Substansi Peran Penggerak Islam Nusantara dari Hujan Fitnah Takfiri

1569

INDONESIA menjadi Negara yang belakangan menarik perhatian dan perbincangan dunia, terutama setelah hiruk pikuk politik negeri ini berusaha dimanfaatkan kelompok kecil untuk mengkontaminasi sudut-sudut pemikiran manusia, agar menghancurkan siapapun yang tidak sefaham sealiran dan seagama. Satu sisi menjadi kemajuan, karena hampir setiap pribadi kini mulai berani mengemukakan pendapatnya atas segala dinamika yang terjadi, akan tetapi di sisi bersamaan ancaman makin menyelimuti persatuan dan keutuhan NKRI.

Nahdlatul Ulama (NU) hadir selalu sebagai solusi, tidak membela kelompok anti pancasila yang menemukan momentumnya begitu juga Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) yang menjadi media menguatkan kelompok yang berusaha ingin mengusung Khilafah Islamiyah, fokusnya adalah lebih kepada memosisikan peran strategis agama yang senafas dengan kepentingan bangsa dan negara.

Melalui gagasan Islam Nusantara yang selama ini diusung, dipastikan menjadi solusi dan banteng terakhir tetap utuhnya persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia dari serangan kelompok sumbu pendek takfiri yang mudah mengafirkan sesamanya dan kerap berbuat tidak adil. Disinilah sikap dan jiwa nasionalisme kita akan diuji, saat ini pulalah masa depan Negara kesatuan republik Indonesia (NKRI) dipertaruhkan. Jangan karena pertarungan politik dalam dan kepentingan luar negeri akhirnya menciderai kebinekaan yang telah terbangun selama ini, karena sedianya jiwa cinta tanah air harus terpatri karena hal itu amanat para ulama dan para pahlawan pendiri negeri tercinta ini.

Islam Nusantara ala Nahdlatul Ulama (NU) memang bukan hal baru karena hal tersebut telah dibangun pondasinya sejak pendiri NU Hadrotusyaikh Hasyim Asy’ari dan KH Wahab Hasbullah dan tokoh yang lainnya, kemudian dikemas dalam gagasan Pribumisasi Islam oleh KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Selanjutnya, kekuatan Islam Indonesia itu dikuatkan kembali oleh KH Said Aqiel Siradj dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) melalui Muktamar ke 33 Jombang Agus tus tahun 2015 lalu.

Hal ini tentu sangat membuat telinga kelompok takfiri makin panas, kemudian memutar otak serangan apa lagi yang harus ditebar untuk membunuh kekuatan baru Indonesia agar cita-cita mereka menjadikan Indonesia Negara Islam bisa terlaksana, mulailah fitnah mulai dari Kyai Said syiah, membela non muslim, anti Islam, antek liberal dan sebagainya dilontarkan agar kepercayaan ummat merosot, akan tetapi hal itu tidak kunjung menuai hasil, ummat NU dan mayoritas penganutnya di Indonesia tetap setia menghormati keberagaman yang sudah diajarkan semestinya dalam ajaran Islam.

Ketua Umum PBNU Prof DR KH Said Aqiel Siradj MA adalah kekuatan tersendiri bagi Bangsa ini, ia menyandang kamus berjalan oleh Presiden dari kalangan ulama pertama Indonesia Gusdur, sehingga tidak ada cara lain untuk mempengaruhi ummat muslim Indonesia yang mayoritas Nahdliyin (warga NU) dengan mudah, harus merusak citra Kyai dan Ulama dari Ponpes Kempek Cirebon tersebut.

Islam Nusantara yang diusung adalah tidak memusuhi budaya dan tidak memberangus budaya. Akan tetapi menghargai dan menghormati budaya-budaya yang ada, bahkan menyatu dan melebur kepada budaya, karena agama dan budaya tidak bisa dipisahkan, sehingga budayanya lestari dan Islam pun menjadi kuat. Demikianlah gagasan Kyai Said pejuang ahlususunnah waljamaah (Aswaja) yang tangguh meskipun dilahirkan dari Universitas King Abdul Aziz Jedah hingga S3 dengan raihan gelar doctoral cum laude di University Of Umm al-Qura, Mekkah Arab Saudi yang notabene sarang Wahabi.

