Reuni 212 “Api yang Sudah Padam tak Perlu Dihidupkan Kembali

176

“Reuni 212” Api yang Sudah Padam tak Perlu Dihidupkan Kembali

Reuni 212 ini mengingatkan kembali pada kita terkait dengan kasus yang ditujukan pada mantan Gubernur Jakarta, Basuki Cahya Purnama atau yang disebut dengan Ahok terkait dengan tuduhan “penistaan agama ketika memberikan sambutannya di kepulauan Seribu” yang dipublikasikan oleh Buni Yani dalam feacebooknya pada kamis, 6 Nopember 2016.
Sedikit setback mengenai aksi 212, aksi ini terjadi pada tanggal 2 desember 2016 sehingga di istilahkan dengan sebutan 212. Aksi ini merupakan follow up dari aksi terkait dengan Penistaan Agama yang dilakukan oleh Basuki Cahya Purnama atau yang disebut dengan Ahok pada tanggal 4 Nopember 2016. Ribuan pendemo yang membanjiri Monas Jakarta ini menjadi saksi terkait dengan Penistaan Agama yang dilakukan oleh Ahok. Sehingga hasil dari demo tersebut dan setelah melalui verifikasi dan penyidikan maka Ahok dinyatakan sebagai tersangka walaupun ada statemenya yang menyatakan bahwa dia meminta maaf kepada Muslim dan tidak ada maksud untuk menghina surat Al Maidah. Ahok hanya curhat, pencalonan dirinya sebagai gubernur dijegal dengan isu SARA. Ahok mengatakan banyak pihak menggunakan Al Maidah sebagai senjata agar umat Islam tidak memilih calon pemimpin non muslim (Ahok, 24 Nopember 2016). Dari statement ahok yang dituduh menghina agama ini telah memberikan kegerahan bagi sebagian umat muslim di Indonesia. Dan ini menumbuhkan dialektika yang beranekaragam pada semua kalangan termasuk politikus. Dari kasus tersebut justru itu dijadikan sebagai salah satu cara oleh golongan tertentu yang berkepentingan untuk memuluskan langkah-langkah politinya. Tak terlepas dari kepentingan ataupun tidak dari kasus tersebut justru memberikan hikmah yang berharga pada kita bahwa kita sebagai warga Negara Indonesia yang beragama Islam kini telah terketuk kembali untuk menjaga keutuhan demokrasi. Proses penyadaran untuk menjaga stabilitas keutuhan demokrasi dari isu-isu yang diaromakan SARA yang memecahbelah bangsa ini merupakan kewajiban kita sebagai warga Negara Indonesia. Isu SARA merupakan sebuah isu yang seksi yang bisa memicu sensitivitas pada semua kalangan. Proses dialektika perbedaan itu sudah menjadi sunnatullah tapi yang terpenting ialah bagaimana kita menyikapi proses dialektika itu sesuai dengan norma-norma yang sudah ditetapkan oleh UUD 1945. Karena apabila menjalankan proses dialektika dalam berpolitik dengan mengorbankan issue SARA justru itu secara spontanitas telah menodai keutuhan NKRI. Terus bagaimana dengan Reuni 212?
Terkait dengan Reuni 212 yang akan diselenggarakan pada hari sabtu tanggal 2 Desember 2017 mulai jam 3 dini hari berpusat di Jakarta saya harap ini tidak ada kaitannya dengan kepentingan politik bagi kalangan tertentu dengan mengatasnamakan isu SARA karena betapa hinanya apabila ada kepentingan politik dengan mengaromakan isu Agama. Aksi dari 212 seharusnya itu menjadi bahan refleksi bagi kita untuk menumbuhkan nilai cinta kasih antar sesama termasuk dikalangan umat Muslim itu sendiri. Aksi 212 tersebut itu sudah menggambarkan bahwa umat Muslim itu begitu besar akan tetapi jumlah mayoritas itu janganlah dijadikan sebagai sebuah sarana untuk memuluskan kepentingan tertentu, mendiskreditkan kaum minoritas. Semua kalangan sama dipandangan hukum tanpa melihat dari aspek mayoritas dan minoritas, Rasullullah SAW telah mengajarkan keteladannya bagi umat manusia baik dalam ranah Aqwal (perkataan) begitujuga Af’al (prilaku) tanpa melihat latar belakang. Semua mempunyai peran penting dalam kemerdekaan dan keutuhan bangsa ini tanpa melihat sisi perbedaan. Reuni 212 seharusnya tidak perlu digelar karena itu akan menumbuhkan dampak yang tidak di inginkan bagi stabilitas keutuhan Bangsa. Kalau