Spirit Haji dan Kemerdekaan NKRI : Muhamad Ridwan Effendi

121

Oleh : Muhamad Ridwan Effendi

Saat ini (Dzulhijah 1440 H/ Agustus 2019 M) umat Islam dari segala penjuru dunia tengah berbondong-bondong berangkat ke tanah suci untuk menunaikan salah satu rukun Islam dan merupakan ibadah yang teramat agung dan ketaatan yang mulia. Baitullah al-Haramadalah tempat al-mukarromah yang dijadikan tempat untuk melaksanakan ibadah dan manasik haji . Di dalam rumah Allah SWT tersebut, ditegakkan berbagai amalan-amalan ibadah  dan syiar-syiar yang agung dan rentetan manasik yang penuh akan keberkahan.

Setiap ibadah yang diperintahkan oleh Allah SWT, sudah barang tentu memiliki banyak pelajaran/hikmah yang besar yang dapat diambil, diresapi dan bahkan dijadikan spirit oleh setiap orang yang beriman dengan akal dan nurani yang dimilikinya. Sehingga dapat diperoleh nilai kebermanfaatan di dalam kehidupan setiap umat Islam. Salah satunya adalah adanya konsekuensi logis dari spirit ibadah haji kaitannya dengan kehidupan berbangsa dan bernegara di bumi Indonesia ini. Terlebih pada apa yang menjadi catatan dalam perjalanan sejarah bangsa dan negara Indonesia ini agar dapat mendapatkan kemerdekaan jiwa dan raganya atas tindakan kolonialisme kaum penjajah.  Lantas adakah hubungan langsung antara ibadah haji dengan perjuangan kemerdekaan RI yang tengah terjadi saat itu?

Sepintas, memang realitas hubungan di antara kedua hal itu tidak terlalu nampak. Padahal, jika ditelisik lebih dalam dari dahulu hingga kini orang-orang yang sedang dan selesai berhaji telah banyak memberikan kontribusi besar bagi negeri ini terutama dalam penegakkan sendi-sendi moral kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara. Termasuk di dalamnya membangun jiwa patriotik dan nasionalisme dalam memerdekakan negeri ini dari bangsa penjajah.

Jika dahulu, pada zaman penjajahan Belanda, banyak di antara warga dari tanah air dicegah untuk menunaikan ibadah haji. Bahkan pemerintah kolonial membuat berbagai aturan meski pada akhirnya dibolehkan juga dengan syarat dan pengawasan ketat. Dulu, pada zaman kolonial juga, hanya orang-orang yang telah berhaji sajalah yang dibolehkan mengenakan songkok putih sebagai identitasnya. Bila hal itu dilanggar, maka konsekuensinya bisa dipanggil dan ditanyai oleh para antek penjajah dengan sebutan haji.

Pada zaman penjajahan Belanda dulu ketika orang Indonesia yang hendak menunaikan ibadah haji senantiasa mendapatkan tekanan yang demikian berat. Pasalnya, bagi penjajah, selalu saja ada orang-orang yang sudah menunaikan ibadah haji saat itu, sepulangnya ke tanah air, pasti mereka memiliki jiwa patriotik dan nasionalisme yang tinggi. Mereka lebih berani dan siap mati menghadapi tentara Belanda sebagai bangsa penjajah di samping juga mereka memiliki kemauan untuk bersatu dalam memerdekakan negeri ini dari bangsa penjajah yang telah menjajah sekian lamanya.

Bila kita cermati seksama praktek ibadah haji, seperti yang dilakukan sekarang ini, memang ada beberapa hal yang dapat menguatkan seseorang mengapa setelah pulang ibadah haji tersebut dapat memberikan perubahan yang begitu besar bagi negeri ini. Lalu banyak di antara mereka yang demikian heroiknya membela dan mengorbankan jiwa dan raganya saat itu untuk masa depan bangsa dan negara Indonesia.

Jika dapat ditarik asbabnya, alasan yang melatar belakangi itu semua di antaranya, pertama, ketika seseorang telah memasang niat ibadah haji dan menginjakan kaki di Mekkah dan Madinah, maka di dalam diri yang bersangkutan tertanam keyakinan bahwa mereka telah mempertaruhkan hidupnya dalam beribadah. Apakah ia akan mati atau tidak. Di sini, dapat kita maknai bahwa sesungguhnya ia telah berpasrah kepada Allah SWT semata. Proses penyerahan diri kepada Allah SWT itu dapat dijadikan pembelajaran sehingga makin menguatkan keyakinan dan tercermin dalam perbuatan.

Kedua,tatkala mereka mengenakan pakaian ihram. Dengan mengenakan pakaian tersebut ia sejatinya tengah menjalani proses simbolik, bahwa sesungguhnya mereka tengah berlatih untuk mati. Sebagaimana yang diktehuai bahwa Ihram adalah bagian dari rukun haji yang tidak boleh ditinggalkan. Jika ditinggalkan, hajinya tidak sah. Di antara rukun haji selain ihramitu adalah Ihram, wukuf di Arafah, thawaf ifadha, sa’i antara bukit shafa dan marwah serta tahalul. Di samping wajib haji antara lain Ihram dari miqat, wukuf di Arafah sampai matahari terbenam, bermalam (mabit) di Mina (pada 11 dan 12 Dzulhijjah), melempar jumrah pada hari-hari Tasyriq, tahalul, thawaf wada’.