Penulis bangga bisa membaca dan mengikuti kiprah Kyai Said yang matang modal pengetahuan Islam berbasis pesantren yang juga dikaji dan dienyamnya di Lirboyo dan Krapyak, begitu juga lulusan s3 jurusan Aqidah dan Filsafat Islam itu ngaji langsung pada Sayid Muhamad Alawi Al Maliki di Mekah Almukarromah. Keberpihakan Kyai Said memimpin PBNU dalam dua periode terakhir sudah membuktikan sebagai pejuang Aswaja terkemuka terbukti mendapat dukungan Kyai Khos Mbah Moen, Gus Mus, Habib Lutfi dan yang lainnya.

Menurut Maulana Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Yahya sebenarnya maksudnya Islam di Nusantara, bukan merupakan ajaran atau aliran sendiri. Jadi bagaimana mewarisi Islam yang telah digagas atau dikembangkan para wali-wali dulu. Islam di belahan bumi Indonesia itu punya karakteristik sendiri yang unik, kalau saja wali songo itu tidak coba beradaptasi dengan lingkungan sekitar ketika Hindu dan Budha masih menjadi agama mayoritas, mungkin saat ini tidak bisa menyaksikan Islam yang tumbuh subur seperti saat sekarang ini.

Pesannya, bahwa inti Indonesia adalah terletak pada rasa persatuan dan kesatuan. Rasa inilah yang agaknya menjadi barang mahal dan sulit sekarang ini. Rasa itu sesungguhnya yang membingkai keberadaan NKRI. Karenanya tugas warna Negara dan ummat muslim di Indonesia yang bijak adalah bagaimana terus menjaga NKRI ini.

Indonesia itu harus diakui tidak disukai jika ekonominya maju, karenanya selalu ada upaya eksternal (asing) untuk memperlemah ekonomi Negara tercinta, untuk itu banyak upaya terstruktur untuk terus mengancam NKRI. Ketika gagal melemahkan dari sisi ekonomi, dilemparlah isu Sunni-Syiah. Begitu merasa gagal dengan isu itu kemudian konflik antar umat beragama seperti insiden di Tolikara Papua yang intinya hanya ingin memecah belah ummat dan NKRI.

Bisa dianalogikan tentang bagaimana menjadi muslim yang baik di bumi Indonesia, bahwa laut itu punya jati diri, pendirian, dan harga diri. Sehingga betapapun zat yang masuk ke dalam laut melalui sungai-sungai yang mengalir kepadanya, keasinan air laut tidak akan terkontaminasi, karena laut itu bisa mengantisipasi limbah-limbah yang masuk.

Begitu juga ikan yang berada di dalam laut pun juga demikian. Ia tetap tawar dan tidak terkontaminasi oleh asinnya air laut. Sedangkan air laut sendiri tidak mengintervensi ikan yang ada di laut. Keduanya mempunyai jati diri yang luar biasa dan bisa hidup bersama, serta saling menghargai dalam “ideologinya” masing-masing.

Dalam hidup berbangsa dan bernegara, laut adalah contoh konkret jati diri bangsa, harga diri bangsa, kehormatan bangsa tetep punya kepribadian yang luar biasa, dan kedua-duanya dapat hidup bareng dengan harmoni. Kalau kita bisa meniru kehidupan yang ada di laut, maka bangsa ini akan aman dan tentram dan saat bersamaan beribadah sekaligus berdakwah juga akan mudah.

Perlu ditegaskan bahwa Islam Nusantara tidaklah anti budaya Arab, akan tetapi untuk melindungi Islam dari Arabisasi dengan memahaminya secara kontekstual. Islam Nusantara tetaplah berpijak pada akidah tauhid sebagaimana esensi ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW. Arabisasi bukanlah esensi ajaran Islam. Karenanya, kehadiran karakteristik Islam Nusantara bukanlah respon dari upaya Arabisasi atau percampuran budaya arab dengan ajaran Islam, akan tetapi menegaskan pentingnya sebuah keselarasan dan kontekstualisasi terhadap budaya lokal sepanjang tidak melanggar esensi ajaran Islam.

