Senangnya mencaci ketimbang memuji

423

(sebuah refleksi atas kondisi bangsa dan media sosial)
Oleh. Ahmad Fuad Ruhiyat
Bisa dirasakan memang semakin berkembang dunia informasi semakin mengecil filterisasi dari biang hasutan dan fitnah. Jika kita melihat setiap hari bahkan hitungan jam, setiap informan melakukan pemberitaan baik atau buruk, benar atau salah. Mereka minim sekali mempertimbangkan moralitas pembaca apatah lagi mengajak untuk kebaikan.
Penulis teringat masa 90-an ketika informasi tidak secanggih sekarang ini, tanpa handphone, media sosial dll. Dulu semua orang berbicara langsung, baik pada temannya, orang tua, saudara; mereka lebih gentleman. Mereka semua menumpahkan resah risihnya, suka dukanya, emosi dan cintanya, langsung kepada siapa saja yang dikehendaki. Mereka tidak berani berbicara seenaknya, apalagi masalah tokoh agama. Tokoh agama bagi mereka adalah kitab suci yang berjalan, atau rumah sakit. Mereka sangat suport dengan tokohnya yang memiliki karismatik atau akhlak yang sangat mulia. Mereka mengikuti apa saja yang diperintahkan atau dilarang oleh tokoh tersebut. Mereka sangat mencintai dan menyayanginya. Bisa dipastikan masyarakat akan melakukan sesuatu berdasarkan pertimbangan tokoh tersebut bahkan menjaga jiwa dan raganya.
Warung kopi, mushala, tajuk, pesantren, sawah, kebun, akan dijadikan tempat yang multidimensi untuk dijadikan dakwah atau obrolan biasa saja antar mereka. Mereka terlihat lebih asik, dengan menu yang bervariasi, tokohnyapun tidak terlalu memiliki kecakapan berbicara tetapi memiliki akhlak yang baik. Mereka seperti berbaur begitu saja, tanpa titel sarjana apapun. Sehingga sampai sekarang penulis meyakini yang menyentuh soal ibadah, muamalah, akhlak budi perkerti, di ranah masyarakat bawah adalah jebolan pesantren atau para kiyai.
Baru-baru ini kita menyaksikan di media sosial, soal penghinaan terhadap tokoh-tokoh baik tokoh agama maupun tokoh bangsa. Sebuah kondisi yang sangat miris sekali untuk disimak. Pilgub di ibu kota semua ramai mengutuknya, semua masyarakat terbawa dengan arus perpolitikan. Semua dengan mudah sekali dipelintirkan oleh kaum elit. Bangsa ini seakan ingin pecah, persaudaraan yang dibangun dari kultur yang majemuk dan sudah lama, dengan begitu saja mereka hancurkan. Kebhinekaan tinggal lambang, semua berhadapan dan saling menyalahkan. Mereka berbicara agama terkadang ada kepentingan politiknya, mereka berbicara politik selalu mengatasnamakan agama. Bahkan yang lebih aneh bagi penulis mereka menggemborkan tentang kembali ke Quran dan Hadist tapi kenyataannya lebih taat kepada berita yang tidak jelas asal muasal penulisnya. Mereka senang menghina, mencaci, dan memfitnah. Padahal jelas dalam dua sumber utama ajaran islam, semua itu sangat dilarang bahkan lebih kejam daripada pembunuhan.
Penulis adalah ketua Rijalul Ansor Kab. Bandung dan Santri Ponpes al-Istiqomah