Ketiga, bahwa ketika berada di tanah suci dalam menunaikan ibadah haji, seseorang sejatinya tengah dibersihkan hatinya sebagaimana harapan ia tatkala mereka berangkat, banyak meminta do’a dan ampunan. Di sana, permohonan ampunan itu makin ditingkatkan ketika shalat di Masjidil Haram. Dengan demikian, hati menjadi bersih. Tentu saja, melalui hati yang bersih, seseorang akan mengenal mana yang hak dan yang batil.

Kemerdekaan Indonesia, yang kini sudah dinikmati selama 74 tahun, sejatinya tidak dapat dilepaskan dari spirit haji. Lihat saja dalam sejarah tercatat nama-nama pejuang Indonesia yang telah berhaji dan sekaligus sebagai pahlawan kemerdekaan NKRI sebut saja seperti halnya Haji Agus Salim, Haji Oemar Said Tjokroaminoto, Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka), KH. Ahmad Dahlan, KH. Mohammad Hasjim Asy’arie, KH. Idham Chalid dan sejumlah haji-haji lainnya yang menurut hemart penulis telah banyak berjasabagi perjuangan bangsa Indonesia.

Jadi, dalam sejarah kemerdekaan RI, peran orang-orang yang telah menunaikan ibadah haji demikian besar kontribusinya bagi kemerdekaan RI. Jika pada saat itu sering digaungkan “hidup atau mati” dalam membela RI, maka sesungguhnya para pejuang tersebut sudah memiliki bekal berlatih untuk mati. Sebab, sungguh orang yang hendak menunaikan ibadah haji itu sudah harus ikhlas meninggalkan berbagai hal yang menyangkut urusan duniawi. Maka Ia sudah berpikir dan bertindak siap untuk mati.

Hal itu bisa dilihat ketika hendak berangkat, ia minta doa dalam acara walimatus safar al-Hajj. Seluruh anggota keluarga, sanak saudarahadir, termasuk tetangga dan teman-temannya. Di situ, orang yang hendak berhaji tentunya bertanya dalam hati, apakah ia akan selamat dalam perjalanan itu atau justru Allah punya kehendak lain.

Polarisasi titel haji saat ini, tentunya mesti digali lebih dalam maknanya. Terlebih pada makna al hajj al-mabrur.Al-Mabrur adalah isimmaf’ul dari akar kata al-birru. Al-birru itu artinya kebaikan atau  kebajikan. Dengan demikian, al-hajjul mabruru artinya haji yang diberikan dan memberikan kebaikan dan kebajikan.

Sungguh, haji mabrur adalah predikat yang didambakan oleh setiap umat Islam yang berhaji, karenanya haji yang mabrur adalah ibadah utama dalam Islam. Ibadah ini sama halnya dengan dengan jihad, sebagaimana diungkapkan dalam hadits yang diriwayatkan Ibn Majah dari ‘Aisyah r.a. :

قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ عَلَى النِّسَاءِ جِهَادٌ قَالَ « نَعَمْ عَلَيْهِنَّ جِهَادٌ لاَ قِتَالَ فِيهِ الْحَجُّ وَالْعُمْرَةُ ».

Wahai Rasulullah, apakah wanita juga wajib berjihad?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Iya. Dia wajib berjihad tanpa ada peperangan di dalamnya, yaitu dengan haji dan ‘umroh.” (HR. Ibnu Majah no. 2901, hadits ini shahih sebagaimana kata Syaikh Al Albani).

Begitupun halnya, bahwa berhaji adalah upaya dalam rangka menghapus dosa-dosa. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim dari Abu Hurairah r.a. :

الْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا ، وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ

Antara umrah yang satu dan umrah lainnya, itu akan menghapuskan dosa di antara keduanya. Dan haji mabrur tidak ada balasannya melainkan surga.” (HR. Bukhari no. 1773 dan Muslim no. 1349)

Kini, dalam perayaan HUT RI ke-74, kita berharap spirit haji dapat menjadi inspirasi sekaligus sebagai penjaga moral bangsa Indoensia. Tantangan para haji sekarang tentunya memang beda. Kalau dulu bersama memerangi kedzaliman kolonial, sekarang adalah tentunya memerangi kebodohan, kemiskinan, korupsi dan kejahatan lainnya. Ibadah haji punya peranan penting bagi peningkatan moral bangsa. Para haji mabrur sangat diharapkan memberi kontribusi energi positif bagi bangsa pada masa kini dan mendatang. Karena mabrurnya seorang yang telah berhaji berarti ia telah menunjukkan sikap Ikhlas dan taat karena Allâh Azza wa Jalla, Mutâba’ah mengikuti tuntunan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam manasiknya dan terbebas dari perbuatan buruk serta bersedia memberikan energi kebaikannya untuk kemajuan negara, bangsa dan agamanya.

Demikian petikan hikmah ibadah haji yang dapat kita dijadikan spirit dalam melakukan kebaikan dan perubahan positif bagi negara, bangsa dan agama, serta semoga Allah SWT hiasi dan mabrurkan mereka yang  bersimpuh menziarahi Baitullah ka’bah musyarrafah dan memampukan kita semua untuk segera menziarahinya.

Wallahu ‘alam bi al-Shawab