Kini saat gerakan Islam transnasional gagal menyemai misinya di negeri ini, mereka mulai menebar fitnah yang tidak berdasar melalui media dan portal berita online yang dimiliki dan dikuasainya, tentang peperangan di Aleppo, Suriah.  Jika ingin mengetahui kedalaman informasi dan mencari uswah (contoh) yang representatif tokoh dan ulama negeri ini cukup melihat kiprah dan sepak terjang Maulana Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Yahya.

Penulis berusaha ingin mengingatkan kita semua pada forum penting Konferensi Internasional Bela Negara 27-29 Juli 2016 di Kota Pekalongan, Jawa Tengah yang digagas JATMAN (Jam’iyyah Ahlit Thariqah al-Mu’tabarah an-Nahdliyyah) yang dikomandoi Habib Luthfi. Lebih dari 300 ulama dari dalam dan luar negeri diundang termasuk ulama besar Suriah Syaikh Muhammad Rajab Dieb, putra dari Alm Syaikh Rajab Dieb.

Sejak awal-awal konflik Suriah bagaimana media-media wahabi menebar propaganda busuk dan menyerukan boikot pada ayah beliau Syaikh Rajab Dieb karena beliau adalah ulama Ahlusunnah Suriah yang teguh membela tanah airnya dari invasi para teroris takfiri yang menginvasi negaranya. Banyak ulama besar Aswaja Suriah lainnya seperti Syaikh Said Ramadan Al Buthi, putranya Syaikh Dr Taufiq Al Buthi, Grand Mufti Suriah Syaikh Ahmad Badruddin Hassoun, Mufti Damaskus Syaikh M Adnan al Afyouni dll karena mereka menolak mendukung aksi pemberontakan mujahilin yang disokong USA, NATO dan Rezim-rezim teluk dengan segala fitnah sektariannya. Selain itu, ulama besar Aswaja Suriah tersebut juga tidak jarang dituduh Syi’ah seperti yang mulai dipaksa disematkan kepada Kyai Said dan ulama Kyai di Indonesia oleh para takfiri karena keberpihakan mereka pada pemerintah dan tanah airnya untuk memerangi kelompok-kelompok teroris yang menghancurkan Suriah yang damai sejak ribuan tahun.

Habib Luthfi memang jarang bicara langsung tentang Suriah, namun apa yang ditunjukkan beliau sudah sangat jelas. Karena beliau tahu persis Indonesia dan Suriah punya kesamaan penting, yaitu menjunjung Kebhinekaan dan pluralitas bangsa sejak ribuan tahun lamanya, dan ini yang coba dihancurkan gerombolan teroris takfiri dengan fitnah sektarian dan koar-koar ‘Khilafah’nya. Konferensi Bela Negara tersebut juga adalah langkah preventif jenius dari ulama kita Habib Luthfi dari ulah oknum-oknum yang berniat “men-Suriahkan” Indonesia dengan segala fitnah sektarian mereka.

Pertanyaanya bagaimanakah kita bersikap dalam menyikapi segala fitnah yang mulai disebar tersebut?, tentu tidak berusaha ingin mendramatisasi akan tetapi saat inilah masanya warga Negara berperan menjadi penyejuk dan memberikan informasi yang benar. Pertama, fakta yang harus diketahui adalah, Pemerintah Suriah tidak pernah membantai orang bermadzhab Sunni. Hasil pemilu presiden Suriah yang diawasi lembaga-lembaga independen Juni 2014 kemarin, Assad terpilih kembali dengan perolehan 88.7% suara rakyat. Sedangkan kaum Sunni itu mayoritas (74%) di Suriah. Itu artinya mayoritas mutlak rakyat Suriah yang Sunni dan apapun latarnya masih mencintai Bashar Assad. Itu yang selalu ditutupi media-media takfiri. Jika Assad adalah pembantai Sunni, mungkinkah mayoritas rakyatnya yang Sunni tersebut memilih dia?.

Fitnah Selanjutnya adalah, Rezim Suriah adalah Rezim Syi’ah. Faktanya, mayoritas kabinet pemerintahan di Suriah diisi oleh orang-orang Sunni. Jabatan-jabatan penting seperti Wakil Presiden, Wakil Presiden 1, Perdana Menteri, Deputi Perdana Menteri, Menteri Luar Negeri, Menteri Informasi, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendidikan dll diisi orang-orang Sunni. Grand Mufti resmi Suriah Syaikh Ahmad Badruddin Hassun pun seorang ulama besar Sunni. Bahkan istri Bashar yaitu Asma al-Assad adalah seorang muslimah Sunni dari Homs. Ini semua adalah fakta-fakta yang selalu ditutupi media-media Takfiri dan radikal di tanah air.

