, yaitu hidup sederhana. Ketika itu, para ulama menyingkirkan diri ke pinggiran kota dan mendirikan pondokan yang disebut dengan zawiyah atau horokah (di Indonesia: pondok pesantren).

Para ulama yang membina dan membimbing masyarakat arab di pondokan atau zawiyah jauh dari keramaian kota pada waktu itu dikenal dengan sebutan sufi sedangkan ajarannya disebut tasawuf. Beberapa abad kemudian yakni sekitar abad ke 13, generasi tasawuf selanjutnya selain mengajarkan ilmu dan amal ibadah, mereka juga memberikan dzikir yang ditujukan untuk memperoleh ketenangan jiwa dan kedekatan dengan Tuhan, jumlah dan waktu dzikir sudah teratur dan sistematis sedemikian rupa kepada orang-orang tersebut yang kemudian disebut tarekat (school). Penamaan sekolah tarekat ini bentuknya beragam, tergantung kepada ulama yang merintisnya misalnya tarekat Qodiriyah adalah nama bagi seorang ulama pendiri tarekat bernama Syaikh Abdul Qadir Jailani Al-Baghdadi (1077–1166 M), Tarekat Naqsabandiyah adalah nama bagi pendiri tarekat bernama Syaikh Bahaudin Naqsabandi (1317-1391 M), dan Tarekat Rifaiyah sebutan bagi pendiri tarekat bernama Syaikh Ahmad Rifai (1118–1181 M). Dalam perkembangannya kelompok-kelompok tarekat mendapat pengikut yang banyak, sehingga dapat dikatakan kota Baghdad di Irak pada waktu itu merupakan pusat dakwah Islam.

Di dalam berbagai literatur ilmu tasawuf praktek-praktek latihan ruhaniah yang biasa dilakukan secara garis besar meliputi taubat, zauhud, muraqabah dan mujahadah. Syarat awal bagi orang yang akan menjalani amal dan ilmu tasawuf diharuskan untuk melakukan latihan pembersihan diri (taubat), karena dosa adalah dinding penghalang antara manusia dengan Tuhan. Sebagaimana dikemukakan oleh Imam Ghazali bahwa taubat merupakan kunci kebahagian bagi orang yang belajar ilmu dan amal tasawuf (Abbas, 2008:53). Kedua, adalah zuhud yang berarti memalingkan hati dari segala sesuatu yang berhubungan dengan urusan materi dan kemewahan dunia. Ketiga muraqabah, muraqabah adalah suatu praktek mendekatkan diri dengan Tuhan, sehingga dalam hatinya selalu hadir Allah yang selalu mengawasinya gerak-geriknya atau dalam bahasa Jawa dikenal dengan istilah semedi. Sebagaimana sabda nabi Muhammad “Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat Dia, dan Jika jika kamu tidak bisa melihat Dia, maka sesungguhnya Dia melihat kamu.

” Terakhir adalah mujahadah, yang berarti seorang yang belajar ilmu dan amal tasawuf diharuskan bersungguh-sungguh untuk berjuang melawan kehendak nafsu (animal instinct) yang tidak baik (buruk) yang ada dalam dirinya sendiri melalui ilmu dan akal, kemampuan untuk melawan kehendak nafsu inilah yang menjadikan manusia berbeda dengan binatang yang tidak diberi akal oleh Tuhan. Melalui praktek-praktek ini diharapkan seseorang secara personal hatinya menjadi suci sehingga ia akan selalu ingat dan dekat dengan Tuhan sebagai tujuan dari proses ibadah yang dilakukannya.

Untuk melaksanakan ilmu dan amal (praktek) tasawuf seseorang yang telah dewasa baik laki-laki maupun perempuan menurut syariat islam, ia diharuskan memiliki guru yang membimbingnya dalam melaksanakan ilmu dan amal tasawuf. Bimbingan guru terhadaap seseorang atau murid dalam proses penyucian jiwa sangatlah penting, karena fungsi guru (mursyid) dalam berbagai literatur sufi, adalah sebagai orang yang menjadi sarana penghubung antara murid dengan Tuhan, yang bertujuan untuk memperoleh kedekatan (iluminasi) dengan Tuhan. Demikian fungsi guru dalam pengajaran ilmu dan amal tasawuf begitu penting. Sehingga bagi orang yang menjalani ilmu dan amal tasawuf, menjalin persabatan atau kedekatan dengan guru diperlukan sebagai jembatan menuju Tuhan. Oleh sebab itu ia harus menghormati dan berlaku baik terhadap gurunya. Tidak hanya berlaku baik kepada gurunya saja, melainkan juga kepada kedua orang tuanya.

Dari uraian di muka, tampak jelas bahwa tasawuf bersifat personal dan khusus dalam artian tasawuf berkaitan dengan segala praktek yang berhubungan dengan penyucian jiwa dan dzikir melalui bimbingan seorang guru. Karena orientasi yang kental menekankan pada masalah batiniah dan cenderung berorientasi keakhiratan ini, banyak orang terutama dari kalangan pembaharu Islam yang mengatakan bahwa penganut ilmu tasawuf adalah anti-perubahan (zumud) terhadap kemajuan zaman, dan cenderung menghindari hal-hal yang bersifat duniawi serta terlalu tenggelam dalam hal-hal yang bersifat gaib (irasional). Kiranya hal itu tidaklah benar, jika kita melihat dan memahami perkembangan tasawuf mulai dari awal perkembangan sampai sekarang ini, tampak telah terjadi suatu perubahan sosial dalam prakteknya bahwa tasawuf tidak hanya menyangkut aspek bathiniah dalam hubungannya dengan Tuhan semata, melainkan memiliki fungsi sosial.

