Selamat Hari Santri ; Partisipasi Harga Mati !

388

Resolusi jihad yang digagas dan dikeluarkan oleh Almagfurlah Rais Akbar direspon dengan gegap gempita padahal resiko mentaati titah tersebut adalah mati. Tapi tak satupun yang menyambut titah tersebut cari mati.

Mencintai tanah air yang dilandasi keimanan telah menjadikan orang mati saja rela tapi bukan bunuh diri. Untung rugi pribadi tak jadi hitungan sama sekali. Pengorbanan dalam perjuangan adalah kewajiban. Peristiwa tersebut heroik, bukan kekonyolan. Efek resolusi tersebut bahkan sekutu pun menamainya inferno!

Kemerdekaan wajib dipertahankan, wajib diperjuangkan dan itu membutuhkan pengorbanan. Jika memperjuangkan kemerdekaan adalah kebenaran lantas apalagi yang layak diperjuangkan? Pengorbananlah yang menjadikan perjuagan bernilai.

Berjuang untuk negara adalah sama dengan membela agama, pengorbananya mendapat pahala bahkan kematian pun bernilai syahid, dititik inilah NU menegaskan kembali posisinya sebagai orang Indonesia yang beragama Islam tegak berdiri, negara dan agama tak bisa dipisahkan. Membela negara adalah menegakkan agama.

Peristiwa itu terjadi sewindu yang lalu, efek akhirnya negara mengakui Hari Pahlawan dan fenomena awalnya baru belakangan negara mengakui, Hari Santri Nasional.

Resolusi Jihad bukan hanya berarti saat itu, tapi sampai hari kiamat! NKRI harus dijaga lestari. Resolusi Jihad memerintahkan pada bangsa ini bahwa apapun resikonya berapapun harganya NKRI harus dijaga dan diperjuangkan adalah kewajiban agama, sebab resolusi Jihad tidak pernah dicabut.

Resolusi Jihad memerintahkan seluruh anak bangsa untuk merespon semua gangguan, rintangan yang merongrong NKRI harus direspon dengan respon yang sesuai, kata kuncinya fardlu ain. Setiap orang yang mukallaf berkewajiban. Jika menjaga negara ini wajib, maka mengganggu dan merusaknya adalah haram.

Seiring perkembangan zaman maka manifestasi resolusi jihad hari ini adalah partisipasi, berpartisipasi dalam semua ruang sosial dan konstitusional yang ada untuk menjaga dan memelihara negara ini. Berpartisipasi wajib hukumnya.

Tak ada partisipasi tanpa kompetensi dan kompetisi. Meningkatkan kompetensi adalah wajib pun demikian dengan kompetisi. Santri zaman kiwari dituntut menjadi santri yang multikompetensi dan multitasking.

Memaksakan diri berpartisipasi tanpa meningkatkan kompetensi adalah dosa, pun demikian berharap partisipasi tanpa kompetisi adalah omong kosong. Dua hal itulah yang akan jadi jaminan NKRI tetap lestari.

Relasi negara-agama yang di bangun lewat paradigma Resolusi Jihad menjadi jelas, wajib. Merujuk kaidah ushul fiqh yang menyatakan satu kewajiban yang hanya bisa disempurnakan oleh sesuatu, maka sesuatu itu jadi wajib. Sebagaimana kewajiban wudlu sebelum shalat, maka NKRI juga menjadi wajib.

Bisa dibayangkan saudara-saudara kita etnis Rohingya di Burma tidak bisa menunaikan ibadah haji karena terkendala kewarganegaraan yakni paspor, maka memiliki negara sendiri adalah kewajiban agama karena bisa menyempurnakan persoalan yang rukun dalam agama.

Negeri ini adalah titipan dari para pendiri negeri untuk disampaikan kepada anak cucu kita kelak, ruh Resolusi Jihad harus jadi basis penyadaran bahwa NKRI final, tugas kita adalah memelihara dan menajaganya dan itu hukumnya wajib ain. Wallahu ‘alam.

Selamat Hari Santri Nasional
Deni Ahmad Haidar
Ketua Pimpinan Wilayah Gerakan Pemuda Ansor Jawa Barat