Kemudian, fakta yang selalu ditutupi mereka, para pemberontak di Suriah mayoritas bukanlah rakyat Suriah, tapi para militan takfiri asing yang datang dari 83 negara (termasuk Indonesia), korban cuci otak sektarian yang rame-rame menginvasi Suriah dengan kedok “jihad”. Bahkan situs SOHR (Syrian Observatory for Human Rights) yang berafiliasi dengan oposisi pun mengakui lebih dari 70 persen militan yang memberontak di Suriah adalah orang-orang asing/impor (bukan rakyat Suriah).

Selain itu, pada 2009, Qatar mengajukan proposal agar Assad melegalkan jalur pipa gas alamnya melintasi Suriah dan Turki untuk menuju Eropa. Bashar Assad menolak proposal ini dan pada 2011 ia justru menjalin kerjasama dengan Iraq dan Iran untuk membangun jalur pipa ke Timur. Qatar, Saudi dan Turki adalah pihak yang paling sakit hati dan dirugikan oleh keputusan ini. Khayalan mereka untuk mendapat pemasukan Milyaran dollar dari ekspor Migas buyar seketika. Apa kalian terkejut jika hari ini Saudi, Qatar dan Turki menjadi negara-negara yang paling getol mensponsori dan mempersenjatai para teroris yang hendak menggulingkan Assad?. Kenapa USA dan NATO sangat berambisi menggulingkan Assad? Karena mereka dan ketiga negara tersebut adalah sekutu dan mitra bisnis utama. Keputusan Assad akan menguatkan posisi Iran secara ekonomi maupun politis dalam pasar tambang Migas di Timur Tengah dan mengecilkan pengaruh USA dan sekutunya.

Sejak perang Arab-Israel pada 1948 hingga perang edisi ketiga pada 1967, Suriah tidak pernah absen dalam mengirim pasukan militernya melawan Zionis. Suriah bersama Mesir, Iraq dan Jordan saat itu (1967) mengirim 547.000 pasukan melawan Zionis di Sinai dan Golan. Bahkan ketika negara-negara Arab tersebut sudah berdamai dengan Israel, Suriah adalah satu-satunya Rezim Arab yang hingga hari ini tidak bersedia menandatangani perjanjian damai dengan Israel. Suriah juga hingga hari ini adalah penampung terbesar pengungsi Palestina di Timur Tengah. Jutaan pengungsi Palestina telah diterima dengan tangan terbuka oleh Pemerintah Suriah sejak 1948 di kamp-kamp pengungsi Yarmouk, Neirab, Handarat, Aleppo dll. Mereka diberi fasilitas Sekolah, Rumah Sakit dll layaknya warga sendiri. Bahkan Assad pun dijuluki sebagai Bapak Pengungsi Palestina.

Jika kita mundur ke belakang dan bicara Libya. Di Libya bahkan tidak ada yang namanya Syi’ah, tapi nyatanya terjadi perang selama 4 tahun disana. Para pemberontak takfiri dengan bekerjasama dengan NATO dan USA akhirnya berhasil membunuh pemimpin Sunni Muammar Qaddafi secara keji. Masih ingat kan saat itu media-media radikal macam Arrahmah, voa-islam dll menggelari Qaddafi sebagai Thaghut, Fir’aun dll dan perjuangan mereka demi menegakkan Khilafah. Untuk itu, disarankan untuk tidak ikut terlibat dalam konflik-konflik Negara luar meski tidak boleh merem pengetahuan dan perkembangan politik yang terjadi disana. Masih banyak problem social di Negara ini, daerah, desa bahkan di sekeliling kita tinggal, berkiprah dan berilah solusi atasnya, karena hal itulah semangat kita menjadi manusia bermanfaat untuk manusia yang lain agar menjadi sebaik-baiknya manusia.

 

 

*Diolah dari berbagai Sumber terpercaya oleh Taufiqurrohman yang merupakan Ketua Umum PC PMII Indramayu (2009-2010) dan Redaktur