Perubahan sosial pada kelompok-kelompok sufi tampak setelah Indonesia merdeka, pada waktu itu arus modernisasi dari dunia barat masuk ke Indonesia yang diikuti oleh peningkatan komposisi penduduk beserta kompleksitasnya, menuntut para pimpinan atau guru kelompok sufi untuk mengembangkan cara berfikir ilmiah bersendikan pendidikan modern dan kemampuan untuk menguasai teknologi, tanpa mengikis atau menghilangkan tradisi kesufiannya. Modernisme dan kemajuan teknologi serta perubahan komposisi penduduk disikapi oleh suatu pendirian bahwa modernisme dan kemajuan teknologi sebagai media untuk memajukan agama Islam. Salah satu pimpinan pesantren sufi di Jawa Barat KH. Lukmanul Hakim AF, mengemukakan bahwa “mengikuti era modern asalkan bermanfaat merupakan suatu kewajiban yang harus diikuti oleh umat Islam.” Demikian pula KH. Mustain yang juga guru salah satu tarekat di Jawa Timur mengemukakan bahwa “melalui pesantren dan universitas saya ingin menciptakan bibit yang unggul sampai ke otaknya di universitas.” (Simuh, 199:57). Maka tidak mengherankan jika banyak pesantren sufi di jawa yang telah memodifikasi kurikulum pendidikan dan kelembagaannya menjadi modern dan sistematis. Melalui penyelenggaraan pendidikan mulai dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi.

Hal ini ditunjukkan oleh Muslim (1985:58) bahwa salah satu pesantren tarekat Qodiriyah-Naqsabandiyah yang merupakan salah satu kelompok sufi terbesar di Jawa, mengelola sekolah dengan jumlah siswa sekitar 800 siswa. Selain mengelola pendidikan modern, juga mengelola lembaga ekonomi berupa koperasi untuk kredit usaha tani. Dari segi kesehatan ia memiliki sekitar 13 pusat rehabilitasi mental akibat penyalahgunaan narkoba dengan menggunakan pendekatan dzikir, dan memiliki cabang-cabang zawiyah di luar negeri, seperti di Kedah, Malaysia dan Brunei Darussalam. Malahan dalam perkembangan sekarang, pesantren ini telah mendirikan universitas dengan beragam jurusan yang adaptif dengan perkembangan dunia yang modern.

Dalam aspek sosial-politik, kelompok-kelompok sufi juga melibatkan diri dalam masalah sosial dan politik dengan banyaknya pesantren di Jawa yang berafiliasi dengan partai politik, dan banyak di antaranya menjadi pengurus partai politik. Keterlibatan pimpinan atau guru kelompok sufi dalam dunia politik terutama dalam proses pemilihan legislatif maupun eksekutif, karena keputusan guru sufi adalah kewajiban yang harus dilaksanakan dan murid-murid sufi menyadari hal itu. Hal ini tampak ketika seorang guru memerintahkan kepada murid-muridnya untuk memilih pilihan politik, maka murid-murid akan melaksanakan perintah gurunya tanpa banyak pertimbangan fikiran sebagai suatu bentuk ketaatan (takdim) kepada gurunya. Selain itu, mereka juga banyak terlibat dalam proyek-proyek pembangunan yang diselenggarakan oleh pemerintah terutama di daerah pedesaan tempat tradisi sufi sangat kuat.
Dahulu pengikut sufi adalah pelajar agama Islam (santri) dan orang-orang yang tinggal desa.

Namun, saat ini orang-orang yang tinggal di kota dengan ragam profesinya banyak yang belajar ilmu dan amal sufi (tarekat) mulai dari pedagang kecil hingga akademisi. Banyaknya orang kota yang mempelajari ilmu dan amal tasawuf, disebabkan proses penerimaan menjadi longgar, adanya keterbukaan kelompok-kelompok sufi dalam mewariskan ilmu dan amal sufi supaya tetap terjaga, serta kebutuhan orang-orang kota akan ketenangan jiwa yang kerapkali dihadapkan pada berbagai masalah kebutuhan hidup di kota yang bersifat materialistis dan individulis yang membuat jiwa mereka resah. Sehingga tasawuf bagaikan menjadi air suci yang menyirami dan menyejukkan rohani mereka yang kering. Selain itu, persaudaraan dalam kelompok sufi bersifat kekeluargaan dapat menjamin kebutuhan sosial, dan bahkan kebutuhan ekonomi para anggotanya.

Demikian perubahan yang terjadi pada struktur dan fungsi sufi, namun yang paling esensial adalah bahwa sufi merupakan media atau wahana perdamaian karena dalam ilmu sufi termuat nilai-nilai dan ajaran mengenai toleransi dan perdamaian antar sesama manusia baik bagi masyarakat di Indonesia dan dunia pada umumnya. Ajaran mengenai toleransi dan perdamaian tercermin dalam sikap kasih sayang, keadilan, saling menghormati, dan harmonisme antara alam dan sesama makhluk lainnya. Bagi masyarakat muslim Indonesia nilai-nilai yang termuat dalam ajaran sufi mesti menjadi pembelajaran apalagi di tengah masyarakat Indonesia yang memiliki keberagaman budaya dan agama. Di samping itu, nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran sufi yang adaptif dalam menyingkapi perubahan zaman dapat menjadi pendorong pembangunan berkelanjutan yang kini telah digalakan oleh negara kita dan negara-negara di dunia pada umumnya yang salah satunya mengisyaratkan peningkatan kesejahteraan, perdamaian, dan keadilan sebagai syarat mutlak pembangunan berkelanjutan.

*Pengurus GP. Ansor Kab. Bandung