kita kembali mengkaji usul fiqih dari teks ini “Dar’ul Mafasid Mukadamun ala jalbil Mashalih” menghindari hal yang memadharatkan terlebih dahulu itu lebih penting dari pada melihat aspek kemaslahatan”. Ini dapat di interpretasikan dalam kehidupan social termasuk pada isu Reuni 212 ini bahwa dikhawatirkan terjadi sebuah hal yang memadharatkan atau mengganggu keutuhan Bangsa justru itu lebih baik dihindari walaupun ada sisi kemanfaatan dan kemaslahatannya. Seharusnya kontribusi dan perjuangan kita dituangkan dan difokuskan pada aspek Ekonomi, Pendidikan, Budaya, Tekhnologi, karena masalah yang di hadapi oleh bangsa Indonesia ialah terkait dengan masalah insfrastruktur kebudayaan tersebut karena kontribusi yang relevan saat ini berkaitan dengan aspek tersebut. Seperti apa yang telah disampaikan oleh Din Syamsudin (Ketua Dewan Pertimbangan MUI Pusat) yang menyatakan bahwa “Saya tidak ikut reuni tersebut karena saya bukan alumni, dan saya mempunyai pemahaman tentang permasalahan umat Islam serta pendekatan tersendiri dalam menanggulanginya dan dalam beramar makruf nahi munkar,” ujarnya. “Masalah yang dihadapi umat Islam di Indonesia adalah masih adanya kelemahan infrastruktur kebudayaan dalam berbagai bidang seperti ekonomi, pendidikan, informasi. Maka, perjuangan yang relevan saat ini adalah mengatasi permasalahan tersebut. Semua sumber daya sebaiknya diarahkan untuk memperbaiki aspek-aspek kebudayaan tadi,”  ini dapat difahami bahwa proses untuk mensejahterakan suatu Bangsa ini dalam semua insfrastruktur kebudayaan itu merupakan tanggung jawab kita sebagai warga Negara Indonesia sehingga kita tidak tertinggal dari Negara-Negara maju di Dunia. Seperti yang telah kita fahami bersama bahwa saat ini kualitas pendidikan Indonesia berada pada posisi 108 di dunia dengan skor 0,603%. Secara umum kualitas pendidikan di tanah air ini berada dibawah Palestina (Negara Konflik) Samoa dan Mongolia. Ini sangatlah menghawatirkan apabila kita terjebak dengan isu 212 yang semestinya tidak kita hidupkan kembali karena masih banyak tugas kita untuk mengharumkan Bangsa ini baik dari aspek Moralitas, Pendidikan, Budaya, Ekonomi. Semua golongan mempunyai hak yang sama dalam hak konstitusional dan kebebasan dalam mengekspresikan pendapatnya baik melalui aksi atau dengan memperingati demonstrasi/aksi itu sendiri termasuk dengan Reuni 212 ini merupakan bagian dari hak konstitusional dan kebebasan berpendapat tapi apakah tidak ada yang lebih penting selain dari itu sedangkan problem yang dihadapi saat ini oleh Bangsa ini ialah kelemahan dalam insfratuktur kebudayaan seperti pendidikan, budaya, Tekhnologi dan Ekonomi justru itulah yang harus kita pikirkan dan perjuangkan bersama dalam membangun Bangsa. Maka peringatan aksi 212 itu tidak perlu kita hidupkan kembali. Ini senada dengan apa yang telah diasampaikan oleh K.H. Ma’ruf Amin (Ketua MUI Pusat), Jumat, 1/12/2017, pukul 17.00, di tvOne menyatakan bahwa “tidak perlu adanya Reuni 212 dan untuk apa itu di hidupkan kembali karena persoalan Ahok sudah selesai”. Apabila Reuni 212 itu beralasan untuk memperingati Maulid Nabi kenapa tidak diganti redaksi judulnya dengan istilah “Peringatan Akbar Maulid Nabi” justru tema itu tidak akan menumbuhkan pro dan kontra dilkalangan umat Muslim khususnya. Dengan tema Reuni 212 justru itu menumbuhkan pro dan kontra dalam menginterpretasikan makna Reuni 212 dan itu justru akan menumbuhkan kembali sensitivitas antar golongan seharusnya aksi 212 tidak perlu kita hidupkan kembali karena itu merupakan proses alam yang terjadi di Indonosia yang mesti kita ambil hikmahnya bukan kita hidupkan kembali. Jangan sampai Api yang sudah padam kita hidupkan kembali sehingga apabila kita tidak bisa menjaganya maka api itu akan membakar kita dan yang lainnya.

Hapid Ali

Pengurus PW Lakpesdam NU Jawa Barat